[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Tulang Punggung Keluarga yg Hrs Berhenti Bekerja
Uneq-Uneq - Thursday, 13 November 2008

Tanya: Assalamu'alaikum Mba Ade Anita yang baik, saya mau curhat. Beberapa bulan lagi, insya Allah saya akan menikah. Saya bekerja sebagai seorang karyawati di salah satu perusahaan swasta di kota A, sedangkan calon suami bekerja di kota B. Bisa dibilang saya sbg tulang punggung keluarga, karena orang tua saya sudah tidak bekerja lagi. Yang mengganjel perasaan saya sekarang, apabila saya menikah nantinya, suami ingin saya ikut tinggal bersamanya di kota B. Bila saya turut suami, berarti saya harus keluar dari pekerjaan saya sekarang. Sewaktu saya bicarakan hal ini dengan orang tua saya, saya lihat dari sorot mata mereka ada kekhawatiran, mungkin mereka khawatir dan bingung dari mana mendapatkan biaya hidup. Walaupun mereka tidak mengatakannya, tapi saya merasakannya, dan hal inilah yg membuat saya sedih. Sebelum memutuskan menikah, saya dan calon suami sudah mendiskusikan hal ini. Calon suami saya mengerti, dan dia bersedia untuk mensupport keluarga saya dalam hal financial. Sebenarnya saya senang sekali dengan keputusan calon suami yang bijak dan mau bertanggungjawab terhadap keluarga saya, tapi disatu sisi saya juga khawatir... Sy rasa kekhawatiran saya sangat beralasan, calon suami berasal dari keluarga yang sederhana, dia merupakan tulang punggung bagi keluarganya. Dengan penghasilannya sekarang, saya kasihan jika calon suami nantinya menanggung semua financial keluarganya, keluarga saya dan kami berdua tentunya. Apalagi sebagai pengantin baru (nantinya), kami berencana untuk menyicil rumah. Saya khawatir penghasilan calon suami tidak cukup untuk biaya hidup keluarga besar kami. Saya juga pernah menceritakan kekhawatiran saya kepada calon suami, saya juga menyarankan bagaimana dalam setahun pertama pernikahan, kami berdua tetap tinggal dikota masing-masing. Tapi dia keberatan, karena dia tidak sanggup jika hidup terpisah selama setahun. Maksud sy untuk berjauhan ditahun pertama pernikahan adalah untuk membantunya secara finansial. Selain itu, saya masih bisa membantu finansial keluarga saya tanpa harus membebankan suami saya nantinya. Mba Ade, apa yang harus saya perbuat? saya masih bingung. Bukankah seorang istri yang shalehah harus patuh pada suaminya? bagaimana dengan nasib keluarga saya nantinya. Saya tau menikah adalah sunah Rasul, dan saya percaya dengan janji Allah yang akan melapangkan rezeki orang yang menikah. Tpi semuanya butuh proses dan waktu, saya khawatir jika ternyata penghasilan suami tidak mencukupi biaya hidup yang tidak sedikit. Terima kasih mba Ade sudah membaca curhat saya.

Wassalamu'alaikum wr. wb.
K di A

jawab:
Wa�alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Sebelumnya saya minta maaf karena ternyata email kamu ini masuk ke spam. Saya nyaris tidak tahu bahwa ada uneg-unegmu disana jika saja tanpa sengaja saya iseng memeriksa bagian spam. Jadi. Mohon maaf jika baru sekarang saya membalas suratmu.

Hm ya ukhi K, saya bisa mengerti semua kegundahan yang ukhti alami saat ini. Tapi, ukhti seharusnya bersyukur karena calon suami ukthi pengertian sekali dan insya Allah seorang pemuda yang baik dan penyayang. Hanya saja, hal yang belum jelas disini adalah ukti apakah punya saudara kandung, berapa orang dan berapa usia mereka? Begitu juga dengan keluarga calon suami ukhti, berapa orang saudara kandung dia dan berapa usia mereka? Apakah seluruh saudara kandung kalian masih dalam tanggungan semua ataukah sudah ada yang mandiri? Karena hal tersebut di atas tidak dijelaskan dalam uneg-uneg ukhti, maka yang akan kita bicarakan ke depan adalah hal-hal yang mungkin dilakukan terkait dengan hal-hal di atas.

Sekarang, JIka ternyata saudara kandung kalian sudah ada yang mandiri atau ada yang masuk/berada di usia produktif. Coba ajak mereka untuk mendiskusikan bagaimana kelanjutan penopangan kehidupan keluarga seterusnya setelah ukhti menikah kelak. Ajak untuk ikut serta membantu urunan menyisihkan penghasilan mereka tiap bulannya sehingga keluarga kalian bisa tetap ditopang ekonominya tiap bulannya. Lalu, bicarakan kepada keluarga bahwa bisa jadi jumlah bantuan yang akan diberikan tiap bulannya mungkin akan berkurang jumlahnya. Untuk itu, mungkin bisa lebih dipikirkan mana saja pos-pos yang bisa dikurangi atau dihemat agar pengeluaran sesuai dengan pemasukan.

Hal lain, coba mulai diskusikan dengan anggota keluarga ukhti atau calon suami, apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan kemampuan mereka sendiri. Apakah ada ketrampilan yang bisa diberdayakan oleh salah satu atau semua anggota keluarga kalian. Jika ada, kenapa tidak mencoba untuk membuka usaha sendiri? MIsalnya usaha buka jahitan, salon, dagang atau buka warung. Untuk modal awalnya, dimungkin ukhti bisa patungan dengan suami ukhti. Tapi jika ternyata modal itu besar dan ukhti serta suami tidak sanggup menyediakannya; coba buat proposal lalu minta pengantar rt dan rw lalu ajukan pinjaman modal usaha kecil menengah ke kelurahan setempat (melalui dana bergulir yang memang ada disana; saya tidak tahu di daerah ukhti, tapi kalau di kelurahan daerah saya, besarnya modal yang dipinjamkan berkisar antara 1 s/d 3 juta rupiah; pengembaliannya dicicil hingga 24 bulan). Atau ajukan pinjaman ke bank syariah setempat; untuk yang terakhir ini, umumnya mereka meminta akte tanah/rumah atau BPKP kendaraan sebagai jaminannya (jumlahnya bisa lebih banyak dari 3 juta rupiah).

Tapi, JIka ternyata tidak ada saudara kandung kalian yang sudah mandiri atau tidak ada satupun anggota keluarga yang masih dalam kelompok usia produktif. Maka, hal yang bisa ukhti katakan pada mereka adalah meminta pengertian mereka bahwa setelah ukhti menikah nanti, maka ukhti akan berhenti bekerja karena pindah mengikuti suami. Untuk itu, maka yang mungkin bisa ukhti lakukan nanti adalah mengirimkan sejumlah uang setiap bulannya. Jumlahnya tentu saja akan jauh lebih kurang dari jumlah penghasilan yang biasanya ukhti berikan pada keluarga ukhti. Dengan demikian, mohon agar keluarga bisa lebih berhemat dan cerdik dalam menggunakannya.

Coba buat rincian sebenarnya apa saja kebutuhan bulanan yang harus dipenuhi dan cara memenuhinya. MIsalnya, di tabel exsel dalam program office work, buat lajur-lajur pengeluaran rutin, pengeluaran tidak rutin. Pengeluaran rutin tentu meliputi ongkos transportasi, bayaran sekolah, tagihan, serta beli beras, minyak dan bahan bakar gas/air isi ulang. Sedangkan pengeluaran tidak rutin mungkin meliputi biaya jajan, beli buku, beli lauk pauk, pakaian, dan perabotan serba serbi. Dalam hal ini, mungkin yang bisa ukhti bantu hanya sebagian pengeluaran rutin saja. Agar tidak habis sebelum waktunya, jangan semuanya berbentuk uang. Beras, minyak dan uang bayaran sekolah langsung dalam bendanya (masukkan uang bayaran sekolah dalam kartu bayarannya). Sisanya berikan pada ibu dan minta ibu untuk mengaturnya sebijak mungkin. MInta saudara-saudara ukthi yang lain untuk lebih berhemat .

Memang berat sih ukhti cara ini tapi percayalah, semuanya terasa berat karena belum pernah dicoba dan masih dalam baying-bayang. Tapi percayalah, �semua orang akan bermetamorfosa dengan keadaan yang dia hadapi agar dia bisa tetap survive�. Gejolak pasti ada deh di awal-awal penyesuaian, tapi, karena ini sebuah perubahan dan mau tidak mau semua orang yang terlibat harus ikut berubah, maka masing-masing akan dengan sendirinya menyesuaikan diri dimana tempat dia dan bagaimana dia seharusnya. Berdoa saja tiada putus pada Allah SWT agar keluarga ukhti diberi kemudahan untuk melakukan penyesuaian serta dilimpahi kesabaran, kesehatan dan kerukunan.

Ukhti benar. Istri memang seharusnya mengikuti suaminya (kecuali jika suaminya pergi ke tempat lain dalam waktu yang sebentar). HIdup terpisah sebagai suami istri itu amat sangat tidak menyenangkan. Karena memang sudah sunnatullah-lah sepasang suami istri itu harus bersisian. Dengan demikian, mereka bisa saling membantu, saling mengasihi dan dan saling tolong menolong dalam berbagai macam kebaikan.

Jika memungkinkan, ada satu lagi yang bisa dilakukan jika memang kantor tempat ukhti bekerja tidak memiliki cabang di kota B (kalau ada ukhti kan bisa minta dimutasikan ke kota tempat suami berada). Yaitu, coba buka usaha di kota baru tersebut. MUngkin dagang door to door, atau dagang via internet, atau buka warung, atau buka usaha apa gitu. Modalnya, bisa minta suami atau dari tabungan ukhti selama ini, atau ya minjam ke kelurahan, koperasi atau bank syariah terdekat. Nah, uang hasil dagang itu, tentunya bisa dikirim untuk membantu keluarga ukhti. Kendala dan kesulitan ketika pertama kali membuka dan menjalankannya tentu ada. Untuk itu, baca basmallah, berdoa terus dan tetap semangat. Insya Allah suami juga senang karena ukhti bisa membantu dia mencari uang tambahan, ukhti tetap bisa berbakti, dan ukhti sendiri juga jadi punya kegiatan untuk keseharian.

Sekiranya, mungkin itu yang bisa kita sharing. Maaf jika kurang dapat membantu. Semua kekurangan dan kekhilafan ada pada diri saya. Dicoba saja ya ukhti. Seringkali, sebuah ujian diberikan Allah SWT kepada manusia justru sebagai pembuka jalan agar manusia melihat bahwa ada potensi lain dalam dirinya yang bisa dikembangkan tapi selama ini tidak pernah terlihat dan muncul karena tertutup oleh kerutinan dan kemapanan yang bersifat sementara. Jadi, jangan pernah lupa untuk senantiasa bersabar dan bersyukur atas segala sesuatu yang datang dari Allah SWT.

Wassalamu�alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ade Anita

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved