|
Permasalahan Pangan di Indonesia Jurnal Muslimah - Tuesday, 19 May 2009
Kafemuslimah.com
Tentang realitas permasalahan pangan di Indonesia
Tulisan ini akan diawali dengan sebuah cerita tentang bagaimana mekanisme pasar menciptakan �keajaiban-keajaiban� yang selama ini seringkali dinafikkan oleh kebanyakan ekonom. Cerita ini adalah cerita tentang naiknya harga beras pada periode 1998-2002 (Setiawan, 2003). Pertama-tama, dihembuskanlah isu kemungkinan kemarau dan gagal panen sehingga memberikan efek psikologis terkait pasokan beras di pasar internasional yang kemudian mempengaruhi tingkat harga beras di pasar nasional dan internasional. Dalam konteks Indonesia, pasca berhembusnya isu ini, para importir beras nasional melanjutkan peristiwa ini dengan menjual 50% stok beras yang dimilikinya kepada BULOG, dan setengahnya lagi kepada pasar dengan harga yang sudah di mark-up dari harga impor, namun tetap dibawah harga pasar yang terbentuk saat itu. Pada titik inilah terjadi ketidakadilan baik kepada produsen maupun konsumen. Cukup dengan mendengungkan gagal panen, harga melonjak, barang dilepas. Importir membeli beras dengan harga US$ 115 per ton, dan barang dilepas US$ 190. Artinya, kalau ada lima juta ton beras yang diimpor dalam satu kuartal oleh beberapa importir beras, akan ada selisih keuntungan kotor sebesar US$ 375 juta alias Rp 3,450 trilyun (kurs Rp 9.200) yang didapatkan oleh kartel importir ini. Sementara itu, produsen tidak mendapatkan apa-apa karena memang barangnya telah dilepas sedangkan konsumen harus harus membeli barang jauh lebih mahal. Demikianlah akibatnya, ketika pasar sektor komoditi primer diserahkan kepada mekanisme pasar.
Akar Permasalahan Ketahanan Pangan Indonesia
Cerita di atas adalah sebuah kisah nyata yang sesungguhnya sering terjadi di Indonesia. Tidak hanya pada beras, peristiwa seperti ini juga terjadi pada seluruh produk komoditi primer (yang di Indonesia didefinisikan sebagai sembako). Dalam konteks ilmu ekonomi, produk komoditi primer dapat dimasukkan ke dalam komoditas yang elastisitasnya mendekati nol. Sederhananya, barang yang elastisitasnya mendekati nol adalah barang-barang yang jumlah permintaannya akan cenderung tidak berubah berapapun tingkat harganya karena barang-barang yang masuk dalam komoditi ini adalah barang-barang yang dibutuhkan semua orang berapapun tingkat harganya. Dengan kata lain, volume permintaan akan barang ini akan cenderung tetap (bahkan naik), sementara pasokan barang dapat terus berubah tergantung produksi yang dihasilkan. Artinya, berapapun produk yang dihasilkan, kebutuhan akan komoditi primer ini tidak akan berubah sehingga ketimpangan akan penawaran dan permintaan ini akan diselesaikan mekanisme pasar dengan naiknya harga komoditi tersebut. Dalam konteks Indonesia, ketiadaan kebijakan untuk mendiversifikasi bahan pangan utama membuat beras masuk ke dalam barang yang elastisitasnya nol.
Selain faktor supply komoditas, faktor lain yang menyebabkan permasalahan ketahanan pangan adalah struktur pasar yang menimbulkan ketidakadilan dan distorsi dalam pasar. Sebagai pemerintah yang pro-pasar, pemerintah seharusnya tidak terlihat panik ketika terjadi kenaikan harga; karena seharusnya, mekanisme pasar dalam jangka waktu tertentu akan memperbaiki hal ini. Namun sayangnya, hal ini hanya dapat terjadi ketika kondisi pasar berada dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Dan fakta yang kemudian membuat pemerintah terlihat panik ketika terjadi kenaikan dalam produk komoditi primer ini adalah keberadaan struktur pasar yang tidak adil. Pasar yang ada dalam sektor komoditas ini umumnya cenderung berbentuk oligopsoni, oligopoli terkoordinasi (kartel), atau dominasi arus supply barang impor di dalam pasar oleh salah satu importir. Hal ini kemudian membuat pemerintah tidak bisa menyesuaikan kebijakan berorientasi pasarnya dengan tuntutan stabilisasi harga pangan.
Sebagai gambaran, oligopsoni adalah sebuah kondisi pasar di mana produsen atau penjualnya banyak (dalam hal ini petani), sementara pembelinya hanya ada beberapa (dalam hal ini diantaranya adalah para pengijon, renternir, dan juga supplier besar). Hal ini kemudian membuat para petani hanya dapat menerima harga yang ditetapkan oleh beberapa pembeli tersebut kecuali kalau pemerintah turun langsung menentukan Harga Ecerean Terendah (HET). Namun mekanisme HET ini hilang sejalan dengan diliberalisasinya BULOG. Contoh dari struktur pasar yang oligopsoni terjadi hampir pada semua produk-produk pertanian.
Sialnya, struktur pasar yang oligopsoni ini dilanjutkan dengan struktur pasar yang oligopoli, bahkan seringkali cenderung terbaca adanya kartel perdagangan yang terepresentasi dalam dominasi supply oleh sebagian pedagang dan importir. Kedua hal ini kemudian mengarah kepada produsen dan konsumen sebagai price takers (tidak punya kemampuan menentukan harga). Sedangkan para importir dan pedagang besar, dengan kemampuannya mengatur volume impor, supply, dan kemudian harga, menjadi price makers (penentu harga). Bodohnya para pejabat pemerintah republik ini, situasi ini didiamkan dengan harapan besar bahwa pasar akan menyelesaikan masalah ini dengan mekanisme ajaibnya. Kalaupun pemerintah turun untuk menyelesaikan permasalahan ini, strategi-strategi yang diambil pemerintah malah hanya berakhir pada pemberian subsidi yang seringkali diselewengkan. Padahal situasi seperti ini sesungguhnya hanya membutuhkan tindakan serius dari pemerintah untuk memperbaiki struktur pasar. Akibatnya, konsumen dan petani (yang juga merupakan konsumen) menjadi pihak yang paling dirugikan. Contoh pada oligopoli terkoordinasi terjadi pada kasus impor kedelai beberapa bulan belakangan ini; sedangkan contoh dominasi supply barang oleh satu pedagang terjadi pada kasus impor tepung terigu di mana Bogasari menjadi importir dominannya.
Selain itu, faktor lain yang juga turut menjadi permasalahan dalam produksi bahan pangan adalah mentalitas elit negeri ini yang lebih merasa bangga ketika Indonesia menjadi negara industri manufaktur besar dibandingkan menjadi negara pertanian besar. Sebagai gambaran, pemerintah lebih tertarik untuk mengundang investor asing untuk berinvestasi dalam industri manufaktur dibandingkan mengmbangkan sektor pertanian. Gambaran lain yang menggambarkan cukup gamblang terkait pola pikir ini adalah fakta di mana Indonesia merupakan eksportir beras nomor sembilan terbesar di dunia sebelum bergabung dengan WTO pada tahun 1998. Namun, semenjak 2001, Indonesia menjadi importir beras terbesar di dunia (Halida M, Mantan Dubes Indonesia untuk WTO). Hal ini kemudian menjadi hambatan kultural yang kemudian mempengaruhi mentalitas produksi petani Indonesia. Rakyat negeri ini sepertinya tidak percaya kalau mereka akan bisa kaya dan terhormat dengan menjadi petani. Padahal situasi perdagangan dunia saat ini ditopang oleh harga komoditas primer yang tinggi sehingga apabila para petani difasilitasi untuk berhasil dalam pertanian, para petani dan mayoritas konsumen negeri ini (yang juga petani) dapat lebih sejahtera.
sumber : "RAPBN 2009: fight for the poor", pusat kajian dan studi gerakan bem ui.
" Tanpa sepenuhnya disadari, kekuatan untuk mengubah wajah dunia ternyata ada di rumah kita. Keputusan kita untuk memilih makanan, minuman, tempat belanja, prioritas keuangan, dan seterusnya, adalah keputusan politis yang bisa menentukan jutaan nasib manusia. Keputusan kita untuk memilih antara beras impor atau beras lokal, buah impor atau buah lokal, dapat menyelamatkan pendapatan para petani Indonesia. Keputusan kita untuk memilih satu lagi tas bermerk untuk menemani sepuluh tas yang ada atau mendonasikan uang untuk biaya sekolah satu anak, akan membawa perbedaan besar.
Tantangan paling besar tentunya adalah keinginan melihat efek yang instan dari tindakan kita. Juga skeptisisme bahwa hal kecil yang kita lakukan betul-betul punya dampak. Begitu pula sikap eskapis yang menggoda kita untuk �membuang� kendali itu dengan misalnya berkata �tidak semua ibu punya kapasitas berpikir yang sama jadi lupakan saja. Dan, lagi-lagi pemberdayaan itu kabur dari tangan kita.
Tidak ada lagi saat yang paling tepat untuk para ibu mengambil peran sebagai lokomotif perubahan dan penjaga kehidupan. Saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?"
Winda Vanya [ 0 komentar]
|
|