|
Paradigma Superman Jurnal Muslimah - Wednesday, 03 March 2004
Apa yang akan anda lakukan bila dilahirkan tanpa sepasang tangan? Menangis, menyerah, menganggap diri tidak berguna? Dilema inilah yang dihadapi oleh Jim Goldman, seorang pria dari Amerika.
Jim dilahirkan tanpa tangan. Dokter tidak bisa memberikan alasan mengapa hal semacam itu bisa terjadi. Mereka hanya menyarankan agar Jim sesegera mungkin dibawa ke sekolah khusus orang cacat. Banyak pihak yang secara halus menyatakan bahwa Jim akan menghadapi begitu banyak kesulitan dalam keseharian. Besar kemungkinan ia akan jadi orang yang tidak berguna.
Walau sedih, orang tua Jim mengambil langkah yang tidak biasa. Mereka memutuskan memperlakukan Jim tidak berbeda dengan orang normal. Tidak ada pengecualian. Orang tua Jim hanya menolong bila Jim membahayakan nyawanya sendiri. Lainnya tidak.
Allah memang Maha Adil. Walau Jim tidak punya tangan sama sekali, tapi ia berhasil melatih kakinya hingga berfungsi seperti tangan orang normal. Mulai dari menggunting, bermain kartu, memancing, bermain basket, hingga menyetir, semua dilakukan Jim tanpa kesulitan berarti. Ia bahkan memiliki SIM biasa, bukan SIM untuk orang cacat. Mobil yang dipakainya juga mobil biasa, bukan modifikasi. Pendek kata, apa yang bisa dilakukan tangan kita, bisa dilakukan juga oleh kaki Jim.
Yang membuat saya kagum, Jim tidak pernah merasa dirinya cacat. Ia bilang, orang yang menganggapnya cacat berarti tidak benar-benar mengenalnya. Jika menghabiskan cukup waktu dengan Jim, orang bisa melihat bahwa Jim tidak perlu dikasihani. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda penyesalan, bahkan menyalahkan Penciptanya. Jim bahkan merasa tidak perlu menggunakan tangan palsu. Katanya itu hanya menyusahkan saja.
Tidak percaya? Mungkin saya juga akan bereaksi demikian bila tidak melihatnya langsung. Kisah Jim Goldman ini saya tonton di acara RipleyÂ’s Believe It or Not di Metro TV tanggal 29 Januari 2003. OK, memang Jim masih non muslim dan ia orang Amerika. Tapi saya rasa kita tetap perlu mengambil pelajaran dari cerita nyata ini.
Menurut saya, Jim Goldman termasuk salah satu orang beruntung yang dibesarkan dengan “Paradigma Superman”. Maksudnya, orang tuanya tidak pernah memberi tahu sampai mana batas kemampuan Jim. Tidak ada “Ah, kamu nggak akan bisa” atau “Sudahlah, percuma” atau semacamnya. Jim terus didorong dan disemangati melakukan apapun, selama itu tidak membahayakan dirinya sendiri. Akibatnya, secara mental ia sangat kuat, penuh percaya diri dan optimis. Di sisi lain, saya cukup sering bertemu dengan (calon) orang-orang hebat yang membonsai dirinya sendiri. Bisa jadi mereka normal secara fisik dan kaya akan potensi. Tapi mereka enggan untuk menetapkan cita-cita tinggi, merasa cukup dengan prestasi seadanya, tidak cukup pede untuk menjajal aneka tantangan. Belum juga dicoba, sudah pesimis dulu. Akibatnya mereka urung melakukan karena sok yakin semuanya akan sia-sia. (He..he.. Kadang saya juga masih begini sih.)
Contoh sederhana saja, dalam bidang akademik. Berapa banyak di antara anda yang menetapkan target IP 4? Atau minimal 3.6-lah... Mungkin ada yang langsung menanggapi, nyaris mustahil! Tapi seseorang yang saya kenal baik, membuktikan keampuhan rasa optimis.
Orang itu, sebut saja X, menjalani masa sekolahnya dengan terseok-seok. Ketika lulus, ada dua nilai merah di EBTANAS-nya. Fisika dan Biologi kalau tidak salah. Wali kelasnya sudah mengklaim bahwa X tidak berbakat di bidang sains. X makin stres ketika Allah menakdirkan ia diterima di salah satu jurusan eksakta.
Benar saja, di tahun pertama X langsung babak belur. Tapi ia tidak menyerah. Ia melalap sejumlah buku pengembangan diri dan ikut aneka seminar. Ia mengubah manajemen dirinya walau sebenarnya masih dipenuhi rasa pesimis. Di tahun kedua, ia tidak percaya IP-nya bisa meroket hingga 3.5. Prestasinya menunjukkan grafik meningkat. Terakhir kali saya mendengar kabar, ia meraih IP 4 semester lalu. Bahkan sebentar lagi lulus, insya Allah dengan predikat cum laude.
Saya tertarik melihat perubahan X. Benar lho, sebelumnya dia itu minder. Boro-boro punya cita-cita tinggi. Tapi sekarang, ia merencanakan banyak hal besar untuk masa depannya. Hampir semua orang di sekelilingnya kagum dan bisa merasakan semangat X untuk maju. Saya masih teringat perkataannya, “Kenapa saya nggak tahu dari dulu kalau saya tidak sebodoh yang saya kira?”
Saya tidak bermaksud mengajak anda bermimpi kosong. Tapi kalau anda punya cita-cita yang baik, percayalah bahwa anda Insya Allah bisa mewujudkannya. Tidak ada yang tidak mungkin bila Allah mengizinkannya. Jangan jadikan keterbatasan menjadi pembenaran untuk menyerah sebelum mencoba. Jangan sampai potensi luar biasa yang dititipkan Allah, menjadi terbuang sia-sia. Bahkan tidak pernah terungkap.
Manusia itu diciptakan Allah untuk sukses. Bahwa sebelum sampai ke sana harus merasakan gagal dulu, itu sih soal lain. Bukankah kegagalan itu bagian dari keberhasilan? Lho, iya dong. Kan jadi tambah pengalaman.
Lagipula, Islam sangat butuh lho orang-orang yang berkualitas di berbagai bidang. Kalau kita tidak bisa apa-apa, jangan-jangan hanya jadi beban untuk orang lain.
Makanya, bersemangat ya! Ayo, kamu (insya Allah) bisa!
Oleh: Ariyanti Pratiwi [ 0 komentar]
|
|