[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Suami yang berubah dan hubungan majikan-pembantu
Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004

Assalamu'alaikum wr. wb.

Saya dan suami saya sudah memasuki usia pernikahan tahun ke 4, dan sudah dikaruniai 2 orang anak. Saya anak pertama dari empat bersaudara. Keluarga saya dan keluarga suami saya dulunya berbeda dari segi ekonomi dan sosial. Suami saya sejak bulan Ramadhan tahun lalu, alhamdulillah mulai belajar mendalami agama dengan menjalankan islam dengan tekun (yang wajib/rutin, shalat lima waktu dan mengaji sesudah shalat shubuh). Sebelumnya parah (kasar thd keluarga, tidak menghargai keluarga saya, semena-mena dsb.). Dia menyadari bahwa sejak kecil tidak ada pendidikan agama di keluarganya kecuali mengaji dan mengaji tanpa tahu arti. Jadi kemungkinan sekarang tekun belajar, akan tetapi tidak ada yang membimbing, jadinya ngawur.

Sekarang, seluruh hal saat ini harus menuruti aturan mainnya, misalnya : seluruh gambar kecuali kaligrafi dan gambar masjid (termasuk foto kedua anak kami, haruslah diturunkan /tidak boleh dipasang lagi). Menurutnya, malaikat tidak akan datang, bila rumah kita terdapat gambar anjing atau gambar lainnya yang tidak islami. Saya setuju saja dengan hal ini, tidak terlalu memberatkan.

Ada satu hal yang memberatkan bagi saya, bahwa "Kita dan pembantu di rumah ini tidak ada bedanya, jadi kalau dia melangkah di depanmu tidak menggunakan kata permisi, sementara kamu duduk di bawah, itu sah-sah saja" Apakah hal ini benar ? Apakah dalam Islam ada sopan santun atau tata krama mengenai hal ini? Sampai-sampai, dia pun rela jika misalnya harus tidur di kasur pembantu atau sebaliknya, pembantu tidur di kasur/ tempat tidur kami.

Bagaimana saya harus mengatasi suami saya yang sudah ' berubah ' aneh ?! Saya ingin tahu hukum islam yang pasti mengatur masalah ini, krn hanya dengan begini, suami saya percaya, saya mendapatkan sumber yang benar. Sikap aneh lainnya adalah tidak mau membantu keluarga saya (yang kekurangan) di karenakan ada tulisan yang mengatakan bahwa penghuni surga paling banyak adalah orang miskin, jadi biarlah mereka miskin, toh nantinya akan masuk surga. Meminta adik saya memakai jilbab, krn adik saya ditanggung sekolah oleh suami, jadi wajib patuh aturan mainnya di rumah ini. Sementara pembantu saya menolak saya suruh shalat wajib lima waktu, suami tidak menghiraukannya ( dibiarkan saja ).

Saya sangat mengidam-idamkan keluarga sakinah, apakah dapat terwujud dengan suami saya yang ajaib ? atau ada penyelesaian lain? Setiap kali saya ajak pergi ke masjid utk bertanya bagaimana membentuk keluarga sakinah, jawabannya hanya,"Belum tentu, orang yang menasehati tersebut keluarganya harmonis!" Dan masalah-masalah lainnya, termasuk urusan kesamaan visi dalam mendidik anak. Apa yang harus saya lakukan ? Mohon jawaban dan saran dari saudari penulis.

Terimakasih
Wass. Wr. Wb.
Akhwat E

Jawab:

AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ada sebuah rangkaian dalam terjadinya perubahan perilaku seseorang. Rangkaian itu bermula dari:

Knowledge (pengetahuan) ->-> belief (keyakinan) ->-> Attitude (sikap) ->->Intention (niat) ->-> Overt behavior (perilaku nyata)

Jadi, bermula dari adanya pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang kemudian membentuk sebuah keyakinan tertentu dalam dirinya akan sesuatu hal; melahirkan sebuah sikap atau kecenderungan untuk memilih suatu tindakan yang tercetus dalam sebuah niat di dalam dirinya dan pada akhirnya akan terlihat secara nyata dalam perilaku seterusnya dari individu yang bersangkutan. Pengetahuan yang berubah akan membuat rangkaian tersebut mengalami perubahan juga dan akibatnya perilaku seseorangpun bisa berubah. Bisa berbentuk perilaku melakukan sesuatu atau bahkan meninggalkan sesuatu.

Pengetahuan yang dimaksud disini adalah ilmu tentang sesuatu. Islam menekankan bahwa Ilmu adalah pendahulu dari amal perbuatan, sebagaimana yang diucapkan oleh Muads bin Jabal ra., “Ilmu adalah imam, sedangkan amal perbuatan adalah makmumnya.” Dengan ilmu pengetahuan kita akan mendapatkan sesuatu yang bisa menjelaskan kepada kita antara yang hak dan yang batil dalam perkara-perkara ideologi; sunnah dan bid’ah dalam ibadah; sahih dan rusak dalam bermuamalah; halal dan haram dalam perbuatan; benar dan salah dalam pemikiran; terpuji dan tercela dalam sikap; dan membedakan individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat; maka menuntut ilmu lebih utama daripada amal perbuatan. Imam al-Huda Umar bin Abdul Aziz berucap: “Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka kerusakannya akan lebih banyak daripada perbuatannya.”

Oleh karena itu, mengutamakan ilmu pengetahuan adalah merupakan suatu kewajiban. Ilmulah yang menunjukkan kita kepada amal saleh, sebagaimana ilmu jualah yang menunjukkan kita kepada keimanan.(lihat Al-Hajj:54; Al-Alaq: 1-5; Al-Muddatstsir:1-7). Semua tersebut adalah ayat yang memerintahkan untuk beramal setelah memperoleh ilmu.

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun; dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.”(An-Nahl:78)

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya.”(Al-Israa:37)

Ada tiga cara yang bisa dilalui oleh seseorang untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu pengetahuan yang diinginkan oleh agama Islam (sebagai agama yang luwes, mudah dan lembut), yaitu:

1. Melalui hikmah. Tidak bisa dipungkiri bahwa segala sesuatunya itu adalah berkat karunia Allah semata. Jika kita memperhatikan segala sesuatu di dunia ini, sesungguhnya semuanya memberikan sebuah pelajaran berharga yang melahirkan hikmah dan rasa syukur pada-Nya. Mulai dari gunung yang besar dan semua kejadian atasnya, hingga debu yang sangat kecil dan kejadian yang terjadi padanya. Mulai dari semua makhluk hidup dan semua fenomena yang berlaku padanya hingga semua makhluk mati dan fenomena yang berlaku atasnya. Semuanya mengandung hikmah yang bisa dipelajari dan diambil pelajaran.

“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu, dan pada yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.”(Yunus:6)

Tapi, ternyata tidak semua orang bisa dengan “mudah” dan “benar” memetik hikmah atas segala sesuatunya. Disinilah hidayah Allah memegang peranan penting. Pada siapa hidayah Allah datang? Pada siapa saja dan kapan saja serta dimana saja yang Allah kehendaki. Tapi, ketika hidayah itu sudah diberikan pada seseorang, bukan tidak mungkin hidayah itu bisa diambil kembali. Untuk mempertahankannya, maka kita harus berusaha untuk selalu beserta Allah dimana dan kapan saja.

“Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”(Ali Imran:101)

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah SWT, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Ath-Thalaaq:2)

2. Melalui perbuatan. Yaitu ada kegiatan belajar yang kita lakukan untuk dalam rangka memperoleh dan memperbaharui ilmu pengetahuan untuk diri kita. Al Ghazali menyebutkan dalam kitab Ihya Ulumuddinnya bahwa rintangan pertama yang mesti dilalui oleh seseorang untuk mencapai jalan Allah SWT adalah rintangan ilmu. Ada tiga alat belajar yang dimiliki oleh seseorang. Pertama pendengaran, kedua penglihatan dan ketiga hati.

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahun tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”(Al-Israa:37)

Pendengaran, porosnya adalah kata-kata dan sarananya adalah penukilan/pemikiran. Penglihatan adalah melihat perkara-perkara yang dapat diamati, disaksikan dan dicoba. Dengannyalah semua ilmu alam dan ilmu eksprerimental bertumpu. Sedangkan hati adalah kombinasi sanubari dan akal. Yaitu hal-hal yang membutuhkan penggunaan pengamatan dan penyusunan konsep, untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan dari fenomena yang ada. Dari yang bersifat diperdebatkan menjadi kesimpulan; dari sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang belum diketahui. Begitu perputarannya.

3. Melakukan bantahan terhadap hal-hal yang kurang sependapat/sesuai dengan cara yang lebih baik. Adakalanya, pemahaman seseorang atau suatu kelompok dibatasi oleh keterbatasan kemampuannya untuk memahami sesuatu. Karenanya, hendaknya kita selalu memperbaharui pengetahuan kita dengan belajar pada yang lebih berpengetahuan. Jika bertemu dengan sesuatu hal yang kurang sependapat/sesuai, beri sanggahan dengan cara yang lebih baik. Yaitu dengan mempersandingkannya dengan pengetahuan lain yang setara dan bersama belajar untuk memperoleh kebenaran yang sesungguhnya.

Ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari oleh seorang mukmin adalah ilmu agama (Islam khususnya) karena ilmu pengetahuan ini dapat mengenalkan dirinya kepada Rabb-Nya hingga mencapai batas keyakinan; mengenal Nabi Muhammad saw; meyakini Al Quran yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw; serta mengetahui akidah-akidah islam yang fundamental dalam Islam. Kajian terhadap ilmu agama harus bersandar pada dua pondasi, yaitu Al Quran dan Al Hadits (yang berisi berita dan dalil naqli dan aqli serta ajaran tauhid sedangkan Al Hadits berisi keterangan dari Al Quran tersebut) serta Ilmu-ilmu alam modern (yang dapat menyingkap dalil-dalil yang dapat membantu manusia memahami ayat-ayat Allah di muka bumi).

Ukhti E yang dirahmati Allah SWT.

Perubahan yang suami ukhti alami tidak bisa dipungkiri karena adanya perubahan pengetahuan yang diperoleh oleh suami ukhti (semoga ukhti memahami penjelasan panjang saya di atas tentang perubahan perilaku seseorang yang berawal dari pengetahuan). Alhamdulillah, ternyata perubahan pengetahuan tersebut membawa suami ukhti untuk berusaha selalu beserta Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah rumah tangga, keharmonisan yang terjadi di dalamnya bisa terwujud jika masing-masing anggota keluarga memperoleh kedudukan yang seimbang atas peranan serta posisinya dan juga pengakuan serta penghargaan akan kemampuan masing-masing anggota keluarga dalam mengembangkan dirnya sendiri. Agar pengakuan/penghargaan dan kedudukan seimbang itu tidak saling berbenturan maka hendaknya masing-masing anggota keluarga mengimbangi perkembangan yang terjadi pada salah satu anggota keluarga. Dalam hal ini, suami ukhti berusaha untuk mempelajari islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari insya Allah; semua ini akan berjalan harmonis dalam keluarga ukhti jika ukhti selaku istrinya dan ibu dari anak-anaknya, juga anggota keluarga lain seperti anak-anak dan sanak famili yang menjadi bagian keluarga ukhti juga mengimbanginya dengan menambah pengetahuan yang sama dan setara. Pengetahuan itu bisa diperoleh dari kelompok-kelompok yang menyediakan sarana untuk itu seperti kelompok pengajian, atau kelompok kajian atau bisa juga melalui lembaga-lembaga pendidikan. Atau bisa dipelajari dengan membaca buku, bersikap kritis dan mengimbanginya dengan bertanya (berguru) pada orang yang lebih berpengetahuan.

Mengapa kita harus bersikap kritis dan tetap harus berguru pada orang yang lebih berpengetahuan? Seperti sudah saya utarakan dalam penjelasan panjang lebar di atas, sesungguhnya seseorang itu memiliki keterbatasan ruang dan waktu dalam memahami segala sesuatunya. Bisa jadi, pada satu waktu seseorang bisa mempelajari materi A, tapi materi A itu sesungguhnya baru akan utuh dipahami jika dia juga mempelajari materi B dan C dan itu semua harus dilihat dari berbagai sudut pandang sebagai satu kesatuan. Itu sebabnya Islam sangat menekankan seseorang untuk menggunakan bukan hanya pendengaran dan penglihatannya saja tapi juga hati (akal dan sanubari) untuk dapat memperoleh pengetahuan. Hakekat pengetahuan inilah yang membuat seseorang sulit untuk belajar seorang diri tanpa mengajak keterlibatan orang lain di dalamnya. Dalam hal ini, jika suami ukhti berkeberatan untuk diajak bertanya pada orang lain yang ukhti anggap lebih memiliki pengetahuan mengenai itu, cobalah ukhti mulai sekarang membeli buku-buku agama dan pelajari lalu berusaha untuk kritis terhadap apa yang diterapkan oleh suami ukhti. Tapi dengan satu catatan khusus yang harus dipegang dalam proses belajar itu, yaitu, ukhti berniat belajar agar bisa menjadi kawan yang sejajar untuk bersama menggapai keridhaan Allah SWT, bukan agar bisa menjadi lawan berdebat. Sekarang ini ada banyak tersebar buku-buku Islam yang terbit dengan berbagai topik bahasan dan materi yang sangat beragam. Saya sendiri, merekomendasikan ukhti untuk memiliki dan membaca buku (bukan promosi loh): buku-buku karangan DR Yusuf Qardhawy seperti fatwa-fatwa kontemporer (1,2,3), Halal dan haram dalam Islam, serta As-sunnah sebagai sumber IPTEK dan peradaban. Buku Karangan Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin, serta berbagai buku tentang shirah nabi dan sahabat dan kajian-kajian mengenai hadits yang tersebar di dalamnya. Insya Allah ukhti bisa mengerti mengapa suami ukhti sekarang berubah sekaligus ukhti bisa menjadi sosok yang kritis terhadap perubahan tersebut (tidak manut tidak juga menentang, tapi kritis untuk mencari kebenaran); dan kelak insya Allah dengan adanya pengetahuan yang sejajar antara ukhti dan suami ukhti maka visi kalian dalam membina dan membangun keluarga akan selaras dan serasi.

Sekarang mengenai kedudukan yang sejajar antara majikan dan pembantu yang diyakini oleh suami ukhti. Pada dasarnya, Islam memang tidak mengenal perbedaan status/kedudukan seseorang. Semua orang adalah sama di hadapan Allah, yang membedakan kedudukan mereka di hadapan Allah SWT adalah kadar ketakwaan masing-masing.

“Sesungguhnya, Allah SWT tidaklah memandang kepada tubuh-tubuh kalian dan tidak pula kepada gambaran kalian, tetapi Allah SWT memandang kepada sanubari kalian.”(HR Muslim) (lihat juga Qs Asy-Syu’araa’:88-89); Al-Bayyinah:5).

Meski begitu, tetap ada hubungan yang (semestinya) harmonis antara individu satu dengan individu yang lain akibat terjadinya ketidakseragaman kapasitas manusia itu sendiri. Ketidak seragaman kapasitas itu seperti ada yang kaya dan ada yang miskin; ada yang tua dan ada yang muda; serta ada yang berpengetahuan dan ada yang tidak berpengetahuan. Disinilah hubungan harmonis ini diatur dalam tata krama dan sopan santun yang menyesuaikan diri dengan budaya dimana individu itu berada karena terkait dengan bab muamalah. Islam sendiri secara garis besar memberi penekanan tentang penghargaan dan penghormatan terhadap mereka yang lebih berpengetahuan dan orang yang lebih tua (orang tua, guru dan ulama); mengasihi yang lemah dan lebih muda (anak, wanita, fakir miskin dan yatim piatu) dan saling mengasihi dan santun terhadap sesama muslim. Selain itu Islam juga memberi penekanan mengenai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh istri, suami, orang tua dan anak-anak dan sahabat. Islam juga mengatur mengenai perbedaan perlakuan antara wanita dan pria dengan memberi batasan tentang muhrim dan bukan muhrim serta pengetahuan tentang aurat yang harus dijaga oleh keduanya. Dalam hal ini, terkait dengan masalah yang ukhti alami, yaitu tentang perlakuan terhadap pembantu rumah tangga.

