|
Yang Dilarang Untuk Wanita Hamil Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
Assalamu'alaikum
Saya ingin bertanya. Saya pernah mendengar katanya wanita yang sedang haid itu harus memunguti setiap helai rambutnya yang jatuh (karena dianggap najis), untuk kemudian dicuci pada saat haidnya telah berakhir. Dan juga wanita yang sedang haid itu tidak boleh masuk kedalam mesjid.
Apakah keterangan ini benar (ada dalilnya) ?
Mohon pencerahannya... terima kasih,
Wassalam
Irma
Jawab :
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pertanyaan ini sering sekali ditanyakan oleh teman-teman. Karenanya, saya berusaha untuk menjawabnya dengan mengambil (mengutip) dari berbagai sumber berikut ini.
Wanita dalam waktu haid itu boleh mengerjakan apa saja kecuali beberapa hal yang tersebut di bawah ini:
1. Tidak boleh mengerjakan shalat, menurut yang telah diriwayatkan:
‘Telah berkata Aisyah, bahwa Fathimah pernah berkata kepada Rasulullah saw: Sesungguhnya saya ini seorang wanita yang mustahadhah (berpenyakit tumpah darah) dan selamanya tidak suci, maka bolehkan saya meninggalkan shalat? Maka bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya darah (mu) itu, darah penyakit bukan darah haid, maka apabila datang (masa) haid tinggalkan shalat….”’(HR Bukhari, Nasai dan Abu Dawud).
2. Tidak boleh bershaum di bulan Ramadhan atau shaum yang sunnat. Adapun dalilnya menurut yang telah diriwayatkan:
‘Telah berkata Abu Sa’id, bahwa Nabi saw pernah berkata kepada wanita-wanita: “Bukankah wanita itu bilamana berhaid tidak (boleh) shalat dan sahum? Menjawab mereka: Betul.”’ (HR Bukhari dan Muslim).
3. Tidak boleh duduk di masjid,oleh karena menurut Hadits yang diriwayatkan dari Ummi Salamah:
‘Telah masuk Rasulullah saw ke halaman mesjid ini kemudian ia seru dengan setinggi-tinggi (sekeras-keras) suaranya: “Sesungguhnya masjid itu tidak halal (duduk disitu) bagi perempuan yang berhaid dan orang yang berjunub.”’ (HR Ibnu Majah dan Thabaranie)
4. Tidak boleh thawaf, oleh karena Aisyah telah berkata:
‘Bahwa Nabi pernah bersabda: “Wanita yang berhaid itu, (boleh) menjalankan sekalian manasik (pekerjaan haji) kecuali thawaf.”’ (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).
5. Tidak boleh bersetubuh, sebab menurut firman Allah yang melarang hal itu dengan keras sekali:
“Kalau mereka bertanya kepadamu dari hal haid, katakanlah bahwa haid itu (adalah) gangguan, maka dari itu jauhilah wanita pada waktu haid, dan jangan sekali-kali kamu menghampiri (mencampuri) mereka hingga mereka bersih…” (Al Baqarah: 222).
Dan sudah sependapat sekalian dokter bahwa bersetubuh di waktu haid itu, membahayakan kesehatan wanita dan anak yang akan jadi dari persetubuhan itu.
Adapun nasehat atau kabar yang mungkin pernah ukhti Irma dengar itu lengkapnya berasal dari pendapat para ulama fiqih (golongan pertama) yang mengusung hadits:
‘Telah berkata Ali bin Abi Thalib: “Saya pernah dengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa membiarkan satu tempat rambut yang berjanabah dengan tiada kena air, maka Allah akan berbuat kepadanya begini dan begini di neraka (ket: yakni disiksa)” Berkata Ali: Maka lantaran itu, saya memotong rambut saya.”’(HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Hadits ini telah disahkan oleh imam Hafizh Ibnu Hajar Al Asqallani, pengarang kitab Fathul Bari.
Ada lagi hadits:
‘Telah berkata Abu Hurairah, Rasulullah saw pernah bersabda: “Tiap-tiap rambut berjanabah. Lantaran itu basahilah rambutmu dan bersihkan kulitmu.”’ (HR Abu Dawud, Tirmidzi. Baihaqi).
Hadits yang pertama dan kedua itu perintah kepada orang lelaki dan perempuan, apabila mandi janabah supaya membasahi mana-mana yang dinamakan rambut, dan janganlah sampai ada satupun yang tiada kebasahan, agar supaya selamat dari ancaman Allah yang telah diterangkan oleh hadits yang pertama tadi. Adapun perempuan, maka supaya sanggulnya membuka sanggulnya agar bisa basah semua rambutnya. Dan perempuan yang berhaid itu tidak ada bedanya dengan yang berjunub pada saat mandi.
Dari sinilah mungkin lalu berkembang keyakinan dalam masyarakat bahwa jika ada helai yang rontok pada waktu haid-pun haruslah dihimpun untuk dibersihkan/dicuci ketika mandi hadas besar (keyakinan ini umumnya berasal dari pendapat para leluhur kita terdahulu dimana belum ada penelitian yang mengungkapkan bahwa ternyata setiap harinya rambut semua orang itu rontok hingga 100 helai seharinya). Ikuti terus tulisan ini maka kalian akan menemui keterangan lebih lanjut sehubungan dengan pernyataan yang berkembang di masyarakat tersebut).
Lihatlah hadits yang di bawah ini:
Telah berkata Anas, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Apabila perempuan mandi dari haidnya, supaya ia membuka rambutnya sama sekali dan mencucinya, supaya ia membuka rambutnya sama sekali dan mencucinya dengan khitmi dan usynan (yaitu dua jenis tumbuhan yang digunakan untuk mencuci rambut dan badan sebagai sabun).”’ (HR Daraquthni dan Baihaqie)
Dan perempuan yang bernifas itu diperintah oleh Rasulullah supaya mandi.
‘Telah berkata Aisyah, “Asma binti Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakar di tempat yang bernama Syajarah, kemudian Rawsulullah saw perintah kepada Abi Bakar menyuruh dia mandi, dan kemudian menjalankan ihram.”’ (HR Muslim, Ibnu Majah dan Abu Dawud). Dan sudah tentu, mandinya perempuan yang bernifas itu, sebagaimana mandinya perempuan yang berjunub dan berhaid.
Kemudian ada ulama fiqih golongan kedua yang mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak cocok dengan pendapat golongan pertama tadi oleh karena keterangan mereka yang berasal dari golongan pertama tidak memuaskan bagi orang yang mencari kebenaran dan keinshafan, sebab dari alasan-alasan mereka itu ada yang lemah yang tidak boleh dijadikan hujjah dan bukti, dan ada pula yang tidak cocok buat meneguhkan pendirian mereka.
Perhatikan bantahan golongan kedua terhadap alasan golongan pertama.
Alasan mereka dengan hadits yang pertama:
“Barang siapa membiarkan sesuatu tempat rambut berjanabah dengan tidak kena air, maka Allah akan berbuat kepadanya begini dan begini dari mereka.”
Maka imam Ibnu Hajar Al-Asqallani berkata tentang hadits ini, dengan perkataan bahwa hadits ini shahih. Ulama fiqih golongan kedua tidak setuju sama sekali dengan apa yang telah dikatakan oleh imam Ibnu Hajar, karena hadits itu sudah menjadi pembicaraan yang menjatuhkan sebab, didalam isnadnya ada terdapat tiga orang yang tidak boleh dipercaya yaitu ‘Atha, Hammad dan Zadzan, demikianlah menurut imam Nawawi pengarang kitab Majmu’ Syarhil-Muhadzdzab dan lain-lainnya dari ulama Ahlul Hadits. Maka dari itu tertolaklah hadits ini daripada jadi alasan.
Alasan mereka dengan hadits yang kedua, yaitu: “Tiap-tiap rambut berjanabah lantaran itu basahilah rambutmu, dan bersihkanlah kulitmu.”
Ulama fiqih golongan kedua mengakui bahwa hadits ini diriwayatkan oleh tiga imam, yaitu Abu Dawud, Tirmidzi dan Baihaqi. Tetapi mereka itu tiada menerangkan hal penyelidikan mereka tentang isnadnya hadits itu.
Ulama fiqih golongan kedua melakukan penelusuran dan berjumpa di dalam isnadnya seorang Harts bin Wajih. Dia dilemahkan oleh sekalian penganjur ulama Ahlul Hadits, lebih-lebih ketiga imam yang meriwayatkan hadits yang tersebut. Pendeknya, tidak ada hadits yang serupa ini yang sah dari Rasulullah saw.
Adapun hadits yang tersebut di bawah ini:
‘Telah berkata Hasan: Saya pernah diberi kabar bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Tiap-tiap rambut ada janabah. Lantaran itu basahilah rambutmu, dan bersihkanlah kulitmu.” (HR Sa’id bin Manshur)
Namanya hadits mursal (yaitu hadits yang tidak tersebut nama sahabat yang mendengar dari Rasulullah) oleh karena Hasan itu dari golongan tabiÂ’ien. Jadi sudah tentu saja jikalau ia meriwayatkan hadits dari Nabi saw dengan tiada perantaraan sahabat tertolaklah riwayatnya. Oleh karena tidak bisa jadi ia diriwayatkan hadits dari nabi saw padahal ia dilahirkan dimasa TabiÂ’ien yang paling terakhir, malahan belum pernah ia mendengar riwayat hadits dari seorang sahabatpun. Maka dari itu, sekalian ulama Ahlul hadits sepakat untuk melemahkan mursalnya Hasan.
Adapun alasan ulama fiqih golongan kedua terhadap hadits yang ketiga, yaitu :
‘Telah berkata Anas: Bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda: “Apabila perempuan mandi dari haidnya, supaya membuka rambutnya sama sekali dan mencucinya dengan khitmi dan usynan”.
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Daraquthnie dan Baihaqi dari jalan Muslim bin Shabieh dari Hammad bin Salamah. Dan Muslim itu apabila berlainan dari orang-orang lain tentang meriwayatkan hadits, maka tertolaklah riwayatnya. Disini ia meriwayatkan hadits yang berlainan dengan lain-lainnya, yaitu ia meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah saw menyuruh perempuan, apabila hendak mandi dari haid itu supaya membuka rambutnya, padahal lain-lain meriwayatkan tidak sama seperti demikian. Lantaran itu, riwayat si Muslim tidak diterima ulama Ahlul Hadits, dan lebih-lebih dia meriwayatkan hadits tadi dari Hammad, padahal si Hammad ini sudah terkenal kelemahannya.
Lagipula, ada terusan hadits itu yang menurut ulama fiqih golongan kedua telah dipotong oleh ulama fiqih golongan pertama. Inilah terusan hadits yang tersebut:
“Maka apabila (perempuan) mandi dari janabah supaya menuang air di atas (rambut) kepalanya, kemudian dia memeras.”
Jadi, kalau begitu, hadits yang tersebut itu memerintahkan supaya membuka rambut apabila mandi dari haid, dan tidak usah apabila Cuma mandi dari janabah saja. Tetapi oleh karena haditsnya tidak sah, jadi tidak boleh dijadikan hujjah.
Lalu bagaimana fasal cara-cara mandi perempuan dari haid dan janabah ?
Inilah keterangannya.
‘Telah berkata Aisyah: Bahwa nabi saw pernah bersabda kepadanya di waktu ia berhaid: “Bukalah rambutmu, kemudian mandilah.” (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, Nasai dan Ahmad).
Hadits ini tidak terang menerangkan, bahwa mandi dari hadits itu wajib bagi perempuan supaya membuka rambutnya, tetapi Cuma menunjukkan, bahwa membuka rambut itu hukumnya utama saja.
Inilah menurut pendapat sebagian ulama madzab imam Ahmad bin Hanbal dan kebanyakan ulama-ulama Ahlul Fiqih. Dan mereka itu beralasan dengan hadits yang tersebut di bawah ini.
‘Telah berkata Ummu Salamah kepada Nabi saw, “Saya ini seorang perempuan yang menyanggul rambutku. Lantaran itu apakah mesti saya membuka sanggul itu bagi (mandi) haid dan janabah?” Sabda Rasul: “Tidak usah, melainkan cukuplah engkau menyiram kepalamu tiga kali, engkau bisa bersih.” (HR Muslim)
Dan lagi hadits:
‘Telah berkata Ubaid bin Umar: Telah sampai (kabar) Aisyah, bahwa Abdullah bin Amir ada perintah kepada perempuan-perempuan, apabila mereka mandi supaya membuka sanggul mreka, kemudian beliau berkata: “Heran sekali bagi Ibnu Amr! Ia perintah perempuan-perempuan, apabila mandi supaya membuka sanggul mereka, apakah dia tiada menyuruh mereka supaya mrncukur kepala mereka? Sungguh saya perna mandi beserta Rasulullah saw dari satu bejana, dan saya tiada menuang (air) atas kepala saya, lebih daripada tiga tuangan.” (HR Ahmad dan Muslim).
Hadits ini dan yagn sebelumnya, menerangkan dengan tegas, bahwa mandinya perempuan dari haid atau janabah itu, tidak usah dengan membuka sanggulnya, asal saja sudah menuang air atas kepalanya tiga kali.
Dan ada pula Hadits yagn membantu:
‘Telah berkata Tsauban, bahwa mereka (sahabat) pernah bertanya kepada Nabi saw (tentang cara-cara mandi janabat). Maka nabi bersabda: “Adapun orang lelaki, maka supaya merebang rambutnya, kemudian dicucinya sehingga sampai kepangkal-pangkal rambutnya; dan adapun perempuan, maka tidak ada halangan jikalau tidak membuka sanggulnya.”’ (HR Abu Dawud)
Sedangkan perempuan yang sudah bersih dari nifas, maka wajiblah baginya mandi. Inilah dalilnya dari sabda Nabi saw:
‘Telah berkata Abud-Darda dan Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Perempuan yang nifas itu, perlu tunggu empat puluh hari,kecuali kalau ia bersih sebelum itu,maka jika sudah sampai empat puluh hari, tetapi belum juga berhenti, hendaklah ia mandi.”’ (HR Ibnu Adie)
Dari cara mandi nifas itu, tidak ada bedanya dengan mandi dari haid atau janabah. Maka siapa yang berkata, bahwa mandinya itu ada berlainan dari yang tersebut, hendaklah ia sudi menunjukkan dalilnya dan kami akan terima dengan senang hati.
Demikian dikutip dari ulasan mandinya perempuan haid tulisan A. Hassan. Disitu tampak bahwa Islam adalah agama yang memberikan kemudahan dan bukan kesulitan, kelapangan dan bukan kesempitan. Jika perempuan yang bersanggul saja diperbolehkan untuk tidak membuka sanggulnya ketika mandi hadas besar, apalah lagi jika rambutnya rontok. Karena rambut rontok itu adalah peristiwa alami yang sudah barang tentu dialami oleh semua orang suka atau tidak suka, terkadang bahkan tidak bisa dihindari. Sedangkan menyanggul rambut adalah hasil karya perempuan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan perencanaan. WallahuÂ’alam.
Semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
Sumber: (Dikutip dari buku: “Soal jawab berbagai masalah Agama”, Karangan A. Hassan, jilid 1 dan jilid 2, penerbit : Percetakan Persatuan, Bangil). [ 0 komentar]
|
|