[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Jika Gaji Suami tak Cukup, Boleh Kerja Tidak?
Uneq-Uneq - Tuesday, 20 May 2008

Tanya:
Assalammualaikum mbak Ade Anita,

Saya bingung dengan keadaan saya menurut islam sebaiknya bagaimana. Saya tinggal di luar negeri ikut ibu saya, dan Saya baru menikah dengan pemuda yang masih kuliah di Indonesia. Karena masih kuliah dia hanya bisa bekerja part time sebagai guru les privat, itupun muridnya hanya 1 Kadang muridnya itu mood mood an. Hingga suami saya tidak tetap dapat gajinya. Kami masih hidup berumah tangga jarak jauh setelah 2 bulan menikah sampai sekarang. Karena saya berniat membantu beban suami, saya pun bekerja. Sedangkan wanita sebaiknya kan dirumah menurut islam, saya harus bagaimana? karena suami saya pun menafkahkannya juga tidak banyak, dia juga masih meminta ibunya tiap bulan, karena dia kuliah di bandung dan nge kos. Kalau dengan gaji les privat yg tidak menentu pastilah tidak cukup mencukupi kebutuhannya sendiri. Dari gaji privat pun itu kadang2, saya diberi nafkah melainkan ditabung, sedangkan untuk kebutuhan saya itu belum memenuhi, untung saya masih tinggal di rumah ibu saya juga bekerja. Kadang saya merasa apa tanggung jawab dia sebagai suami? dan terkadang saya merasa belum mempunyai suami karena suami saya belum sepenuhnya bertgg jawab atas saya (astaghfirullah). Kalau dia bekerja full time, kuliahnya tidak akan selesai thun ini, padahal suami saya berjanji pada ibunya dan keluarga saya untuk lulus tahun ini. Saya sedih mbak. Kami menikah karena kami takut berzina en tidak mau pacaran lama2. Juga karena saya dan dia telah beristikharah. Kalau saya tinggal di indonesia, itu tidak bisa saya lakukan, karena dari awal kami sepakat untuk nantinya tinggal di sini (luar negeri), karena saya disini juga masih kuliah.
Apa boleh dalam islam saya bekerja, keluar rumah, pulang malam karena saya bekerja di restoran?
Walaupun sebenarnya saya tidak mau mbak, kalau tidak terpaksa, saya tidak akan bekerja. Lagian bulan juli saya harus pulang ke indonesia, jadi saya juga cari uang untuk beli tiket.
Bagaimana sebaiknya yg harus saya lakukan dan bagaimana saya menyikapi suami saya?
Karena saya merasa kami berjalan sendiri2, kalau ada masalah memang slalu kami ceritakan, tapi bentuk tanggung jawab belum saya rasakan sampai saat ini.
Apakah kalau menurut islam, suami saya begitu pantas? dan apa yg harus dilakukan suami saya?

Tolong mbak dijawab secepatnya.
Terimakasih banyak. Maaf kalau ceritanya panjang.

Wassalam,

Jawab:

Wa�alaikumsalam warahmatullahi Wabarakatuh, Ukhti yang sedang bingung di negeri seberang.
Subhanallah, saya kagum dengan tekad ukhti untuk menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupanmu secara keseluruhan. Mulai dari keinginan untuk menjauhi zina, cita-cita untuk tidak bekerja di luar rumah, dan memulai rumah tangga dengan keputusan menikah muda setelah melalui shalat istikharah. Semoga ukhti senantiasa dapat istikamah. Amien.

Hanya saja, akan lebih baik lagi jika saja tekad untuk menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari dibarengi juga dengan terus memperkaya pengetahuan akan Islam itu sendiri secara keseluruhan. Ditambah dan terus ditambah. Insya Allah dengan pengetahuan yang kaya akan apa dan bagaimana itu Islam, ukhti akan lebih nyaman dan ikhlas menjalankan kehidupan ukhti ke depannya.

Saya menggaris bawahi beberapa pernyataan dari uneg-uneg ukhti di atas; tapi ada juga bagian-bagian yang saya tebalkan (coba deh ukhti perhatikan uneg-uneg ukhti dan lihat mana bagian yang tebal dan mana bagian yang digaris-bawahi). Bagian yang digaris-bawahi mewakili bagian-bagian dari pengetahuan ukhti yang menurut saya perlu untuk diralat atau ditambahi. Sedangkan bagian yang ditebalkan, merupakan gambaran dari kondisi ukhti. Sekarang, mari kita bahas dahulu bagian yang saya garis bawahi terlebih dahulu.

Pertama. Karena saya berniat membantu beban suami, saya pun bekerja Sedangkan wanita sebaiknya kan dirumah menurut islam, saya harus bagaimana?

Ukhti, siapa bilang wanita tidak boleh bekerja di luar rumah, terlebih dengan niat untuk membantu beban suaminya? Pendapat ukhti yang ini jelas salah.

�Dan orang-orang yang beriman. Lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain...�(At-Taubah: 71)

Dari Zainab, istri Abdullah ra, dia berkata: �... lalu Bilal datang menemui kami. Kami berkata: �Tolong tanyakan kepada Nabi saw, apakah sah jika aku memberikan nafkah kepada suamiku dan anak-anak yatim yang ada dalam tanggunanku? Tetapi jangan beritahu beliau tentang siapa kami!� Lantas Bilal masuk untuk menyampaikan pertanyaannya tersebut kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya: �Siapa mereka itu?� Bilal menjawab: �Zainab.� Nabi saw bertanya: �Zainab yang mana?� Bilal menjawab: �Istrinya Abdullah.� Lalu Nabi saw berkata: �Ya, sah. Dia mendapat dua pahala, yaitu pahala kerabat dan pahala sedekah.� Dalam satu riwayat lain disebutkan : �Suamimu dan anakmu adalah orang yang paling berhak untuk kamu beri sedekah.� (HR Bukhari dan Muslim)

�Dari Aisyah ra, ummul mukminin, dia berkata: �... yang paling panjang tangannya di antara kami adalah Zainab (binti Jahsy), sebab berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah....� (HR Muslim).

Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: �bibiku dicerai. Pada suatu hari dia ingin memetik kurmanya. Lalu seorang laki-laki menghardiknya agar jangan keluar rumah. Lantas bibiku mendatangi Rasulullah saw, untuk menanyakan masalah ini. Rasulullah saw berkata, �Tentu, petiklah kurmamu....� (HR Muslim).

Kedua �Apa boleh dalam islam saya bekerja, keluar rumah, pulang malam karena saya bekerja di restoran?�

Jika ditanya boleh bekerja apa tidak, saya jawab boleh. Tapi, jika diteruskan dengan pernyataan bekerjanya dimana, lain lagi ceritanya. Pada dasarnya, Islam lebih ingin melindungi wanita dengan adanya aturan tentang wanita yang bekerja keluar dari rumahnya. Saya tidak tahu, diluar negeri sebelah mana saat ini ukhti bekerja. Bagaimana suasana malamnya dan bagaimana kehidupan masyarakat sepanjang perjalanan yang ukhti lalui mulai dari tempat ukhti bekerja hingga ke depan rumah. Serta, restoran seperti apa tempat ukhti bekerja. Jika, negara tempat ukhti bekerja adalah negara yang tidak aman untuk wanita muslim pulang malam sendirian, atau lingkungan masyarakat di sepanjang jalan yang ukhti lalui tidak aman untuk wanita biasa (terlebih wanita muslim), mungkin lebih baik cari restoran atau tempat lain yang memungkinkan untuk pulang tidak terlalu larut malam. Atau jika, tempat ukhti bekerja mengharuskan wanita memakai pakaian yang seksi dan memamerkan aurat (khususnya di bagian-bagian terseksi seorang wanita), mungkin lebih baik pindah saja ke tempat pekerjaan lain. Dengan kata lain, silahkan lihat sendiri bagaimana situasi disana, apakah ukthi merasa aman dan apakah keyakinan dan keselamatan diri dan agama ukhti aman? Jika jawabannya tidak, berarti lebih baik pindah tapi jika aman-aman saja, ya silahkah teruskan.

Ketiga �Kadang saya merasa apa tanggung jawab dia sebagai suami? dan terkadang saya merasa belum mempunyai suami karena suami saya belum sepenuhnya bertanggung jawab atas saya�. Astaghfirullah ukhti, ayo ingat-ingat lagi niat awal ketika ukhti ingin cepat-cepat menikah dengan suami ukhti dahulu. Niat awal ukhti ingin menikah dengan dia adalah agar terhindar dari zina dan fitnah bukan?

Hmm. Terus terang. Seharusnya, kecuali niat dan kecenderungan hati, ketika sedang jatuh cinta dahulu, jangan pernah menanggalkan logika. Dahulu, ukhti sudah tahu bukan bahwa dia masih kuliah, dan karena masih kuliah maka otomatis tidak dapat bekerja full time; karena tidak dapat bekerja full time inilah maka dia mengambil sambilan menjadi guru les privat dimana karena hanya menjadi guru les privat maka gajinya tidak tetap dan kecil, karena kecil maka orang tuanya pun masih terus menyokong dia dan demi menghemat uang maka dia kost. Kenyataan inilah yang seharusnya sudah bisa dilihat ketika sedang jatuh cinta dahulu. Baru kemudian tanya diri sendiri, �apakah saya mampu mendampingi dia dengan kondisi seperti ini?� Baru kemudian jika jawabannya insya Allah saya akan mampu, hubungan itu diteruskan ke jenjang yang lebih serius lagi sambil melakukanlah shalat istikharah. Jangan baru bertanya sekarang, setelah dia menjadi suami kita. Pertanyaan yang ukhti ajukan itu amat sangat salah.

Mungkin ada baiknya kita memperbaharui niat ukhti dan juga memperbaharui kembali cara berpikir ukhti. Mulai dengan melihat betapa baiknya niat kalian ketika menikah dahulu. Yaitu, menghindari perilaku zina. Syukurlah hal ini sudah terlalui. Sekarang, ukhti bisa berkasih-kasihan dengan suami ukhti tanpa takut akan terjerumus ke dalam perilaku yang tidak terpuji. Ada banyak hal yang menyenangkan yang bisa dilakukan oleh sepasang suami istri. Bahkan meski dia hidup terpisah di lain kota/negara sekalipun. Kalian bisa saling telepon-teleponan untuk melepas rindu dan uneg-uneg pribadi; kalian bisa menjadi �teman tapi mesra� untuk berbagai macam hal yang memang asyik dilakukan antara dua orang sahabat yang berbeda jenis kelamin. Jika orang lain yang masih berpacaran masih dibayang-bayangi perbuatan zina, maka ukhti dan suami bisa melakukannya dengan tenang dan bahkan jika dilakukan dengan ikhlas akan menjadi ibadah tersendiri bagi kalian berdua.

Lalu, mari lihat sisi positif yang dimiliki oleh suami ukhti saat ini. Dia masih kuliah, masih muda, tapi sudah berani mengambil keputusan untuk menikah muda. Menikah itu merupakan sebuah tanggung jawab loh. Jangan dilihat dari kegiatan seksnya saja (ingin cepat menikah agar terhindar dari zina kadang diartikan sebagai upaya mencari kehalalan untuk agar dapat melakukan hubungan seksual. Pernikahan bukan Cuma melulu berisi hubungan seks saja. Ada tanggung jawab, ada komitment, keadilan, keikhlasan, memberi dan menerima di dalamnya; dalam berbagai macam hal). Padahal, kalau saja dia menunggu sedikit saja waktu kelulusan, tentu kesempatan untuk dia mencari pekerjaan yang lebih mapan sekaligus pilihan untuk memilih wanita sebagai pendampingnya akan lebih luas lagi (hehehe, jangan lupa dengan sebuah fenomena, semakin mapan seorang laki-laki, semakin antri wanita yang ingin dijadikan istrinya). Jadi, keberanian suami ukhti untuk menikah muda haruslah dihargai. Ditambah lagi dengan semangat dia untuk mulai belajar mencari nafkah dengan cara menjadi guru les privat. Subhanallah, usaha dia ini harus disupport ukhti. Ada banyak laki-laki yang sudah merasa nyaman dengan suplai dana dari orang tuanya dan enggan memulai hidup mandiri. Jadi, jangan dilihat dari kecilnya pendapatan yang dia peroleh, tapi lihatlah dari usaha yang telah dia rintis sejauh ini. Tidak mengapa kecil, karena sesuatu yang besar itu memang harus dimulai dengan yang kecil lebih dahulu. Sesuatu yang tinggi, biar bagaimanapun harus berangkat dari bawah terlebih dahulu. Jadi, ayo syukuri apa yang sudah ukhti peroleh sampai dengan sejauh ini. Ada banyak sekali ternyata nikmat yang ukhti peroleh, bahkan ukthi lebih beruntung beberapa langkah ketimbang ukhti-ukhti seumuran ukhti yang lain.

Keempat: Bagaimana sebaiknya yg harus saya lakukan dan bagaimana saya menyikapi suami saya? Karena saya merasa kami berjalan sendiri2, kalau ada masalah memang slalu kami ceritakan, tapi bentuk tanggung jawab belum saya rasakan sampai saat ini. Apakah kalau menurut islam, suami saya begitu pantas? dan apa yg harus dilakukan suami saya?

Soal pantas tidak pantas seorang suami dalam Islam. Allah berfirman dalam Al Quran:
�Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahi sebagian dari harta mereka....� (An-Nisa: 34)

�Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain....� (At Taubah: 71)

�....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa....� (Al- Maidah:2)

�... Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma�ruf....� (Al Baqarah: 228)

�Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....� (Al Baqarah: 286)

Sedangkan Al hadits menceritakan kisah berikut ini:

Dari al-Aswad bin Yazid, dia berkata: �Aku bertanya kepada Aisyah ra: �Apa yang dilakukan oleh Nabi saw di rumah?� Aisyah menjawab: �Beliau ikut menyelesaikan urusan keluarga, dan apabila mendengar azan beliau keluar.� (HR Muslim)

Rasulullah saw pernah memerah susu kambing dan melayani dirinya sendiri. Beliau saw juga pernah menjahit kain, menyemir sepatu dan megnerjakan pekerjaan yang biasa dikerjakan kaum laki-laki di rumah mereka. (Dari Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad).

Inti dari paparan saya di atas adalah, jika ukhti mengukur kepantasan seorang suami dari pemberian nafkah yang dia berikan untuk menghidupi ukhti, saya belum bisa memberi komentar apa-apa. Ini karena kondisi suami ukhti yang memang masih kuliah, masih tinggal di kost-kostan dan masih dibantu dana oleh ibunya. Lalu dia pun masih terpisah jauh dengan ukhti (ukhti di luar negeri dia di Indonesia. Tapi semua kondisi ini kan sudah ukhti ketahui sejak awal, lalu mengapa sekarang malah disesali dan dikesali? Yang seharusnya ukhti jalani saat ini menurut saya adalah belajar untuk dapat menerima suami apa adanya. Betul saat ini kondisinya serba sulit, tapi bersabarlah. Roda berpernikahan itu bentuknya bulat. Ketika dia sudah berputar maka akan silih berganti posisi dihadapinya. Terkadang ada di atas sehingga segala kelezatan dan kesenangan bisa diperoleh. Tapi tak jarang posisinya akan berbalik berada di bawah; bahkan tak jarang ketika berada di bawah dia harus melewati lumpur, genangan air kotor dan tempat yang tak sedap. Jika sudah begini, maka kesabaran adalah sebuah obat yang amat mujarab. Daripada menggerutu dan kesal, mungkin lebih baik berpikir positif bahwa kondisi terpuruk ini akan segera berakhir dan kesenangan serta kenikmatan telah menanti di depan sana.

Jangan terlalu banyak tuntutan ukhti. Karena banyaknya tuntutan akan membuat jemu dan menjauhkan diri kita dari rasa syukur. Masih ingat kan, sewaktu Isra Mi�raj Rasulullah saw, Rasulullah saw berkata bahwa di neraka dia melihat ada banyak sekali wanita disana. Ketika ditanya, mengapa demikian, maka Rasulullah saw berkata, mereka adalah wanita yang tidak bersyukur. Duh, jangan sampai deh kita-kita seperti itu. Audzubillah min dzalik.

Kelak, jika suami dan ukhti sudah berkumpul kembali di dalam satu tempat yang sama, kalian harus saling bekerja sama dan terus belajar untuk senantiasa bersabar dan bersyukur ya.

Btw, sekilas saya baca kalian akan bermukim di luar negeri kelak. Menurut saya, coba sarankan kepada suami selain kuliah, ambil beberapa kursus ketrampilan dan kursus bahasa. Titel sarjana Indonesia (apalagi kalau lulusan universitas swasta atau universitas negeri yang belum standar internasional) suka rada-rada dipandang sebelah mata di luar negeri sana (malah ada yang tidak menganggapnya sama sekali sehingga harus mengalami down grade). Jadi, lebih baik ambil beberapa kursus ketrampilan dan kursus bahasa. Jadi, dapat pekerjaannya agak lumayan gitu disana, dan kalaupun harus mulai dari bawah, insya Allah dengan dua kemampuan yang dia miliki dia bisa cepat mengalami peningkatan karir. Ini sekedar sebuah saran yang lain, kalau memang ingin tinggal diluar negeri, kenapa tidak mengambil jalur sebagai TKI di negeri yang sama dengan tempat tinggal ukhti sekarang? Kalau langsung berangkat ke luar negeri dan tidak ada kenalan atau saluran untuk bekerja, agak susah loh mencari pekerjaannya. Apalagi paspornya bukan paspor bekerja (nanti dianggap ilegal lagi). Tapi... semua berpulang kepada kalian.

Wassalamu�alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved