|
Akhirnya Saya Bisa Meraih Hatinya Jurnal Muslimah - Wednesday, 03 March 2004
Oleh Azimah Rahayu
kafemuslimah.com Lebaran tahun ini keponakan kecil saya satu-satunya, Fitra, genap berusia dua tahun. Dia makin gembul melahap makanan, meskipun itu tidak membuatnya lebih gemuk. Dia tetap kurus, hanya makin jangkung dan kuat. Gerakannya semakin lincah dan bicaranya semakin cerewet. Dia sangat aktif, tak henti bergerak. Dinamis. Hal itu membuatnya makin menggemaskan dan menjadi pusat perhatian di segala termpat. Kakek, nenek, tante, om dan banyak anak sebayanya senang mengajaknya bermain, meskipun kadang ia agak menjengkelkan karena mau menangnya sendiri dan selalu nomor satu.
Dalam perjalanan pulang kampung sudah tergambar suasana yang menyenangkan bermain dengannya. Saya membayangkan dia akan senang dengan buku dan permainan edukatif yang saya bawa. Matanya akan berbinar-binar dan mulutnya akan berceloteh riang saat melembari buku-buku itu. Dia akan menatap saya kagum saat saya membacakan buku cerita dan mendongenginya. Dia akan antusias bermain dengan balok, puzzle dan lain-lain yang akan saya hadiahkan untuknya.
Tapi saya salah. Tampaknya buku dan permainan yang saya bawakan bukanlah sesuatu yang sangat menarik bagi Fitra. Buku, poster, dan mainan itu hanya berumur sehari, bahkan beberapa jam di tangannya. Sebagian langsung rusak, beberapa dilemparkannya entah kemana, beberapa lagi teronggok dibawah meja tipi dan sisanya masuk kotak kardus dan disimpan oleh mamanya.
Tentu saja saya sangat sedih dan kecewa melihatnya. Namun itu belum seberapa. Yang lebih menyedihkan lagi, dia tidak dekat dengan saya, tantenya. Dia tidak suka bermain dengan saya dan lebih suka bermain dengan teman-teman atau tante-tantenya yang lain. Bahkan dia sering menangis dan merengek minta ikut jika tante, om atau temannya yang lain harus pulang. Sementara dengan saya? Diiming-imingi makanan kesukaannya pun kadang dia tetap tak mau. Sungguh saya cemburu. Mungkin salah satu sebabnya adalah karena saya tinggal di Jakarta, jauh dari kampung kami di Solo dan jika di rumah pun hanya sehari dua dan itu tak cukup untuk menjadi pengikat kesan baginya.
Maka saya pun bertekat. Dua pekan di rumah, saya harus bisa meraih hatinya. Langkah pertama saya adalah mengamatinya dan mulai merubah paradigma saya tentang Fitra. Dan inilah kesimpulan saya. Satu, Fitra bukanlah anak kota yang kehilangan ruang bermain dan tak punya teman. Dia bukan anak yang tumbuh di dan biasa berada dalam ruang 4x6 meter yang di sekat-sekat serta duduk manis dengan berbagai permainan. Dia tumbuh di rumah dengan ruangan-ruangan lebar, halaman luas, kebun dan sawah yang longgar dan menyimpan banyak hal menarik untuk dieksplorasi. Kedua, Fitra tidak terbiasa bermain dengan satu atau dua orang. Dia suka berada di antara banyak teman dan bermain bersama mereka. Ketiga, apa yang menarik dan dimainkan teman-temannya, itulah yang menarik hatinya. Bukan sesuatu yang asing dan tak biasa baginya seperti buku dan mainan yang saya bawa.
Dari situ langkah kedua saya adalah bergabung dengannya dan teman-temannya. Bermain dengan permainan yang biasa mereka mainkan, hingga dia tahu bahwa saya cukup menyenangkan sebagai teman bermain. Maka begitulah, hampir setiap hari, saya menyempatkan diri bermain dengannya, dengan permainan yang dipilihnya. Kami bermain petak umpet, juga balapan (dia naik sepeda roda tiga, sedang saya lari bertelanjang kaki). Lain kali kami bermain sepak bola atau pingpong. Berikutnya kami mengejar burung, kupu-kupu, atau belalang, bahkan memancing. Kadang-kadang saya menemaninya nonton tipi saat acara dunia hewan sekaligus berakting laksana hewan-hewan di tipi itu. Kadang saya menjadi buaya yang diikat dan diseretnya kian kemari. Kadang saya menjadi kerbau, sapi atau kuda yang ditungganginya. Kadang kami saling mengaum dan bergelut bagai macan yang sedang bertarung. Semuanya kami lakukan ditingkahi jeritan melengking, teriakan keras, tawa lepas yang keluar dengan bebas dari tenggorokan kami. Oh ya, kadang-kadang kami juga bermain tukang-tukangan. Memompa, mencuci dan membetulkan sepeda, menggergaji kayu, mengupas sayur dan buah, menyemprot tanaman dan lain-lain. Bahkan, kalau saja sungai di belakang rumah masih sejernih saat saya kecil dulu, saya akan mengajaknya berenang dan mandi di sungai.
Dan, aha! Usaha saya tidak sia-sia. Sedikit demi sedikit saya bisa meraih hatinya. Fitra mulai lekat dengan saya.
Rupanya, bukan hanya itu yang saya peroleh. Saya ternyata menikmati bermain dengannya. Saat bermain bersamanya, saya bisa melepaskan ego anak-anak saya sepuas-puasnya tanpa takut dimarahi orang, tanpa khawatir dikomentari tidak sopan dan sebagainya. Rasanya, saat itu semua emosi bisa saya bebaskan dengan yelling, shouting, screaming, giggling, even laughing out loud etc. Saat balapan lari kami berteriak sekerasnya. Saat main petak umpet, kekagetan kecil ketika diketemukan membuat kami saling menjerit senang. Sungguh, saya tak perlu berekreasi ke tempat yang jauh untuk menyegarkan benak, hati dan pikiran saya.
Berikutnya, saya tetap bisa memasukkan nilai-nilai dan mengajarinya pemahaman baru melalui permainan-yang kami mainkan. Mengajarinya untuk tidak selalu mau menang sendiri, mengajarinya nama-nama benda, hewan dan tindakan serta berbagai hal lainnya yang berkaitan.
Suatu saat nanti, saya ingin Fitra dan teman-temannya tak hanya bermain secara fisik dengan saya. Tapi saya berharap dia juga akan dengan gembira bermain bersama saya melalui media buku, cerita dan permainan edukatif lainnya sebagai cara paling efektif mengembangkan intelegensianya. Suatu saat nanti. (@Az)
[ 0 komentar]
|
|