[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Mari Menulis
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

dBC Network
Tebar Jilbab - LP2i
Ibu Melarangku Menerima Pinangan Poligami
Uneq-Uneq - Wednesday, 25 November 2009

Tanya: Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Saya perempuan, 26 tahun, sebut saja nama saya Chiko.
Saya punya masalah dengan ibu saya.

Beberapa bulan yang lalu ada seorang laki-laki yang datang untuk melamar saya. Laki-laki ini berasal dari Arab Saudi, berusia 59 tahun dan ingin menjadikan saya sebagai istri-nya yang kedua.

Saya mencintai laki-laki ini karena dia sangat mengerti agama. Saya yakin dia bisa membimbing saya. Tapi ibu saya tidak menyukai dia dan melarang kami untuk menikah. Pada saat itu ayah saya hanya diam. Ayah saya memang tergolong suami takut istri. Hal ini mungkin disebabkan ayah saya sudah lebih dari 10 tahun tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap (pengangguran). Dan sejak saat itu sampai sekarang ibu-lah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Yang ingin saya tanyakan adalah:
Apakah secara agama ibu berhak melarang saya menikah dengan laki-laki pilihan saya tersebut?

Alasan yang dikemukakan ibu bukanlah alasan yang syar�i, yaitu:
1. perbedaan usia yang jauh (33 tahun),
2. jauhnya asal laki-laki tersebut, dan
3. poligami

Mbak, setahu saya 3 alasan utama yang dikemukakan ibu tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam.

Masalah perbedaan usia dapat dipatahkan dengan fakta perbedaan usia yang sangat jauh antara Rasulullah SAW ketika beliau menikahi Aisyah Ra.

Masalah jauh, Islam juga tidak melarang seorang muslimah untuk menikah dengan laki-laki yang berasal dari tempat yang jauh.

Sedangkan masalah poligami, poligami merupakan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Mbak, apakah ibu saya berdosa dengan melarang saya menikah? Dan apakah seya termasuk anak yang durhaka jika saya tetap menikah dengan laki-laki tersebut?

Mohon jawabannya dengan dalil-dalil yang kuat dari Al Qur�an dan Hadits Sahih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Hormat saya,

Chiko
Jawab: Wa�alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Jika ditanyakan, apakah ibu saya berdosa dengan melarang saya menikah? Maka jawabannya adalah iya. Orang tua yang mempersulit terselenggaranya sebuah perkawinan, apalagi untuk anaknya sendiri, tentu saja orang tua yang tidak patut dijadikan contoh. Karena, selain kematian maka sesuatu yang harus disegerakan untuk diselenggarakan adalah sebuah pernikahan. Mengapa? Karena memperlama sebuah pernikahan hanya akan mendekatkan calon pengantin melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama (seperti perzinahan misalnya.

Lalu, jika ditanyakan lagi, apakah saya termasuk anak yang durhaka jika saya tetap menikah dengan laki-laki tersebut? Maka saya jawab, wallahu�alam; tergantung bagaimana cara anak tersebut menjalankan pernikahannya. Jadi ada perbedaan buah hasil perilaku. Jika si anak melakukan pemberontakkan dengan cara kasar dan menyakiti hati ibunya hingga si ibu terlontar kata �menyesal telah mengandung si anak selama 9 bulan, berjuang melahirkannya dan mencoba bersabar menyusuinya ketika masih bayi� maka otomatis si anak akan berdosa. Dan akan menjadi anak durhaka ketika si anak tidak sempat meminta maaf kepada ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan masih menyimpan rasa sakit hati pada si anak (kamu tentu masih ingat kisah sahabat Nabi yang tidak bisa meninggal dunia dengan tenang karena ketika ibunya masih hidup dia belum sempat meminta maaf padahal ibunya sakit hati padanya).

Dengan kata lain, Jangan melihat secara tekstual saja masalah dosa atau tidak dosa, syar�i atau tidak syar�i. Ada substansi dalam ajaran Islam yang harus dilihat secara keseluruhan dalam mengamalkan sesuatu yang bukan ibadah wajib (jika sebuah perintah agama, yang hukumnya wajib/fardhu, maka yang harus kita lakukan adalah kita mendengar dan kita taat, tanpa harus bertanya-tanya lagi, selama ibadah itu sesuai dengan tuntunan baku yang tertera di AL Quran dan Al Hadits).

Misalnya. Mengapa disunnahkan memberi dan menjawab salam? Karena substansinya, dengan menyebarkan salam, maka tali silaturahim akan tetap terjaga. Meski demikian, ada aturannya. Menjawab sebuah salam hukumnya Fardhu kifayah, yaitu wajib sampah ada orang lain yang melakukannya. Dengan demikian, jika ada yang memberi salam lalu salam itu tidak dijawab maka si penerima salam berdosa. Tapi, ada lagi tuntunan lanjutannya. Seorang muslimah tidak boleh memberi salam terlebih dahulu kepada laki-laki yang bukan muhrimnya; dan etikanya, yang sedikit memberi salam terlebih dahulu kepada yang banyak. Jadi, jika seorang wanita bertemu dengan seorang laki-laki dan si wanita itu diam saja tidak memberi salam kecuali jika laki-lakinya memulainya terlebih dahulu dan wanita tinggal menjawabnya saja, maka hukumnya si wanita tidak menjadi berdosa. Tuntunan lain adalah, seorang muslim tidak boleh (bahkan hukumnya menjadi haram) jika memberi salam kepada orang-orang non muslim. Mengapa? Ini terkait dengan hukum syariah lain dalam Islam, yaitu larangan untuk mendoakan orang-orang non muslim kepada kebaikan karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang durhaka kepada Allah SWT. Jadi, mengapa harus mendoakan mereka yang terang-terangan tidak mengakui Allah dan bahkan mencoba untuk menjauhkan orang-orang beriman dari beriman kepada Allah ? Dengan demikian, jika satu orang berhadapan dengan kerumunan yang banyak yang tidak diketahui apakah dalam kerumunan itu semuanya Muslim ataukah ada yang non Muslimnya, maka tidak perlu yang sedikit itu member salam terlebih dahulu kepada yang banyak. Demikian substansi dari pemberian salam sebagai salah satu perilaku yang disunnahkan dalam Islam.
Sekarang kita melihat sesuatu yang lain yang juga disunnahkan oleh Rasulullah SAW dan sekarang sedang ingin ukhti jalankan. Poligami.

Mengapa disunnahkan melakukan poligami? Karena dengan poligami insya Allah akan tertolonglah banyak wanita lajang muslimah untuk mendapatkan laki-laki beriman yang mengerti agama sebagai imam dan suami mereka. `Ada banyak contoh sejak zaman Rasulullah SAW dimana seorang wanita beriman akhirnya rusak aqidahnya karena menikah dengan laki-laki yang tidak beriman. Zaman Rasulullah SAW dahulu, jumlah wanita beriman jauh lebih banyak ketimbang laki-laki yang beriman. Ini karena banyak laki-laki beriman yang pergi maju ke medan perang dan gugur meninggalkan janda-janda dan anak-anak gadis mereka. Untuk itulah maka poligami dibolehkan dalam Islam.

Bagaimana dengan kondisi zaman sekarang? Kita tidak dalam keadaan berperang dengan siapapaun. Tapi, ternyata jumlah wanita beriman tetap lebih banyak ketimbang laki-laki yang beriman (= muslim dan faham akan agamanya). Hal ini karena, kebanyakan wanitalah yang lebih banyak waktu luang untuk menimba ilmu agama ketimbang laki-laki yang waktunya tersita untuk bekerja dan belajar dan secara kuantitas, jumlah fisik wanita muslimah memang lebih banyak daripada laki-laki Muslim. Dengan demikian, sunnah poligami tetap dapat dijalankan.

Tapi, untuk menjalankan perilaku sunnah tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Karena, substansi lain dari sebuah perkawinan poligami adalah, menyatukan beberapa keluarga dalam sebuah kasih sayang yang adil; melindungi hak-hak keluarga agar tidak ada yang terabaikan dan sama-sama bisa merasakan kedamaian dalam naungan Islam.

Dengan demikian, jika sebuah poligami ternyata diprediksikan akan menyebabkan perpecahan dalam keluarga, permusuhan antar anggota keluarga, atau menjauhkan anggota keluarga dari substansi Islam itu sendiri, maka, poligami menjadi sesuatu yang tidak dianjurkan untuk dijalankan. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika kondisinya menjadi kian parah, maka poligami justru menjadi sesuatu yang haram untuk dilakukan.

Jadi, sekarang kita lihat dulu, apa yang sesungguhnya terjadi pada keluarga ukhti.

Berbakti pada kedua orang tua itu, hukumnya wajib. Menjalankan kehidupan pernikahan poligami itu sunnah. Menyakiti hati ibu itu terlarang.

Ukhti, kenapa calon ukhti tidak dibawa kepada ibu ukhti lalu perkenalkan mereka. Untuk proses selanjutnya, mengapa tidak minta tolong pada calon ukhti untuk mendekatkan diri dan meyakinkan ibu ukhti bahwa dia insya Allah akan menjadi suami yang baik dan imam yang amanah bagi putri beliau.

Setiap ibu sayang pada anaknya. Pengalaman mengajarkan, lewat pemberitaan tentang perilaku orang-orang di Timur Tengah sana terhadap TKW kita yang selalu digambarkan sebagai orang yang kasar, penuh nafsu seksual dan keji, membuat ibu ukhti ragu untuk melepas anaknya menikah dengan orang dari Timur Tengah sana. Pengalaman juga mengajarkan, lewat berita yang berseliweran, bahwa orang-orang Arab, sering sukuisme, mereka amat mengedepankan kelompoknya, sukunya, sehingga jikapun ada orang luar yang masuk kelompok mereka, maka orang luar itu sering diperlakukan sebagai warga kelas dua. `Banyak berita poligami yang berkembang di masyarakat kita yang memberitakan bahwa istri non Arab, sering jadi menantu nomor dua bagi ibunda suaminya; dia ditempatkan di prioritas berikutnya dalam memperoleh macam-macam hak, tapi ditempatkan didepan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat rumah tangga. Ibu ukhti, tentu saja keberatan untuk melepas ukhti yang dikandungnya selama Sembilan bulan dengan susah payah, dilahirkan dengan memperjuangkan hidup dan mati, dibesarkan dengan cara membanting tulang dan memeras keringat, ke tangan orang yang tidak dia percaya bisa amanah menghidupi ukhti. Biar bagaimanapun, orang tua berhak memiliki keberatan-keberatan untuk memilih pada siapa anaknya akan dia berikan, karena jika terjadi sesuatu pada anaknya tersebut (perceraian, kematian, kecelakaan fatal), maka anak tentu akan dikembalikan lagi kepada orang tua. Orang tua mana yang rela melepas anaknya pada tangan yang tidak dia percaya dengan kondisi seperti ini?

Kecuali�. Kecuali jika ukhti tetap nekad untuk menikah lalu mengambil semua resiko yang mungkin terjadi dengan catatan: jika terjadi sesuatu, tidak berkeluh kesah dibelakang hari dihadapan orang tua ukhti (percayalah, berat sekali jika tidak melakukan ini, dada dan kepala akan terasa mau meledak rasanya); atau jika terjadi sesuatu, tidak akan meminta tolong pada orang tua dibelakang hari (bisakah? Bagaimana jika suatu hari ukhti sakit, suami pergi, anak masih kecil-kecil, pembantu tidak ada, siapa yang akan ukhti hubungi untuk membantu dan menemani? Dialah orang tua ukhti, yang dengan ikhlas memang ditakdirkan untuk membantu anaknya seumur hidup mereka. Bisakah ukhti tidak meminta tolong pada mereka apapun kondisi ukhti nantinya? Sulit kan.); dengan kata lain, ukhti pasti suatu hari akan datang pada orang tua ukhti, tapi bagaimana jika hubungannya dari awal sudah tidak enak.

Karena itu, cobalah minta pada calon suami ukhti agar dia mendekatkan diri dengan keluarga ukhti, terutama mendekatkan diri dengan ibu ukhti. Jangan ukhti saja yang maju menjadi tameng untuk meminta persetujuan dari ibu ukhti. Dia, sebagai seorang laki-laki yang pernah menikah sebelumnya, juga harus membantu ukhti untuk meyakinkan pada ibu ukhti bahwa dia siap membahagiakan ukhti. JIka perlu, minta istri pertamanya untuk datang meminta ukhti. Biasanya, jika ibu sudah melihat keikhlasan istri pertama dalam menerima anaknya untuk menjadi madu bagi dirinya, maka ibu akan luluh dan yakin bahwa anaknya insya Allah akan diterima dikeluarga poligami tersebut. Ini sudah banyak dibuktikan oleh pasangan-pasangan poligami yang sukses, dimana istri pertama ikut meyakinkan orang tua bagi madu suaminya tersebut bahwa mereka akan berusaha membahagiakan madunya tersebut.

Btw, kamu sudah saling kenal dan akrab kan dengan istri pertamanya? Saran saya, harus. Dengan demikian akan muncul sikap toleransi dan tenggang rasa antara kalian sebagai istri-istri suami kalian, dan akan muncul sikap saling menyayangi satu sama lain serta sikap saling melindungi dan saling menutupi kekurangan dan kerjasama memunculkan kelebihan masing-masing. Inilah substansi penting dari sebuah perkawinan poligami. Membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah dengan satu, dua, tiga atau empat orang istri sekalipun.
Demikian semoga bermanfaat.

Wassalamu�alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita

[ 0 komentar
]

© 2002-2011 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved