[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Ta' awun Suami-Istri dalam Keluarga
Kiat Muslimah - Monday, 09 July 2007

Kafemuslimah.com


Pekan lalu istri dan saya diundang mengisi sebuah acara seminar keluarga. Peserta seminar ini adalah pasangan suami istri yang rata-rata punya kesibukan berdakwah. Tema seminar sendiri adalah "membangun keluarga harmonis". Kami negosiasi dengan panitia menawarkan tema "trilogi peran suami-istri dalam membangun keluarga harmonis". Mereka setuju. Isi materinya sendiri pernah saya tuliskan di ruang MP ini, yaitu trilogi peran suami-istri sebagai mitra, sebagai kekasih dan sebagai pendidik-pembelajar.

Yang ingin saya bagi dalam tulisan ini adalah penekanan pada masalah ta'awun (saling membantu) di antara suami istri dalam menjalankan berbagai peran di atas. Panitia memang memberikan pesan sponsor, diantaranya masalah lemahnya bantuan yang diberikan para suami di rumah, masalah perlu tidaknya khadimah (pembantu rumah tangga) dll.

Karena saya dan istri berduet menyampaikan materi seminar, kami membuat skenario bergantian menyampaikan point-point bahasan. Satu slide atau bagian slide saya yang menjabarkan, slide lain dibahas istri. Saya memberikan tambahan bahasan secara spontan, begitu juga istri sesekali mengomentari apa yang saya sampaikan. Demikianlah sampai seluruh isi materi tersampaikan.

Dari reaksi peserta seminar, kami melihat ada beberapa hal yang nampaknya baru bagi peserta dalam wawasan tolong-menolong dalam berkeluarga, diantaranya:

- Suami-istri hendaknya saling memanggil dengan panggilan sayang yang disukai pasangannya. Termasuk bagian ini adalah kiat-kiat menjaga kasih sayang diantara suami-istri;
- Suami punya kewajiban memberikan nafkah secara khusus untuk perawatan tubuh dan kecantikan istrinya (tentu sebatas kemampuan sang suami). Kalau nafkah untuk sandang, pangan dan papan memang sudah jelas kewajibannya;
- Istri mesti menyambut suami dengan baik dan mesra saat pulang ke rumah. Jangan menyambut dengan cemberut atau ngambek;
- Suami dan istri sharing membawa anak-anak ke tempat pengajian. Ini antitesis dari kebiasaan, bahwa hanya ibu-ibu yang sering direpotkan membawa anak, sementara para bapak "aman" dari gangguan anak-anak saat mengaji;
- Kerjasama suami itu mencakup berbagai tugas rumah tangga. Tugas istri yang tak dapat diwakilkan itu prinsipnya adalah apa yang memang secara alami melekat pada seorang perempuan seperti hamil, mengandung, melahirkan dan menyusui. Di luar tugas itu suami bisa membantu dan mesti membantu saat dibutuhkan.

Saya sempat berikan ilustrasi, bahwa ketika kami mendapatkan anak pertama di Delft-Belanda, tak ada keluarga yang mendampingi. Setelah istri melahirkan dengan normal lewat dari jam 00:00 malam, maka aturannya hari itu jam 4 sore dia dan bayi mesti pulang. Kami pun dibantu kraamzorg, semacam suster khusus yang mendampingi dan mengajari kami merawat bayi. Dia datang 2 kali sehari (ini opsi yang kami pilih, sebetulnya bisa full-time membantu juga) selama sepekan. Suster ini memperlihatkan cara mengukur suhu, memandikan, memberi minyak telon (atau kayu putih), memopoki, hingga menyuapi bayi.

Karena istri masih dalam kondisi lemah dan harus bed-rest, maka sayalah yang pertama kali memandikan bayi dan mengurus hal lainnya. Sampai kira-kira dua pekan saya cuti dari kampus dan membantu istri di rumah. Termasuk juga memasak, mencuci piring dan membersihkan rumah.

Saya sebetulnya sekedar sharing, bahwa tak ada yang "tabu" dikerjakan suami untuk istrinya. Bagi mereka yang pernah tinggal di luar negeri, jauh dari keluarga besar, tentunya ta'awun seperti ini bukanlah hal yang aneh. Dan saya perhatikan kondisi budaya di Indonesia rupanya agak asing dengan sikap suami yang membantu seperti ini.

***

Untuk saling membantu dalam membawa anak-anak ke tempat pengajian, saya pun sharing kondisi di Jepang yang terakhir saya saksikan. Para bapak mulai sering membawa anak-anaknya mengaji, jika pada waktu yang sama baik istri maupun suami punya agenda mengaji atau acara lain. Saya lihat para bapak ini sudah membawa perbekalan standar anak-anak, misalnya makanan, alat tulis menulis, dan juga mainan. Di tempat acara anak-anak ini bisa bermain dengan teman-temannya di ruang lain.

Seorang kawan saya yang pernah sekolah di Amerika bercerita, ada satu praktek bagus yang dilakukan teman-teman di Amerika. Jika mereka mengadakan gathering, maka selalu ada petugas yang mengelola kegiatan anak-anak. Pengelolaan ini dilakukan secara serius. Panitia menyediakan berbagai sarana permainan dan anak-anak betul-betul mengikuti program menarik. Dengan cara begini, para orang tua bisa lebih tenang mengikuti acara. Tentu saja ada petugas (bergantian) yang memang mesti berkorban tidak mengikuti sesi-sesi kegiatan saat mereka jadi "piket acara anak".

Saya pun menceritakan bahwa hal yang sama sudah diterapkan juga di Jepang. Walhamdulillah.

***

Seorang peserta menanyakan bagaimana mensiasati pengasuhan terhadap anak sementara para ibu juga dituntut melakukan pemberdayaan kaum ibu di masyakakat dengan berdakwah. Istri saya menyampaikan beberapa alternatif mengatasi kesulitan ini, antara lain (yang saya ingat):
- Pertama diusahakan ada kerjasama dari sesama aktifis dakwah perempuan. Misalnya yang masih lajang-lajang, sesekali bisa dimintai bantuan;
- Jika memungkinkan diatur jadwal di rumah, sehingga suami pun bisa membantu menjaga anak-anak saat para ibu sibuk;
- Jika rumah dekat dengan saudara, maka sesekali bisa juga meminta bantuan saudara;
- Bersyuro (berdiskusi) dengan suami jika memang dibutuhkan meminta bantuan seorang khadimah. Tentu saja ada konsekuensi finansial yang mesti jadi bahan pertimbangan.

Terkait khadimah juga, disampaikan tanggung jawab para ibu untuk ikut mendidik kepribadian mereka. Keuntungannya adalah, selain para ibu menjalankan fungsi dakwah, para khadimah pun akan mengasuh anak-anak sesuai dengan harapan keluarga.

***

Pada awal materi seminar, kami sampaikan satu rumus umum, bahwa keharmonisan itu kuncinya adalah pada hati yang tenteram. Adapun ketenteraman hati tak ada lagi kuncinya kecuali baiknya kita mengingat Allah (dzikrullah). Karenanya kunci utama menciptakan keharmonisan di rumah adalah dekatnya kita dengan Allah swt. Kami mengambil dalil ayat-ayat awal surat ar-Rahmaan dengan menganalogikan keharmonisan dengan sikap-sikap suami-istri yang memperhatikan "al-mizaan" atau neraca kesetimbangan dan keadilan yang Allah ajarkan.

Di tengah kegiatan dakwah yang padat, keharmonisan hubungan suami-istri memang diuji. Kesibukan yang tidak diimbangi dengan kestabilan hati dan pikiran akan membawa ketidak-seimbangan dan ketidakharmonisan di rumah. Jika tidak ditangani dengan baik, bahtera rumah tangga akan karam saat diterpa ombak.

Karenanya kami pun melihat seminar-seminar keluarga seperti ini menjadi satu kebutuhan. Setidaknya dalam 2 jam acara ada kondisi di mana pasangan suami-istri berkesempatan melakukan muhasabah (introspeksi) perjalanan keluarga masing-masing. Semoga sepulang dari seminar ada oleh-oleh berharga untuk menyegarkan komunikasi dan interaksi para suami-istri ini.

Wa Allahu 'alamu bish shawwab.

Bogor, 29 Juni 2007.
Adi J. Mustafa


adijm.multiply.com


[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved