[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Pelita di Matamu
Jurnal Muslimah - Wednesday, 03 March 2004

Kafemuslimah.com Senja baru saja menelan cahaya. Semua berkemas meninggalkan rutinitas harian yang menjemukan. Ada yang tertawa bahagia karena hari ini presentasinya sukses, ada yang putus asa karena gagal memenangkan tender kontrak, ada yang kepalanya pepat karena kerjaan kantor yang bejibun seolah tak mau habis, adapula yang perutnya dililit lapar karena seharian tak dapat uang ngamen. Semua bergelut dengan udara penuh polusi. Adzan maghrib berkumandang dari masjid pusat kota. Namun semua sibuk berebut angkutan agar cepat sampai rumah dan cepat pula beristirahat. Samar-samar adzan maghrib itu menghilang. Tenggelam oleh deru jalanan yang kian padat. Di salah satu bis kota saya terjepit mengikuti arus Jakarta petang hari.

Jakarta. Sejak kecil saya tidak pernah bercita-cita untuk tinggal di kota metropolitan. Terlahir di sebuah desa kecil pinggir pantai selatan, saya terbiasa hidup dengan suasana yang tenang . Ketika melanjutkan kuliah di Yogyapun saya tidak kesulitan beradaftasi. Yogya yang adem ayem tak jauh berbeda dengan suasana kota kelahiran saya.

Namun sepertinya Allah berkehendak lain. Selepas wisuda saya mendapat panggilan kerja di Jakarta. Dan mulailah saya memasuki kehidupan ibukota yang belum pernah saya bayangkan. Panas dan macet. Itu kesan pertama yang mampir di benak. Berlari-lari mengejar bis kota bahkan setelah mendapat bispun harus rela terhimpit dan bergelantungan untuk sampai rumah. Para sopir saling menggencet, memaki dan akhirnya hanya menciptakan labirin kemacetan yang panjang. Wajah-wajah lelah, mulut-mulut penuh umpatan membuat saya bergidik, ketakutan dan miris.

Ritme kehidupan Jakarta yang serba cepat dan keras membuat semua harus berpacu, bersaing dan (mungkin) saling menyodok untuk sesuap nasi. Di situlah saya tengah berada. Bergelut dengan udara ibukota penuh polusi. Berangkat kerja pagi pulang menjelang malam. Seluruh energi terkuras. Hingga untuk bercinta dengan Sang Pemilik Cinta Sejatipun tak tersisa waktu. Hidup menjadi sesak dan berkutat pada urusan dunia semata. Astaghfirullah.

Di puncak kepenatan itulah tiba-tiba Allah mempertemukan saya dengan Win. Warga baru di rumah kost kami. Ketika weekend tiba, saya sering melihat Win pergi menuju sebuah tempat di mana banyak berkumpul anak-anak gelandangan. Dia membawa buku-buku, alat tulis, makanan, tikar dan beberapa uang receh. Sepertinya dia merencanakan anggaran khusus untuk kegiatannya itu. Ketika saya tanya kemana, dia hanya menjawab ringan “Mau ngilangin penat Ri…”

Menghilangkan kepenatan? Hm, saya jadi merenung setiap melihat keberangkatan Win dengan tas besarnya. Dalam hati juga bertanya-tanya, benarkah apa yang Win lakukan itu bisa menghilangkan kepenatan hidup di ibukota? Win yang disiplin, Win yang ibadahnya jempolan, Win yang manajemen waktunya luar biasa. Diam-diam saya mengaguminya.

Hingga suatu hari saya memutuskan untuk ikut bersama Win menemui anak-anak gelandangan itu. Tak banyak yang saya bawa, kecuali beberapa kotak biscuit serta buku bacaan anak bekas. Tak jauh dari tempat pemberhentian bis, tampak anak-anak kecil gelandangan berkumpul. Mereka menyalami dan menyambut kedatangan Win dengan suka cita. Setelah memperkenalkan saya pada anak-anak itu, kami beramai-ramai menggelar tikar. Dan mulailah Win membagikan buku-buku bekas, kue serta uang receh yang kami bawa. Sambil makan kue, Win membaca dan menulis untuk anak-anak yang belum pernah sekolah. Dengan gagap saya membantu menjadi guru bagi anak-anak itu.

Kegiatan berakhir ketika hari menjelang siang dan anak-anak itu harus pergi mengamen. Saya melihat binar-binar indah di mata bocah-bocah itu yang tiba-tiba mengalirkan perasaan bahagia. Bahagia karena bisa berbagi dengan mereka. Trenyuh memang, namun saya merasakan sensasi luar biasa. Rasa syukurpun mengalir memenuhi ruang-ruang rasa. ‘Ternyata masih ada yang lebih menderita di belantara Jakarta ini dibanding kepenatan hati saya selama ini.”

“Gimana, Ri? Masih penat?” tanya Win dalam perjalanan pulang. Aku menggeleng pasti. Mata bocah-bocah kecil itu telah menyalakan pelita di hatiku yang sekian lama meredup. Dan pelita itu memberi penerangan padaku untuk menemui mereka setiap minggu atau setidaknya dua minggu sekali. Merasakan sensasi bahagia dari binar-binar indah di mata mereka.

Nah, jika anda tertantang untuk merasakan sensasi itu, cobalah! Insya Allah, jika anda melakukannya dengan hati yang bening disertai niat tulus ikhlas, anda akan merasakan sensasi luar biasa itu. Selamat mencoba! (@rye)
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved