[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Melawan Arus
Jurnal Muslimah - Wednesday, 03 March 2004

Melawan arus. Dua patah kata yang dipadankan itu kedengarannya biasa saja. Tapi sungguh lain soalnya ketika kita harus melakukannya.

Jaman ini adalah eranya budaya populer. Tidak perlu bertanya kenapa. Karena budaya populer itu telah mengalir bagai air bah. Dimuntahkan dengan deras oleh media massa (cetak maupun elektronik), internet, mode busana, musik dan berbagai produk konsumtif yang didatangkan dari dunia luar sana.

Icon-icon baru budaya populer terus bermunculan dan silih berganti menjadi trend setter. Jaman saya remaja dulu, rasanya ketinggalan jaman banget kalau tidak merayakan ultah di restoran fried chicken. Atau kalau buat mereka yang boleh keluyuran malam dan agak berada, manggil diskotik ke rumah saat ultah hukumnya harus itu! Itu pun masih perlu ditambah lagi dengan keharusan memiliki busana model backless atau yang oleh ayah saya disebut dengan sinis sebagai baju sundel bolong.

Kalau untuk kalangan ABG (angkatan babe gue), jaman itu ditandai dengan menjamurnya steam bath dan bar. Waktu terus bergulir. Sekarang jaman saya menjadi ibu muda, tiba eranya diskotik, pub dan karaoke di hotel-hotel dan gedung yang bagus. Kalau gaya busananya tidak salah lagi, pasti semua setuju kalau sekarang ini disebut eranya Britney Spears. Celana hipster jadi pujaan. Kalau yang belum tahu, itu lho yang pinggul dan pusernya kelihatan ke mana-mana seperti meledek perempuan yang perutnya gendut dan tidak pantas memakainya.

Siapa yang tidak ikut “mengusung” berbagai atribut dari budaya populer ini akan dianggap kuno. Engga gaul katanya. Yang tidak kuat-kuat kepribadiannya dan imannya pasti gampang terseret arus.

Sebagai muamalaf, awal-awalnya saya sempat merasa tak habis pikir dan gamang. Bagaimana bisa sih, kok ustadz-ustadz itu ngajarin pakai jilbab, menjauhi diskotik dan tempat hiburan malam lain yang katanya tempat maksiat itu. Maksud saya, kok ya seperti melakukan hal yang sia-sia saja itu dakwahnya. Orang lagi heboh-hebohnya budaya populer ini. Punya sarana apa ustadz-ustadz itu dalam menyebarkan ajarannya. Amat sangat tidak berimbang dengan fasilitas akses yang dimiliki oleh kaum sekuler dari dunia barat. Daerah paling terpencil di Indonesiapun bisa dijangkaunya dengan mudah. Ibaratnya kata iklan “Kingkong lu lawan!”

Sementara kalau kita ikut arus, manfaatnya jelas langsung terasa. Tidak dibilang kuno dan kuper. Ngomong juga nyambung dan dianggap jadi bagian kelompok orang gaul. Sementara kalau ikut ustadz pahala nya tidak kelihatan karena adanya di akherat.

Menanggapi hal ini suami saya dengan tenang mengomentari. “Tapi yang banyak itu kan engga selalu benar”. Saya akui memang betul, tapi rasanya tetap susah juga jadi yang minoritas dan melawan arus.

Belum lama ini kantor saya mengajak seluruh karyawan refreshing sepulang kerja ke sebuah karaoke yang terletak di kawasan hiburan malam yang sangat terkenal di Jakarta. Sejak awal diajak saya sudah menolak. Penolakan ini adalah dengan ikhlas dan dari dalam lubuk hati. Pertama karena kalau pulang malam berarti balita-balita kami juga akan tidur malam sementara besoknya mereka harus sekolah (mereka terbiasa tidak mau tidur kalau ibunya belum pulang). Kedua karena suami juga kurang merestui. Sebab konon kabarnya di tempat itu ada perjudian gelap dan pelacuran terselubung.

Tetapi akibatnya tidak terlalu menyenangkan (untuk tidak mengatakan tidak enak). Pada hari H, sejumlah teman sekantor yang lumayan akrab menasehati saya. “Jadi orang jangan terlalu serius kenapa sih? Sekali-sekali kan engga apa-apa.” Ada lagi yang bilang. “Gaul dong. Tempat-tempat kaya gini musti tau. Biar engga dibilang kuper”. Yang lain lagi bilang “ Awas lho sekarang engga mau engga mau. Taunya entar begitu kenal, kecanduan lagi”. Yang ini masih bisa ditanggapi dengan senyuman.

Keesokan harinya lebih tidak enak. Rasanya tertawa salah, tersenyum salah, diam pun lebih salah lagi. Atau pendeknya, salah tingkah. Seisi kantor (kecuali office boy/girl yang memang tidak mau ikut ke karaoke dan tidak diajak bercakap-cakap) hampir setengah hari kerja tergelak-gelak membicarakan acara di karaoke semalam. Katanya ada yang goyang ngebor, yang ngecor dan ada yang tingkahnya jadi lucu-lucu setelah mabuk.

Bagaimana mau ikut tertawa karena saya tidak melihat kejadiannya dan tidak menganggap hal yang diceritakan itu lucu. Buat saya adalah hal yang ironis ketika seseorang dianggap lucu justru ketika jati diri kemanusiaannya nyaris hilang karena diguyur alkohol. Apakah lucu juga kalau akibat ikut acara tersebut kemudian ada satu dua orang yang jadi tidak bisa masuk kerja keseokan harinya. Apakah saya kurang memiliki rasa humor atau ada perbedaan rasa humor diantara kami, atau saya berada di lingkungan yang salah ataukah sekedar terlalu sensitif saja? Saya tidak tahu jawabnya.

Yang saya tahu, saya jadi ingat sebuah buku yang saya baca di sekolah anak saya tentang kisah Nabi Mohammad ketika mulai melakukan syiar agama Islam. Hampir seluruh isi kampung, kecuali istrinya Khadijah dan beberapa kerabat dekatnya, melecehkannya. Sebagian lagi menertawakan dan mencercanya. Bahkan itu pun tidak seberapa bila dibandingkan dengan yang ini. Kepalanya diludahi dan dilempari batu hingga berdarah. Dan beliau tidak mengeluh kecuali pasrah dan bertawakal kepada Allah semata. Masya Allah, yang saya alami tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaan beliau. Sungguh yang saya alami tidak ada artinya dibandingkan perjuangan beliau menegakkan agama Islam. Dan saya tahu sesungguhnya saya tidak sendiri. Walau sedikit, tapi yang banyak belum tentu yang benar kan? Maka perlukah lagi saya mengeluh?

Mei 2003
Yanni Gouw
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved