|
Pergaulan laki-laki dan Perempuan Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
Pertanyaan:
Banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh tidaknya) laki-laki bergaul degan perempuan (dalam satu tempat). Kami dengar di antara ulama ada yang mewajibkan wanita untuk tidak keluar dari rumah kecuali ke kuburnya, sehingga ke mesjid pun mereka dimakruhkan. Sebagian lagi ada yang mengharamkannya, karena takut fitnah dan kerusakan zaman.
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ummul Mukminin Aisyah ra, “Seandainya Rasulullah saw mengetahui apa yang diperbuat kaum wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau melarangnya pergi ke masjid. “
Kiranya sudah tidak samar lagi bagi Ustadz bahwa wanita juga perlu keluar rumah ke tengah-tengah masyarakat untuk belajar,bekerja dan bersama-sama di pentas kehidupan. Jika itu terjadi, sudah tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki, yang boleh jadi merupakan teman sekolah, guru, kawan kerja, direktur perusahaan, staf, dokter dan sebagainya.
Pertanyaan kami, Apakah setiap pergaulan antara laki-laki dengan perempuan itu terlarang atau haram? Apakah mungkin wanita akan hidup tanpa laki-laki, terlebih pada zaman yang kehidupan sudah bercampur sedemikian rupa? Apakahn wanita itu harus selamanya dikurung dalam sangkar, yang meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih dari sebuah penjara? Mengapa laki-laki diberi sesuatu (kebebasan) yang tidak diberikan kepada wanita? Mengapa laki-laki dapat bersenang-senang dengan udara bebas, sedangkan wanita terlarang menikmatinya? Mengapa persangkaan jelek itu selalu dialamatkan kepada wanita, padahal kualitas keagamaan, pikiran dan hati nurani wanita tidak lebih rendah daripada laki-laki? Apakah semua peraturan yang ketat untk wanita itu benar-benar berasal dari hukum islam? Kami mohon Ustadz (Maksudnya Qardhawi) berkenan menjelaskan masalah ini dan bagaimana seharusnya sikap kita? Dengan kata lain, bagaimana pandangan syariat terhadap masalah ini? Atau bagaimana ketentuan Al Quran dan Sunnah Nabi yang sahih, bukan kata si Zaid dan si Amr.
Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz untuk menjelaskan kebenaran degnan mengemukakan dalil-dalilnya.
Jawab
Kesulitan kita, sebagaimana yang sering saya kemukakan, ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama, umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan) dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu keistimewaan dan kecemerlangan manhaj islam dan umat islam.
Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah pergaulan wanita muslimah di tengah-temgah masyarakat. Dalam hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling bertentangan dan menzalimi kaum wanita.
Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki wanita muslimah mengikuti tradisi barat yang bebas tetapi merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus dan jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.
Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan wanita barat “sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta” sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi, sehingga andaikata wanita-wanita barat itu masuk lubang biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya. Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit dan pengap, wanita muslimah itu akanb tetap merayapinya. Dari sinilah lahir “solidaritas” baru yang lebih dipopulerkan degnan istilah “solidaritas lubang biawak”.
Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita barat sekarang serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga dan masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama, pengarang, kaum intelektual dan para muslihin yang mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban barat, terutama jika semua ikatan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan benar-benar terlepas..
Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian sendiri yang dibentuk oleh akidah dan pandangannya terhadap alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampui tatanan suatu masyarakat lain.
Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi timur, bukan tradisi barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka memandang rendan dan sering berburuk sangka pada wanita.
Bagaimanapun, pandangan-pandangan di atas bertentangan dengan pemikiran=pemikiran lain yang mengacu pada Al QurÂ’anul karim dan petunjuk Nabi SAW serta sikap dan padnagna para sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.
Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath (percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan dalam “kamus Islam”. Istilah ini tidak dikenal dalam peradaban kita selama berabad-abad yang silam dan baru dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi tidak menyenangkan terhadap perasaan umat islam. Barangkali lebih baik bila digunakan istilah liqa (perjumpaan), muqabalah (pertemuan), atau musyarakah (persekutuan laki-laki dengan perempuan).
Tetapi bagaimanapun juga, islam tidak menetapkan hukum secara umum mengenai masalah ini. Islam justru memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus dipenuhinya atau lainnya.
Sebaik-baiknya petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi Muhammad saw, petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus dan sahabat-sahabatnya yang terpinpin. Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.
Pada zaman Rasulullah saw, kaum wanita biasa menghadiri shalat berjamaah dan shalat jumat. Baliau saw menganjurkan wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris) belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa? Karena, dengan paling belakang mereka lebih terpelihara dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui bahwa zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum mengenal celana.
Pada zaman Rasulullah saw (jarak tempat shalat) antara laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama sekali, baik yang berupa dinding, kain,kayu, maupun lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketka masuk maupun keluar, maka Nabi saw bersabda:
“Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita.” Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan istilah “pintu wanita”.
Kaum wanita pada zaman Nabi saw, juga biasa menghadiri shalat jumat, sehingga salah seorang di antara mereka ada yang hafal surat Qaf. Hal ini karena seringnya mereka mendengar dari lisan Rasulullah ketka berkhutbah Jumat.
Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (hari raya Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil dan bertakbir.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:
“Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula wanita-wanita pingintan dan para gadis.”
Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:
“Rasulullah saw, menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan dakwah bagi umat Islam (khutbah dan sebagainya). Aku (ummu Athiyah) bertanya, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab.” Beliau menjawab, “Hendaklah temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.” (Shahih Muslim, Kitab Shalatul Idain, hadits no. 823)
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (kebangkitan Islam). Mereka menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw, yang telah dimatikan orang, seperti sunnah IÂ’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita pada shalat Id.
Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw. Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah ra pernah memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid, istihadhah dan sebagainya.
Tidak sampai di situ, hasrat mereka untuk menyaingi kaum laki-laki dalam menimba ilmu dari Rasulullah saw. Mereka juga meminta Rasulullah saw agar menyediakan hari tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari tertentu untuk bertemu denganmu.” Lalu Rasulullah saw, menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan perintah-perintah kepada mereka (hadits riwayat Bukhari dalam shahihnya, “Kitab Al-Ilm”)
Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan, seperti merawat yang sakit dan terluka, di samping memberikan pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air minum.
Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
“Saya turut berperang bersama Rasulullah saw, sebanyak tujuk kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka makanan dan mengobati yang terluka dan merawat yang sakit.”(shahih Muslim, hadits no. 1812)
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas, “bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian menuangkannya ke mulut orang-orang lalu mengisinya lagi.”(shahih Muslim, nomor 1811)
Aisyah ra, yang waktu itu sedang berusia belasan tahun, menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi mereka yagn telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntuk kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit, mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah dan Nabi memberi mereka bagian dari rampasan perang.
Bahkan terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab dalam perang Uhud, sehingga Nabi saw, bersabda, mengenai dia, “sungguh kedudukannya lebih dari daripada si fulan dan si fulan.”
Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang Hunain untuk menusuk perut musuk yang mendekat kepadanya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim, Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, “Wahai Rasulullah, ini Ummu Sulaim membawa badik.” Lalu Rasulullah saw bertanya kepada Ummu Sulaim, “Untuk apa badik ini?” Ia menjawab, “saya mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini.” Kemudian Rasulullah saw tertawa (shahih Muslim, nomor 1809).
Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa pda suatu hari Rasulullah saw, tidur siang di sisi Ummu Haram binti Mulhan –bibi Anas- kemudian beliau bangun seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, “Mengapa engkau tertawa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ada beberapa orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi sabilillah. Mereka menyeberang lautan seperti raja-raja naik kendaraan.” Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk di antara mereka.” Lalu Rasulullah saw mendoakannya. (shahih Muslim, no. 1912). Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris. Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang) di sana lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta berdakwah, menyuruh berbuat maÂ’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maruf dari yang munkar..” (At Taubah: 71)
Di antara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang wanita muslimah pada zaman Khalifah Umar bin Khatab yang mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah pendapat Umar mengenai masalah mahar (maskawin), kemudian Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya berkata, “Benar wanita itu dan Umar keliru.” Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat An-Nisa, dan beliau berkata, “Isnadnya bagus.”. Pada masa pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat Asy-Syifa binti Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.
Orang yang mau merenungkan Al Quran dan hadits tentang wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara laki-laki dan perempuan.
Kita dapati Musa –ketika masuk muda dan gagah perkasa- bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh yang telah tua (Nabi Syuaib). Musa bertanya kepada mereka dan mereka menjawabnya degnan tanpa merasa berdosa dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya, salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan pambantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat dipercaya ( lihat qs Al-Qashash: 23-26).
Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihramnya dan menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada disisinya (lihat qs Ali Imran:37). Lihat pula tentang ratu Saba yang mengajak kaumnya bermusyawarah mengenai masalah nabi Sulaiman (lihat: An-Naml:32-34; dan 42-44).
Kita tidak boleh mengatakan bawha syariat (dalam kitab di atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebaelum kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya. Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan ddalam Al Quran tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan dan pelajaran bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan yang benar mengenai masalah ini ialah, “bahwa syariat orang sebelum kita yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak menghapusnya.”
Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya,
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka…” (Al-An’am:90)
Sesungguhnya menahan wantia dalam rumah dan membiarkannya terkurung di dalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari rumah oleh AlÂ’Quran --pada salah satu tahap di antara tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yagn menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal itu-- ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi di antara mereka (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian maka kurunglah mereka (wanita-wanita) itu dalam rumah mereka sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi jalan lain kepadanya.”(an-Nisa:15)
Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syaraÂ’ sebagai hak Allah TaÂ’ala. Hukuman tersebut berupa hukuman dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki dan perempuan belum kawin) menurut nash Al Quran dan hukum rajam bagi yang muhshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin) sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.
Jadi, bagaimana mungkin logika Al Quran dan Islam akan menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan0akan menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia tidak berbuat dosa.
Kesimpulan:
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram, melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam urusan ilmu yang bermanfaat, amal shaleh, kebajikan, perjuangan, atau hal-hal lain yang memerlukan banyak tenaga, baik dari laki-laki maupun perempuan.
Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas di antara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syarÂ’iyah yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita sebagai malaikant yang suci yagn dikhawatirkan melakukan pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja sama dalam kebaikan serta tolong menolongdalam kebajiakn dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersbeut antara lain:
Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya….”(An Nur: 30-31)
2.Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syaraÂ’, yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
“…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”(an-Nur:31)
Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.
Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:
“…Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal karena itu mereka tidak diganggu…” (Al-Ahzab:59)
Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yagn baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.
3.Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya degnan laki-laki.
Dalam perkataannya, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman”
“…Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al Ahzab:32)
Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allah:
“”..dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…”(An-Nur:31)
Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan…” (Al-Qashash: 25)
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok, seperti yang disebut dalam hadits:
“(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan (kemaksiatan) (HR Ahmad dan Muslim).
Jangan sampai bertabarruj (menampakkan aurat), sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliyah tempo dulu ataupun jahiliyah modern.
4.Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
5.Jangan berduaan (laki-laki degnan perempuan) tanpa disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal itu seraya mengatakan, “karena ketiga adalah setan.”
Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
“Jangan kamu masuk ke tempat wanita.” Mereka (sahabat) bertanya,”Bagaimana dengan ipar wanita?” Beliau menjawab, “Ipar wanita itu membahayakan.” (HR Bukhari).
Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama sehingga menimbulkan fitnah.
6.Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya.
Sekian. Dikutip seluruhnya dari buku, Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid 2, Karangan DR Yusuf Qardhawi, penerbit: PT Gema Insani Press, tahun 1995, hal 381-395.
Semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita [ 0 komentar]
|
|