|
Homestay di Luar Negeri Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
Assalamualaikum Mbak Ade,
Namaku C. Aku sekarang lagi kuliah di Austrlia semester 3 atau tahun ke 2.
Hiks... hiks... aku lagi sedih nih mbak! Aku lagi punya beberapa hal yang mengganjal di hati. Bantuin ya mbak supaya aku bisa memecahkan masalah ini.
Aku sekarang tinggal di homestay bersama satu orang Australian (suami istri, umurnya kurang lebih 50-56 tahun) dan satu anak dari Jepang.
Nahhh... mereka kan bukan muslim dan artinya mereka gak makan makanan halal. Dan artinya lagi, sudah satu tahun ini aku gak makan makanan halal. Aku sih emang ga makan babi karena aku sudah bilang dari pertama kali Muslim itu gak makan babi. Nahhh... karena terbiasa kalau semua daging, ayam dll di Indonesia itu dipotong dengan halal, aku lupa bahwa di Aussie tidak begitu halnya. Tadinya aku berencana mencari roommate atau temen sharehouse yang muslim, tapi koq gak ketemu-ketemu yah? atau kalau ada, ya aku kurang sreg aja. Aku senang tinggal di homestay ini karena semuanya udah "all in" (dimasakin makan malam, dicuciin dan disetrikain) jadinya aku bisa belajar dengan tenang. Mama Papa ku juga senang aku tinggal disini karena masih ada yang ngawasin aku.
Kemaren aku beli daging halal di tukang jual daging halal yang jauhnya sekitar 2 jam lebih kalau naik public transport (aku cuma gak makan halal pas makan malem doank mbak, kalau pas makan diluar atau pengen masak sendiri aku selalu beli daging halal atau yaaa... makan seafood aja). Nah ... kemaren aku coba menjelaskan tentang halal ke ostparentku (sebut saja J), eh rupanya dia salah ngerti. Dan aku gak suka kata-katanya dia ke aku kemaren. Aku kan nunjukin lambang halal di mie goreng ama biskuit halal dari Singapore. Ehhh... malah dia ngomong gini ke aku,"Aku gak suka beli makanan asing atau impor, aku hanya akan beli bikinan Australia (dia nunjukin ke aku biskuit yang sejenis kaya punya aku tapi bikinan Australia), biar duitku bisa tetap berputar di Australia dan gak ke luar!" Wahhh... pokoknya segala tetek bengek diomongin deh ama dia. Ihhh.... aku sih cuma bisa dongkol sendiri aja. Abisnya tuh orang koq gak nyambung banget sih. Gue ngomong apa dia ngomong apa. Lagian koq bisa-bisanya ya orang sepicik dia itu. Emang dia gak mikir apa, meskipun tulisannya buatan Aussie, tapi emang bahan
dasarnya dari Aussie juga apa. Mana bisa sih negara satu tidak tergantung dengan negara yang lain. Wong... manusia aja masih membutuhkan manusia lain koq.
Yaa... begitulah mbak ceritaku. Aku minta saran donk mbak, apa sebaiknya aku pindah atau gimana? Atau bagaimana aku menjelaskan dan memberi pengertian ke J, supaya bisa dan mau membeli daging yang halal saja. Oh iyaÂ… sebagai tambahan J adalah orang Kristen yang lumayan rajin juga pergi ke gereja tiap Minggu.
Terima kasih ya mbak atas jawabannya dan kesediannya memdengerkan curhat anku. Hehehe......
Wassalamualaikum
Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Beberapa bulan yang lalu, aku pernah baca sebuah ulasan di salah satu Media Massa yang menyebutkan, bahwa sebuah penelitian mengungkapkan bahwa seseorang yang pada saat ini menduduki jabatan atau kedudukan penting di masyarakat dan punya “arti spesial” dalam kedudukannya itu untuk pengambilan keputusan terhadap organisasi yang diikutinya, ternyata dulunya “bukan anak rumahan”. Artinya, mereka dulunya pernah hidup dan berjuang “mempertahankan” hidupnya di luar rumahnya. Entah itu jadi anak kost, atau anak rantau. Mengapa demikian? Karena, mereka yang dulunya pernah merasakan tinggal jauh dari perlindungan orang tuanya, jauh dari berbagai kemudahan rumah orang tuanya, dipaksa oleh keadaan untuk belajar untuk mandiri dan mematangkan sikapnya dalam mensiasati hidup. Bagaimana tidak dewasa coba, jika orang lain menghadapi masalah maka mereka cenderung untuk mengadu atau curhat ke orang tuanya, maka kelompok “manusia rantau” ini harus mengatasi masalah yang dihadapinya seorang diri dengan berusaha untuk meraih “win-win solution”. Tempaan dari cara berpikir dan bersikap inilah yang membuat mereka pada akhirnya lebih mandiri, lebih independen dalam pengambilan keputusan dan lebih matang dalam berpikir. Sama seperti yang sekarang ukhti alami saat ini.
Hm, sayangnya Ukhti tidak menyebutkan di kota bagian mana di Australia ukhti berada saat ini (jika di Sydney, saya tahu sedikit beberapa tempat yang bisa direkomendasikan). Ada beberapa alternatif yang bisa ukhti ambil untuk saat ini. Tapi sebelumnya, menurut saya coba ukhti buka http://www.isnet.org . Disana ada informasi tentang halal hotline di Australia dimana ukhti bisa bertanya mulai dari perihal makanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan halal-haram. Organisasi halal hotline di Australia termasuk yang lumayan berkembang dan besar di Australia. Karena mereka bukan hanya berhasil meyakinkan pemerintah dan organisasi-organisasi swasta untuk memberikan hak istimewa dalam pengadaan barang halal dan pelebelan sertifikatnya. Seperti pengadaan makanan halal di maskapai penerbangan lokal dan toleransi untuk kemudahan ummat Islam dalam menjalankan ritual ibadahnya. Ukhti juga bisa bertanya tentang organisasi islam yang bisa diikuti di Australia dan bahkan bisa menanyakan perihal masalah syariat yang berhubungan dengan masyarakat di Australia. Termasuk disini, cara menjelaskan perihal makanan halal yang harus ukhti lakukan pada ostparent ukhti.
Pada dasarnya, ada dua hal yang bisa ukhti lakukan saat ini.
Pertama, ukhti tetap tinggal bersama ostparent ukhti. Konsekuensinya, ukhti harus mengulang kembali kegiatan untuk menjelaskan pada ostparent tentang kewajiban untuk menkonsumsi makanan yang dijamin halal. Di dalam agama nasrani sendiri, sebenarnya kewajiban ini juga berlaku. Nah, makanan mereka juga bisa kamu makan insya Allah.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi ‘al-kitab’ itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka… “ (Al Maidah: 5)
Makna ayat ini secara garis besar ialah: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, maka tidak ada lagi bahirah, saibah, washilah dan ham. Makanan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani juga halal bagi kamu menurut hukum asal, Allah tidak mengharamkannya atas kamu, dan makanan kamu menurut hukum juga halal bagi mereka. Karena itu kamu boleh memakan daging binatang hasil sembelihan dan buruan mereka, dan kamu juga boleh memberi mereka makan dengan daging binantang sembelihan atau buruanmu. Kalimat “dan makanan orang-orang yang telah diberi al’Kitab” adalah umum, meliputi semua makanan mereka: sembelihan mereka, buah-buahan mereka, danlain-lainnya. Semua itu halal bagi kita,s elama tidak ada dalil yang mengharamkannya secara tegas seperti bangkai, darah yang mengalir dan daging babi, karena semua ini sudah disepakati semua ulama tentang keharaman memakannya, baik makanan ahli kitab maupun orang Muslim (di jawa dikenal Maros, nah, meski diproduksi oleh muslim itu tetap haram loh).
Mereka biasanya menyertakan sertifikat “kosher” untuk menyebut “halal” versi mereka. Umat nasrani dan Yahudi yang di Australi dan mengeluarkan produk koseer (atau kosher) ini, mereka sama seperti kita, tidak mengkonsumsi babi, bangkai dan darah dan mereka sama seperti umat muslim di Australi, juga merupakan kelompok minoritas. Produk mereka bisa kamu temui di Coles, Franklin, dan supermarket lain deh. Mungkin, hal ini bisa dipersandingkan (antara kosher di agama nasrani dan halal di agama Islam) agar ostparent ukhti bisa mengerti. Karena sesungguhnya, makanan dengan sertifikat halal ini, bukan berarti melulu barang import saja (meski lebih banyak yang import) karena ada juga yang justru produk Australia. Seperti coklat Cadburry (dimana di bagian ingredientnya sama sekali tidak memasukkan unsur hewan, hasil kerja team halal hotline Australia), juga beberapa produk keju seperti Craft, Coon, yang mencantumkan lebel halal rennet dan beberapa produk ice cream yang mencantumkan lebel halal rennet. Tapi, ada tujuan lain dari kita (kamu, saya dan teman-teman yang lain) untuk menggiatkan mengkonsumi produk halal buatan umat islam, yaitu, memajukan produk Islam. Siapa lagi yang mau memajukan produk umat Islam jika bukan umat Islam itu sendiri. Jadi, pakailah produk Islam agar usaha saudara-saudara muslim kita sebagai kelompok menoritas bisa tetap maju dan bertahan atau bahkan berkembang di tengah kelompok mayoritas. Insya Allah.
Ke dua, ukhti bisa mencari tempat tinggal baru. Jika mau sendirian, ukhti bisa menyewa apartemen atau tinggal di dormitory (asrama kampus). Hanya saja, keduanya mengharuskan ukhti untuk sedikit bekerja keras. Karena keduanya tidak menyediakan fasilitas all in. Ukhti harus mencuci pakaian sendiri, memasak sendiri, juga membersihkan tempat tinggal sendiri. Tapi ukhti tidak usah khawatir sebenarnya. Karena ada berbagai fasilitas yang memberikan banyak kemudahan. Mencuci pakaian di sana kan bukan berarti ukhti berlelah-lelah menggunakan papan penggilasan tapi menggunakan mesin cuci otomatis. Atau ukhti bisa memasukkan pakaian ukhti di jasa laundri yang tergolong cukup murah. Memasak juga lebih mudah karena ada banyak bumbu yang sudah dihaluskan di supermarket bahkan di toko oriental ukhti bisa membeli bumbu langsung. Sedangkan membersihkan rumah, karena struktur penataan tempat tinggal yang lebih banyak menggunakan karpet (untuk mencegah rasa dingin di musim dingin), ukhti tinggal praktis menggunakan vacum cleaner. Pendek kata, tinggal di tempat yang tidak ada fasilitas “all in” bukan berarti mengalami penderitaan harus bekerja keras. Justru, dengan adanya kegiatan harian ini, ukhti lambat laun akan belajar mandiri dan matang. Khusus untuk soal makanan, jika ukhti tidak bisa memasak, maka ukhti bisa langganan catering. Biasanya, di rumah makan Indonesia, sering terdapat iklan yang menawarkan untuk langganan catering.
Yang ke tiga, ukhti bisa mulai mencari informasi tentang tempat kost yang disediakan oleh orang Indonesia yang resident di Australia. Mereka biasanya menyewakan kamar dan juga menawarkan jasa cuci/setrika pakaian. Coba ukhti tanyakan pada mahasiswa Indonesia yang berkumpul selesai shalat jumat di kampus ukhti. Biasanya mereka punya beberapa rekomendasi sekalian bertanya tentang perkumpulan orang Indonesia disana (dari perkumpulan ini juga ukhti bisa memperoleh informasi tentang jasa catering yang enak dan murah, acara pengajian yang biasanya mereka selenggarakan tiap akhir pekan, dan tempat tinggal yang layak direkomendasikan).
NahÂ… Sekarang semua terserah ukhti. Mau pilih yang mana? Tetap tinggal di homestay atau pindah dari sana dan mencari tempat tinggal baru? Saya sendiri sih, cenderung untuk menyarankan pada ukhti agar pindah dari sana karena melihat gelagat tuan rumah yang sudah menaruh prasangka tidak enak pada kehadiran kita. AllahuÂ’alam
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita [ 0 komentar]
|
|