|
Permata Ayah Bunda Kiat Muslimah - Wednesday, 03 March 2004
Anak.
Rasanya hampir tiap-tiap pasangan suami istri selalu menanti-nanti kehadiran anak di tengah-tengah mereka. Bagi mereka yang belum punya anak, tidak peduli anak laki-laki atau anak perempuan sebagai pembukanya, yang penting mereka bisa memiliki anak. Lain halnya jika yang dinanti itu adalah anak kedua dan seterusnya. Tak lengkap rasanya jika belum punya sepasang. Cerita akan tetap berbeda jika yang dinanti itu adalah anak keempat dan seterusnya dan anak-anak yang lahir sebelumnya memiliki jenis kelamin yang sama. Ayah bunda merasa penasaran mengapa orang lain sudah punya pengalaman dan diberi rezeki punya anak-anak dari jenis kelamin yang beragam sedangkan mereka hanya bisa punya satu jenis kelamin saja. Tanpa sadar, hal ini memacu sebuah alasan untuk punya anak lagi, dan lagi, dan lagi.
Pada beberapa orang, punya anak banyak memang rasanya hal yang tidak bisa mereka hindari lagi. Tidak bisa dipungkiri tuntutan budaya dalam lingkungan mereka mengharuskan demikian. Bagi keluarga yang menganut paham garis keturunan anak lelaki, sebuah keluarga akan merasakan sebuah tekanan yang halus untuk dapat memiliki anak laki-laki yang akan mewarisi nama keluarganya. Sebaliknya bagi mereka yang menganut paham garis keturunan anak perempuan, sebuah keluarga akan merasakan sebuah tekanan yang halus untuk dapat memiliki anak perempuan. Ada juga kasus lain dimana seorang istri atau ibu tepatnya, memperoleh kesulitan untuk dapat kesempatan mengatur kelahiran anak-anaknya. Apakah itu karena penyakit atau karena hal lain. Artikel ringan ini tidak akan membahas sebab-sebab yang melatar belakangi sepasang suami istri untuk mengambil keputusan jumlah anak yang mereka miliki. Tapi, di antara sekian banyak alasan, yang menarik adalah pemahaman banyak anak banyak rezeki.
Pepatah yang mengatakan banyak anak banyak rezeki rasanya sudah saya kenal sejak zaman dahulu sekali. Sebelum saya lahir, bahkan mungkin sebelum nenek saya lahir. Waktu saya duduk di bangku SMP (sekolah menengah pertama)/SLTP, ada sebuah pelajaran geografi dengan fokus kependudukan yang menjelaskan bagaimana asal mula kelahiran pepatah tersebut di Indonesia. Awalnya adalah karena struktur keadaan geografi di Indonesia yang luas dan beragam. Seorang ayah, harus mengolah tanah sekian hektar seorang diri dan seorang ibu harus mengerjakan sekian banyak pekerjaan seorang diri pula. Kehadiran anak akan sangat membantu meringankan pekerjaan mereka. Prinsip gotong royong memang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala. Alhasil, pekerjaan berat dan lama akhirnya terasa ringan dan cepat selesai yang berarti mempercepat datangnya rezeki bagi keluarga tersebut. Jika anak sudah dewasapun, anak-anak tersebut menjadi semacam tabungan hari tua yang tetap mendatangkan rezeki bagi orang tuanya. Bayangkan jika tiap-tiap anak menyisihkan penghasilan mereka untuk orang tua tercinta, maka orang tua tidak perlu lagi berlelah-lelah bekerja membanting tulang di usia renta mereka. Anak-anak memang sungguh menjadi permata bagi ayah dan bundanya. Permata yang bernilai sebagai investasi tiada henti.
Hmm.
Saya jadi ingat dengan satu kejadian yang saya temui di daerah Rembang, Jawa tengah. Ketika itu, saya dan rombongan keluarga baru pulang dari daerah Jawa Timur. Kami berhenti istirahat shalat di sebuah masjid besar di kota itu. Suasananya sangat kekeluargaan. Penduduk di kota nelayan itu sangat ramah tamah. Ada banyak cerita yang kami tukarkan untuk mengisi waktu senggang menunggu waktu shalat tiba. Hingga sampai di suatu waktu dimana para penduduk ingin pulang ke rumah masing-masing sedangkan kami ingin kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta. Seorang ibu, mendatangi saya.
“Tante, coba liat anak saya ini.” Katanya sambil tanpa malu-malu menyodorkan anaknya. Ternyata seorang gadis kecil yang mungkin berusia kira-kira sembilan atau sepuluh tahun. Si gadis hanya menunduk sambil tersenyum malu-malu.
“Bawa anak saya ke Jakarta tante. Dia bisa jadi pembantu nih.” Saya terperangah dan kembali melihat si gadis kecil tersebut. Gadis itu kini sudah tampak menunduk sedikit salah tingkah menanti keputusan.
“Anak saya ini jujur kok tante dijamin. Dia juga bisa kerja, soalnya sudah biasa bekerja. Soal gaji juga nggak rewel asal cocok mah. Bawa dia tante, jadikan dia pembantu tante.” Kini si Ibu setengah membujuk melihat reaksiku yang terdiam. Bukan maksud hati untuk menerima atau menolak tawaran tersebut. Sesungguhnya tawaran tersebut menarik. Saya sendiri alhamdulillah tidak menggunakan tenaga pembantu di rumah mungil saya. Tapi saya tahu bahwa saat ini orang tua dan saudara-saudara saya yang lain yang sudah berkeluarga dan terbiasa dengan adanya tenaga pembantu di rumahnya memang sedang mencari pembantu rumah tangga. Mencari pembantu rumah tangga di kota Jakarta itu susah-susah gampang. Bukan apa-apa. Tapi kebanyakan para pembantu rumah tangga tersebut jika sudah beradaptasi dengan cepat di Jakarta menjadi sosok pekerja yang sangat perhitungan dalam hal materi. Dengan gaji sekian, mereka maunya kerja ini, itu dan anu. Bekerja lebih banyak lagi artinya tambah kenaikan gaji. Padahal biaya hidup di Jakarta sangatlah mahal hingga banyak rumah tangga yang lebih gencar melirik tenaga pembantu baru yang masih polos dan lugu di daerah-daerah. Istilahnya, yang masih bloon sehingga mau bekerja banyak tapi gajinya kecil.
“Saya tidak pakai jasa pembantu di rumah saya bu, maaf saja. Lagian tampaknya anak ibu masih kecil, kenapa tidak disuruh melanjutkan sekolah saja?”
“Alah, perempuan mah tidak usah sekolah tinggi-tinggi.” Si ibu mengibaskan tangannya mengecilkan saran yang baru saja lemparkan. Suara koor yang mengimbuhi tanda setuju keluar juga dari teman-teman ibu-ibu lain yang juga berkumpul mengerubungi kami. Tampaknya, image bahwa pendidikan tinggi itu sebuah hal yang mubazir bagi wanita masih berlaku kental di antara mereka.
“Sekolah tinggi-tinggi juga nantinya harus diam di dapur. Paling banter ngasuh anak, ngurus rumah. Buat apa sekolah tinggi-tinggi. Sebelum jadi pembantu suaminya, mending jadi pembantu orang lain dulu deh, biar duitnya bisa buat kita. Jaman lagi susah gini, darimana lagi mengharapkan masukan penghasilan buat asap dapur kalau bukan dari anak sendiri?” Kembali aku terperangah mendengar komentar tersebut.
Tiap-tiap anak memang membawa rezeki tersendiri. Tapi mungkin yang tetap harus diingat oleh para orang tua adalah, bahwa permata yang mereka miliki itu tidak sepenuhnya milik mereka selamanya. Seberapapun bernilainya kehadiran anak bagi kehidupan ayah dan ibunya, anak-anak adalah amanat yang dititipkan oleh Allah SWT pada orang tuanya. Meski ayah dan ibu sudah bersusah payah membesarkan, merawat dan mendidik mereka, anak-anak bukan milik kepunyaan mereka selamanya. Artinya, para orang tua tidak bisa mendaya-gunakan anak bagi kepentingan pribadi. Tidak ada hak untuk itu.
----oooo----
(oleh: Ade Anita) [ 0 komentar]
|
|