Pembantu rumah tangga di masa modern sekarang tidak bisa disamakan dengan budak pada jaman Rasulullah dahulu, karena sesungguhnya budak yang dimaksud ini tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri sedangkan pembantu rumah tangga yang dimiliki oleh keluarga-keluarga di masyarakat kita punya hak atas dirinya sendiri. Hal ini terlihat, bahwa para pembantu tersebut punya wewenang untuk memilih apakah dia akan ikut atau berhenti bekerja pada majikannya, juga punya hak untuk meminta atau tidak meminta kenaikan gaji atas pekerjaannya. Karenanya, pembantu disini adalah disebut orang merdeka yang bekerja pada kita. Sebagai orang merdeka, tentu saja dia punya kedudukan yang sama seperti halnya orang merdeka lainnya. Itu sebabnya suami ukhti mengajarkan pada ukhti tentang kesejajaran kedudukan ukhti dan pembantu ukhti dalam hal ini dan mengajak ukhti untuk mengasihi pembantu ukhti karena dalam hal ini pembantu ukhti adalah orang yang kedudukannya lebih lemah dan membutuhkan bantuan (=miskin) ketimbang ukhti. Ada sebuah hadits yang menggambarkan hubungan majikan dan pembantu dalam Islam itu seperti apayaitu sebagai berikut:

“Abu Dzar ra berkata; “Pernah ada pembicaraan antara kami dengan seseorang, yang ibunya bukan orang Arab. Aku mencela ibunya. Orang itu lalu mengadukanku kepad Nabi yang lalu Rasulullah bertanya kepadaku, ‘ Apakah engkau pernah memaki Fulan?’ ‘ya’ jawabku. Tanya Rasulullah kemudian, ‘Apakah engkau juga mencela ibunya?’ Aku jawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Sesungguhnya engkau adalah orang yang masih membawa nilai jahiliyah.’ Aku bertanya, ‘pada saat usiaku sudah tua seperti ini?’ Jawab Rasulullah, ‘Ya. Mereka adalah saudara-saudara kalian yang Allah jadikan berada di bawah kekuasaannya maka ia harus memberi makan seperti apa yang ia makan, memberi pakaian seperti apa yang ia pakai, dan tidak membebaninya dengan pekerjaan yang sangat memberatkannya. Dan bila terpaksa membebaninya dengan pekerjaan yang memberatkannya, maka hendaklah ia membantunya.’”(HR. Bukhari)

Meski begitu, sebagai seorang istri tentu saja ukhti punya kedudukan yang lebih istimewa ketimbang pembantu ukhti. Kedudukan istimewa itu membawa hak-hak istimewa yang dimiliki oleh ukhti, yaitu hak untuk mengatur rumah tangga, mendidik anak, hak untuk memperoleh perlindungan dan perhatian yang lebih dari suami dan hak untuk memperoleh kasih sayang dari suami. Untuk hak-hak istimewa ini, ada adab yang mesti dijaga yang diatur dalam Islam. Islam memberi gambaran suami dan istri itu adalah seperti pakaian dan pemakainya. Artinya, ada hal-hal yang sehendaknya hanya diketahui oleh suami istri itu saja dan tidak boleh diketahui oleh orang luar (seperti aib, aurat, hubungan suami istri dan rahasia lain). Karenanya, sebaiknya ada perbedaan ruangan yang bisa menjaga hal-hal itu agar tetap aman, kamar tidur misalnya. Kamar tidur sepasang suami istri kerap kali menyimpan banyak rahasia yang mesti dijaga oleh pasangan suami istri tersebut. Itu sebabnya kurang baik jika antara majikan dan pembantu sering bertukar kamar. Jika memang ingin bertukar kamar, maka pindahkanlah seluruh isinya sekaligus (dalam arti memang pindah tempat dan permanen) agar rahasia yang dijaga antara pasangan suami istri tetap bisa terpelihara pun untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang justru bertentangan dengan norma Islam itu sendiri. Bayangkan jika majikan dan pembantu sering bertukar kamar; suatu hari jika suami pulang dan masuk kamar bisa jadi dia menyangka yang tidur di tempat tidurnya adalah istrinya padahal ternyata pembantunya sedangkan suami terlanjur melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT (sesuatu yang halal yang ditempatkan pada sesuatu yang haram bisa jatuh menjadi haram). Semoga kita semua dijauhkan dari hal-hal demikian. Aamiin.

Demikian tanggapan dari saya. Semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ade Anita
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved