|
Cara Menghadapi Tuduhan bahwa Kita Aneh dan Ekstrim Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Sebagai akhwat baru, ana minta masukan dari semua pengakses website ini tentang bagaimana caranya menghadapi pertanyaan dan kritikan dari orang awam atas perubahan yang menurut mereka aneh bahkan terkesan ekstrim.
Jazakillah atas perhatiannya.
Wassalam.
Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dalam bukunya, “Kebangkitan Gerakan Islam”, DR Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa di antara manusia ada yang memperhatikan Islam hanya dari sisi yang bersifat formalitas daripada substansif, hanya pada bentuk dan bukan pada hakikat. Seolah-olah, hal terpenting bagi mereka hanyalah; bagaimana merawat dan memanjangkan jenggot, memendekkan pakaian (bagi pria), membawa siwak, merapatkan kaki dengan kaki yang lain kala shalat, meletakkan tangan di dada atau di atas ulu hati kala berdiri, minum sambil duduk dan bukannya berdiri, mengharamkan semua jenis lagu dan musik, mewajibkan pemakaian niqab (cadar) bagi kaum perempuan, dan seterusnya. Hal-hal seperti ini merupakan sesuatu yang lebih berkaitan dengan simbol dan penampilan daripada substansi.
Sesungguhnya, Islam sebagai akidah, substansinya adalah tauhid; sebagai ibadah, substansinya adalah keikhlasan; sebagai pedoman interaksi sosial, substansinya adalah kepercayaan; sebagai tuntunan moral, substansinya adalah kasih sayang; sebagai syariÂ’at, substansinya adalah keadilan; sebagai amal praktis, substansinya adalah amal yang sempurna; sebagai etika, substansinya adalah perasaan; sebagai konsep relasi, substansinya adalah persaudaraan, dan sebagai peradaban substansinya adalah keseimbangan.
Maka, siapapun yang menghilangkan unsur tauhid dalam akidah, keikhlasan dalam ibadah, kepercayaan dalam berinteraksi, kasih sayang dalam tuntunan moral, keadilan dalam syariÂ’at, kesempurnaan dalam beramal, perasaan dalam beretika, persaudaraan dalam menyelenggarakan relasi, serta keseimbangan dalam konsep peradabannya, berarti ia telah menghilangkan substansi Islam. Walaupun, misalnya ia banyak berpegang pada simbol-simbol dan formalitas ajaran Islam.
Dalam hal ini, maka satu-satunya rujukan yang harus kita perhatikan dalam ber-Islam yang sesungguhnya adalah merujuk kepada Al Quran dan As Sunnah.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberi harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 177)
Al Quran menganggap kunci keselamatan di akhirat nanti adalah bersihnya hati dan kepasrahan kepada Allah SWT. Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara: 88-89). Dalam ayat lain disebutkan pula, “Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat.”(Qaaf: 31-33)
Maka, barangsiapa yang membaca ciri-ciri hamba Allah --dalam Al Quran— yang diterima di sisi-Nya, baik yang disebut sebagai orang-orang yang beriman (Al Mukminun), orang-orang yang bertakwa (Al-Muttaqun), hamba-hamba Yang Maha Pengasih (‘Ibadur Rahman), Ulil Albab dan seterusnya; tentu akan tahu dengan pasti apa yang disukai Allah daripada hamba dan kekasih-Nya. Semuanya adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan substansi diri manusia, dan bukan dengan bentuk yang kasat mata. Bacalah penjelasan-penjelasannya di bagian awal surat Al Baqarah, awal surat Al-Anfal, awal surat Al-Mukminun, bagian akhir surat Al-Furqan, pertengahan surat Al-Ra’d, dll.; akan kita ketahui hakikat manusia yang dimaksud oleh Al Quran. Dan dalam hal itu, Sunnah sama dengan Al Quran: penekanannya lebih pada substansi, bukan pada tampilan yang kasat mata; lebih pada itikad hati daripada perbuatan anggota tubuh.
“Sesungguhnya semua perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh balasan sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu memperoleh balasan dari Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrah demi dunia, ia akan memperolehnya; atau jika demi perempuan, ia akan menikahinya. Maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia tuju.” (Hadits pertama dalam Shahih Umam Al- Bukhari)
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada tubuh-tubuh kalian, atau bentuk kalian, tapi melihat pada hati dan perbuatan kalian.”(HR Muslim dari Abu Hurairah ra)
As Sunnah juga menekankan pentingnya memperhatikan akhlak; mengembangkan perbuatan-perbuatan mulia dan meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela. Sampai-sampai, Rasulullah saw menjadikan hal itu sebagai tujuan risalah yang diembannya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang terpuji, atau akhlak yang mulia.”(Hadits riwayat Al Hakim, Ibn Sa’ad dan Imam Bukhari).
Rasulullah juga bersabda, “Amalan terberat dalam timbangan hari kiamat adalah akhlak yang baik.” (Hadits HR Ibn Hibban dari Abu Darda; HR At Tirmidzi dan Baihaqi). Disebutkan pula dalam hadits shahih dari Rasulullah saw, “Sesungguhnya iman itu terdiri dari enam puluhan cabang lebih. Dan malu adalah cabang dari iman.”(Hadits Bukhari –Muslim). Dalam hadits shahih lain, “Iman itu terdiri dari tujuh puluhan cabang. Yang termulia adalah ucapan ‘Tiada Tuhan selain Allah.’ Dan yang terendah: membuang duri dari jalanan.” (HR Muslim). Di antara cabang yang tertinggi –dari tujuh puluhan cabang tersebut—terdapat banyak perbuatan yang mampu mensucikan diri, bermanfaat bagi individu, membawa kebahagiaan bagi keluarga, membangkitkan masyarakat, meningkatkan umat, serta berguna bagi alam semesta.
Sesuatu yang wajib diketahui disini ialah bahwa berbuat untuk dunia merupakan bagian dari berbuat untuk agama. Dan sesungguhnya, bila kita melalaikan urusan-urusan dunia, maka tidak akan tersisa lagi agama bagi kita. Salah satu kelebihan Islam ialah; ia tidak membedakan antara (urusan-urusan) dunia dan akhirat, serta tidak membuat pertentangan antara keduanya.
Al Quran juga menjadikan anugerah dunia berikut kebaikan dan perhiasannya sebagai bagian dari ganjaran yang diberikan terlebih dahulu sebelum ganjaran yang lebih besar lagi di akhirat bagi orang-orang yang beriman (lihat Al Baqarah: 201; Ali Imran: 148; An-Nahl:97; Nuh: 10-12). Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa, perbuatan tidak hanya diminta dalam urusan agama saja, namun ia juga diminta dalam urusan dunia. Maka barangsiapa yang ingin hidup damai dan tenteram di dunia ia tak mungkin mencapainya kecuali dengan berbuat kebajikan.
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)
Sampai sini, hal yang ingin saya utarakan dari tulisan di atas adalah, hendaknya kita semua ber-introspeksi diri dalam menghadapi tuduhan orang lain di sekitar kita yang kurang bisa menerima cara kita menjalankan ke-Islaman kita. Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh umat dunia dan Allah SWT telah memberi jaminan bahwa Islam adalah jalan yang lurus dan benar (siapa lagi yang lebih bisa dipercaya dari pemberi jaminan tersebut?). Dan seperti sering kali saya ingatkan di hampir semua tanggapan di rubrik uneg-uneg ini, kita sebagai Muslim, menyandang tugas sebagai duta Islam dimana saja kita berada. Artinya, orang lain akan melihat dan memberi penilaian pada Islam dari apa yang kita (sebagai umatnya) tampilkan dan berikan pada mereka. Jadi, jika ada sesuatu yang ternyata dianggap salah/aneh/ekstrim, saya memandangnya sebagai kesalahan karena keterbatasan kita dalam memahami Islam dan mengamalkannya. AllahuÂ’alam.
Jika melihat sejarah dari orang-orang terdahulu, bukanlah hal yang aneh kalau ada orang buta huruf yang datang dari pelosok padang pasir ingin belajar islam. Untuk itu, dia tinggal bersama Rasulullah saw selama dua tiga hari. Belajar berwudhu, shalat dan menanyakan persoalan-persoalan dengan metode yang kini dikenal sebagai learning by doing. Dan Rasulullah selalu memberikan petunjuk dan jawabannya dengan cara yang mudah dan tidak dibuat-buat. Hingga dia mampu mengajar anggota sukunya yang lain ketika dia kembali.
Tetapi, ada abad-abad belakangan, sebagian orang islam telah memperumit pemahaman terhadap kedua sumber Islam yang utama itu dengan ‘penjelasan-penjelasan’ berjilid-jilid, sampai membuat sebagian di antara penjelasan itu menutupi hakikat ajaran Islam sejati yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya. Oleh sebab itu, sekarang kita dituntut untuk mengembalikan agama ini kepada khittahnya yang pertama, kepada ‘keluguan’ dan ‘kemudahan’nya yang difitrahkan saat kelahirannya dulu. Yaitu gaya awal yang berbicara kepada akal dan hati dengan mudah, hingga dipahami oleh semua orang. Di antaranya adalah dengan cara:
- Mencari kemudahan dan jalan tengah (contoh: menulis/menjelaskan dengan gaya bahasa yang mudah, tidak dengan kata-kata yang aneh atau bertele-tele;
menghindari istilah-istilah sulit yang kurang dipahami dan mengambil jalan tengah).
- Penyederhanaan fikih untuk diamalkan dan diterapkan (perlu digaris bawahi bahwa penyederhanaan yang dimaksud tidak sama dengan membuat sebuah syariat baru dari diri kita sendiri sebagai pengganti syariat yang diturunkan Allah; mengharamkan yang dihalalkan, atau membuat bidÂ’ah dalam agama yang tidak sejalan dengan petunjuk Allah.)
Rasulullah saw memberikan petunjuk kepada kita tentang cara menunjukkan ke-Islaman kita pada orang lain sebagai manifestasi bahwa Islam itu adalah agama yang memberi rahmat bagi seluruh umat. “Wahai orang-orang yang beriman, mudahkanlah, jangan mempersulit, berikan kabar gembira, jangan menimbulkan antipati.” Artinya, kita dituntut untuk membuka diri, menerima semua jenis manusia, meskipun keadaannya tidak sesuai dengan idealisme kita. Tidak ada orang yang terbebas dari salah atau lupa baik kita sendiri maupun orang lain, itu sudah sunatullah seorang anak manusia. “Dan tidak ada beban dosa atas diri kalian, kalau tidak sengaja berbuat kesalahan, kecuali sesuatu yang dengan sengaja diniatkan dalam hati kalian.”(Al-Ahzab:5)
Kewajiban kita adalah meluruskan kesalahan mereka yang melakukan kesalahan, kalau memang kesalahan itu bersifat substansial (bisa dipastikan kesalahannya). Sedangkan caranya harus dengan ramah, bukan dengan cara yang keras; dengan cara yang halus, bukan dengan cara yang kasar. Seperti firman Allah pada Rasul-Nya saat kalah dalam perang Uhud, “Maka disebabkan rahmat dari rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari kalanganmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (peperangan dan hal-hal keduniawian) itu.” (Ali Imran:159).
Ada hadits yang menceritakan bagaimana usaha Rasulullah untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang ramah dan damai. Jabir bin Abdullah berkata, “Telah datang seorang laki-laki hendak menyiram pohon korma, tidak terasa malam sudah hampir tiba. Saat itu dia meliat Mu’adz sedang shalat. Maka dia meninggalkan alat penyiramnya dan menghampiri Muadz (ingin bermakmum). Ternyata Mu’adz membaca surat Al Baqarah dan surat An Nisaa. Hal yang membuat lelaki itu memutuskan untuk berhenti dan memulai shalat baru. Ternyata, Mu’adz marah dengan tindakan lelaki itu. Lalu orang itu datang kepada Rasulullah SAW dan melaporkan perbuatan Mu’adz. Nabi langsung bersabda, “Wahai Mu’adz, apakah kamu tukang fitnah?” (karena membuat makmum keluar dari jama’ah, atau membuat orang enggan shalat berjamaah). Beliau mengulang sabdanya sampai tiga kali. Beliau melanjutkan, “Sebaiknya kamu shalat saja dengan membaca ‘Sabbihisma Rabbika’, ‘Wa syamsi wa dluhaha.’.’ atau ‘Wal laili idza yaghsya? Karena sesungguhnya di belakangmu ada orang yang sedang sakit, ada orang tua dan ada pula yang mempunyai keperluan mendesak?”(HR Muttafaq Alaih- Al Bukhari).
Kisah menarik lain adalah ketika seorang laki-laki yang sering sowan kepada Rasulullah saw dalam keadaan mabuk berat. Saat terjadi berulang kali, salah seorang sahabat langsung marah, seraya berkata, “laknat Allah untuknya, berapakali dia berbuat begini?” Rasulullah langsung menukas, “Jangan menjadi pembantu setan dalam menjerumuskan saudaramu!” Dan dalam sebuah riwayat lain dikatakan, “Jangan laknat dia,s ejauh yang saya tahu, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Dalam hal ini, Rasulullah saw melihat jauh ke dalam hati orang itu, dan tidak menilainya berdasarkan apa yang tampak di pandangan mata.
Dengan demikian, di keseharian kita, di tengah masyarakat yang sangat beragam latar belakang hidupnya, sebagai duta Islam kita tetap harus menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang ramah, damai dan benar. Tak peduli bagaimana reaksi orang lain terhadap dakwah, atau pesan, atau kesan yang ingin kita sampaikan pada mereka, kita tetap harus mengkedepankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang universal dan substansif. Kalaupun ternyata cobaan yang datang sudah tidak tertahankan lagi maka satu-satunya obat yang ditawarkan oleh Al Quran adalah, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.”. Jika kita terus melakukan tindakan kebajikan pada lingkungan, jika kita selalu mengkedepankan perilaku terpuji di tengah masyarakat, maka cepat atau lambat bukan lagi penampilan fisik yang kasat mata kita yang akan dinilai dan diingat oleh masyarakat dan lingkungan. Mereka tidak peduli lagi apakah kita mengenakan jilbab lebar atau jilbab biasa, mereka tidak memandang sinis lagi pada kaus kaki dan mungkin niqab yang kita kenakan, pun tidak peduli lagi pada panjang pendek celana panjang yang kita kenakan (pada pria) karena yang mereka lihat sekarang adalah sumbangsih kita bagi mereka. Dari situ, mereka insya Allah akan memperoleh gambaran bahwa islam yang sesungguhnya itu bukanlah agama yang ekstrem, ajaran yang menakutkan dan ketat, paham yang sempit dan keras, tapi sebaliknya, agama yang benar dan penuh simpatik, Islam akan terlihat dengan wajah sebagai agama dimana bertebaran banyak perbuatan yang mampu mensucikan diri, bermanfaat bagi individu, membawa kebahagiaan bagi keluarga, membangkitkan masyarakat, meningkatkan umat, serta berguna bagi alam semesta. Jika itu yang berhasil kita tunjukkan, cepat atau lambat kesuksesan kita sebagai duta Islam ini akan membuat orang berduyun-duyun ingin tahu apa itu Islam; insya Allah akan membuat banyak orang tertarik untuk mengkaji bagaimana sesungguhnya Islam itu. Tak ada yang peduli atau merasa keberatan bahwa sebagai muslimah harus mengenakan jilbab, atau meski mengerjakan shalat di lima waktu yang berbeda dalam sehari. Bukankah karena merasa sudah kenal maka timbullah rasa cinta yang mendalam hingga tak peduli lagi pada kendala yang menghadang? Subhanallah (semoga hal ini cepat terwujud).
Sebagai penutup, saya nukilkan kisah tentang Imam Ahmad semasa polemik ‘pembukuan Al Quran.’ Bahwasanya, beliau menganggap semua yang terlibat dalam penyiksaan atas dirinya tidak mempunyai tanggungan apa-apa lagi (dia sudah maafkan maksudnya), termasuk Khalifah Al Mu’tashim yang memerintahkan algojo-algojonya untuk mengeksekusi penganiayaan itu. Dan perasaan Imam Ahmad semakin lapang setelah sang khalifah berhasil merebut kembali ibu kota negara Babak yang dikuasai oleh kaum pemberontak yang anti agama dan apalagi setelah berhasil juga membuka kawasan Al ‘Amuriyah (Imam Ahmad menganggap sang khalifah tetap berjasa kepada Islam, hingga di sini kita bisa melihat bagaimana kepentingan agama dikedepankan dari emosi pribadi). Tindakan Imam Ahmad ini juga didorong oleh pamahamannya terhadap ayat-ayat Al Quran, seperti firman Allah SWT: “Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.”(Asy Syura:40). Imam Ahmad berkata lagi, “Dan saya mempertimbangkan firman Allah, ‘Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian?’”(An-Nur:22)
“Dan tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan, balaslah dengan perbuatan yang lebih baik, jikalau di antara kamu dan dia ada permusuhan, maka seakan-akan dia adalah teman yang akrab.”(Fushshilat:34)
Semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
(sumber: DR. Yusuf Qardhawi, “Kebangkitan Gerakan Islam”, penerbit: Al Kautsar; DR Yusuf Qardhawi, “Islam Inklusif dan Eksklusif”, penerbit: Al Kautsar; DR Yusuf Qardhawi, “Islam Ekstrem”, penerbit: Mizan; Said Abdul Azhim, “Popularitas di mata orang-orang bertaqwa.”, penerbit: Pustaka Azzam). [ 0 komentar]
|
|