|
Mata Sang Pejabat Jurnal Muslimah - Wednesday, 03 March 2004
Lelaki itu kembali mengucak matanya. Mengerjap berkali-kali. Namun tak ada perubahan dalam dua biji matanya. Dimana warna pelangi, wajah-wajah cantik dengan pakaian serba terbuka, kedipan licik sahabat politiknya, tubuh gempal preman-preman yang disewa untuk membunuh para pendemo yang menghalangi keinginannya? Dimana? Yang tersisa hanya gelap. Bahkan sekedar bayanganpun tak nampak.
“Santiii! Ambilkan kacamata Papa!”
Sepi. Tak ada langkah kaki Santi putri bungsunya tergopoh-gopoh memenuhi panggilan.
“Mirna! Adi! Fai!”
Istri dan dua anak lelakinya pun tak datang. ‘Sejak kapan mereka berani menentangku? Bukankah aku raja dirumah ini?’ Pikirnya geram. Darahnya deras naik ke ubun-ubun. Kemarahan mencengkeramnya demikian pekat.
Laki-laki itu berjalan tergesa. Menabrak meja, kursi tamu, buffet, televisi serta barang-barang mewah miliknya. Dia lupa akan dua biji matanya yang tak lagi mampu menangkap cahaya.
“Grompyang!” suara guci pecah mengejutkannya.
“Cresh! Aaaw!” laki-laki itu terpekik. Pecahan guci melukai telapak kakinya. Darah merembes membasahi lantai porselen yang mengkilap.
“Guci antikku pecah… Oh! Sialan! Kemana semua? Mengapa jadi gelap begini? Dimana lampu?” teriak laki-laki itu kalap.
Dia kembali berjalan membabi buta. Tak perduli kakinya yang menabrak dan memecahkan semua barang . Tubuhnya terantuk benda-benda keras. Memar membiru. Sampai kemudian dia jatuh terkulai. Kepala seisinya serasa mau meledak. Sendi-sendi terejam ngilu. Terkapar di sudut ruang tamunya yang mewah.
Tangan kanannya menjangkau kaki kursi. Dielus perlahan. Benda itu begitu angkuh berdiri. Tak mampu menolong disaat seperti ini. Barang-barang mewah, rumah-rumah megah yang dibeli dari uang korupsi. Gadis-gadis cantik yang menemaninya kencan. Apa arti semua itu saat ini?
“Tuhan, ya Allah…tolonglah aku…” rintihnya. Tiba-tiba dia merasa dicekik oleh rintihannya sendiri.
Allah? Sejak kapan dia mengingat itu? Bukankah setiap ketiga anaknya mengajak sholat jamaÂ’ah dia selalu menghindar? Bukankah setiap istrinya mengingatkan adzab Allah yang pedih saat dia mengkhianati rakyat, dia tak perduli? Lantas masih adakah Allah dalam hatinya?
Sekian lama dia membuang Allah dari kehidupannya. Toh, dia memiliki segalanya. Harta yang tak habis dimakan tujuh turunan. Kekuasaan yang bisa dipertahankan dengan menyumpal mulut para anggota dewan dengan uang . Keluarga yang masih dimiliki meski dianggap pajangan penghuni rumah mewahnya. Lalu untuk apa Allah?
Namun kegelapan menyeretnya dalam labirin sunyi. Matanya tiba-tiba tak berfungsi. Tak ada setitik cahayapun yang mampu dilihat. Sepi, sedih , asing dan takut yang amat sangat. Rasa itu menguasainya kini.
“Pa, kerudung pink Santi bagus kan Pa?” suara Santi kembali terngiang. Namun dia terus menukuri korannya. Sedikitpun tak melirik kerudung Santi.
“Pa, bunga-bunga mawar yang Mama tanam sudah berbunga semua. Indah sekali. Coba Papa lihat!” rajuk istrinya kala itu. Dia hanya berguman tak jelas. Sibuk menelpon seorang teman.
“Inilah akuarium terindah di dunia. He he he… Ikannya warna-warni dan cantik. Papa suka kan?” Adi dan Fai mempertontonkan hasil karyanya. Dia hanya mengangguk tanpa berpaling pada akuarium buatan anak lelakinya itu.
Beragam suara tiba-tiba menyerbu pendengarannya. Menusuk-nusuk gendang telinganya. Tiba-tiba dia rindu warna-warna itu. Dia ingin melihat kerudung pink Santi, bunga-bunga mawar istrinya juga akuarium anak lelakinya. Kenapa keinginan itu baru muncul sekarang? Setelah matanya tak lagi mampu melihat?
“Ada apa dengan Anda Tuan Pejabat?”
Sebuah suara kembali mengusik. Hei! Bukankah itu suara ustadz Ahmad? Ustadz yang menurut skenario intelijen akan di tangkap dengan tuduhan teroris? Toh, dia justru senang ustadz Ahmad ditangkap. Hm, berarti tak ada lagi yang akan menyentil kedudukannya melalui ceramah.
“Aku…aku…aku tak bisa melihat…”
“Ah Tuan, Anda bercanda. Bukankah Anda sudah buta sejak lama? Mengapa baru kini menyadarinya?”
“Buta? Aku bisa melihat dengan jelas sebelum hari ini?”
“Ya, mata Anda memang dapat melihat, namun mata hati Anda telah buta. Anda telah menuhankan kekuasaan, harta dan wanita. Tak pernah perduli dengan nasib rakyat kecil bahkan keluargamu sendiri. Anda menganggap ibukota ini tak layak di huni rakyat jelata. Bagaimana dengan program penindasan terhadap kaum jelata serta pembelaan Anda terhadap kaum berduit itu?”
“Cukup! Aku tak butuh ceramahmu!”
“Aku tidak sedang ceramah Tuan. Aku hanya mengingatkan Anda…”
Suara itu kembali menghilang. Sesaat kemudian terdengar suara tawa melengking.
“Ha…ha…ha…Si Bos buta! Bos kita buta! Buta! Buta! Buta! Ha…ha…ha…” itu suara preman yang sering disewanya. Mengikik tiada henti bagai tawa setan dari neraka.
“Pergi semua! Pergi! Pergiii!”
Laki-laki itu kembali membabi buta. Tubuhnya yang memar dan lemah dipaksa untuk berdiri dan menerjang semua yang ada di depannya. Energinya terkuras. Hingga kembali terkulai letih. Dia ingin memanggil keluarganya. Orang-orang terdekatnya selama ini. Namun kerongkongannya terasa tersumbat. Tiba-tiba air matanya menetes.
“Bangun Papa! Bangun!”
Sebuah suara membuatnya tersentak. Santi membangunkannya dari mimpi panjang.
“Hah?! Papa mimpi? Mimpi? Papa tidak buta kan?” jawabnya sambil mengguncang-guncang tubuh si bungsu.
“Papa cepat bangun Pa! Jangan ngigau! Di depan rumah sudah berkumpul ribuan gelandangan. Mereka akan membakar rumah kita!”
Kata-kata Santi bagai halilintar yang menyambar kepalanya. Dia sudah terbangun dari mimpinya. Namun dia merasakan dunia masih gelap. Dia merasa benar-benar buta seperti dalam mimpinya.@rye.
***
Jkt, 17 ‘10’03
Oleh : Srikandi [ 0 komentar]
|
|