[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Suami Tidak Sesholeh Ketika Sebelum Menikah
Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004

Assalamualaikum wr.wb..

Mbak Ade, saya seorang akhwat 25 tahun. Delapan bulan yang lalu saya telah menikah dengan seorang pria yang umurnya 11 tahun diatas saya, kami tidak melalui proses pacaran, dikenalin sama famili saya, alhamdulillah sekarang saya lagi hamil 6 bulan.

Dulu sebelum menikah, saya bertekad ingin mencari suami yang sholeh dan bertaqwa pada Allah SWT, karna niat saya untuk berumah tangga juga ingin sekali membina keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, dan pinginnya suami juga mempunyai tujuan yang sama. Pada saat sebelum menikah saya melihat suami saya rajin shalat, dan selalu nyambung kalo diajak komunikasi tentang agama.

Tapi setelah menikah, dia nggak pernah shalat lagi, dan kelihatannya dia juga nggak perduli dengan ibadah-ibadah kepada Allah SWT, seperti puasa dll. Saya tau mungkin ini cobaan dari Allah SWT buat saya, saya sudah sering menasehatinya supaya mau shalat, jawabannya "iya", tapi nggak pernah dikerjakannya. Saya juga sudah sering tahajud dan mendoakannya, semoga dia diberi petunjuk dan inayah. Tapi mbak Ade sekarang saya sudah nggak tahan lagi, dan merasa nggak sejalan dan nggak satu prinsip dengannya karena dia tidak mau berusaha untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.

Yang ingin saya tanyakan, apa yang harus saya lakukan? apakah saya boleh minta cerai, karna saya merasa sangat tidak cocok sekali.. Saya mohon bantuannya mbak.

Jazakumullah sebelumya atas bantuan dan saran mbak..
wassalam

T
Balikpapan

Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sesungguhnya perkawinan dalam syariat Islam itu merupakan suatu hubungan dan jalinan yang oleh Allah ditegakkan di atas fondasi yang berupa ketentraman, kecenderungan, cinta dan kasih sayang. Jalinan kokoh yang benang-benangnya dirajut setelah terlebih dahulu dicari, diusahakan dengan susah payah, melalui perkenalan, lamaran, mahar, pesta dan pengumuman, maka syariat yang bijaksana ini tidaklah memandangnya sebagai persoalan ringan yang begitu mudah dirusak dan dilepaskan ikatannya serta dirobohkan pilar-pilarnya hanya karena sebab sepele dari pihak suami atau istri. Artinya bukan perkara yang bisa begitu saja dengan mudah dibawa untuk memisahkan pasangan suami istri dalam perkawinan Islami. Islam cenderung menganjurkan sebuah langgengnya tali pernikahan dalam ikatan semata untuk mengharap keridhaan Allah semata.

Tapi meski begitu, tentu saja dalam Islam tidak mengingkari bahwa ada kalanya usaha manusia untuk berinteraksi dalam rumah tangga yang dibangunnya kadang kala menemui kendala yang membuat pasangan suami istri tidak bisa bertemu dalam suasana penuh kasih sayang. Ada kalanya masalah sepele menjadi besar dan tak terbendung lagi sehingga jika pasangan suami istri yang berseteru ini tetap bersatu bukan lagi kedamaian yang mereka peroleh tapi sebaliknya perasaan tidak nyaman dan tersiksa. Jika hal ini terjadi, maka bukan kedamaian dan ketentraman yang akan diperoleh oleh pasangan suami istri tersebut tapi sebaliknya dan lebih dari itu, persoalan perseteruan ini bisa mendatangkan kemudharatan bukan hanya bagi pasangan suami istri itu saja tapi juga bagi anggota keluarga lain, terutama anak-anak. Artinya, ada sebuah pintu yang bisa digunakan oleh pasangan suami istri jika memang biduk perkawinan tidak bisa diselamatkan lagi. Untuk itulah Islam memberi hak untuk mengajukan talak bagi suami yang ingin menceraikan istrinya dan hak KhuluÂ’ bagi istri yang ingin berpisah dengan suaminya.

Tapi ada sebuah catatan khusus untuk masalah ini, yaitu adanya syarat untuk tidak melakukannya dalam keadaan tergesa-gesa, keputusan untuk bercerai inipun harus diikat dengan sebuah “kebutuhan yang sangat” (pintu darurat saja), dan ada tahap-tahap yang harus dilalui yang tak lain maksudnya adalah agar keputusan tersebut dilakukan setelah melalui sebuah proses yang matang, penuh kesadaran (tidak dalam keadaan marah, mabuk, terpaksa atau dibawah tekanan atau karena maksud akal-akalan manusia lain).

“..Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisa:19)

Rasulullah bersabda: “Janganlah seorang mukmin (suami) membenci (mudah menceraikan) seorang mukminah (istrinya). Jika ia tidak menyukai salah satu akhlaknya, maka ia menyukai sisi-sisi lainnya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah, hadits no. 1469)

“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR Abu Daud)

“Janganlah kamu menceraikan wanita (istrimu) tanpa adanya tuduhan.” (HR Thabrani).

“Siapa saja perempuan yang meminta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab yang dapat dibenarkan, maka dia tidak akan mencium bau surga.” (HR Abu Daud)

“Wanita-wanita yang suka meminta Khulu’ dan durhaka kepada suami adalah wanita munafik.” (HR Ahmad) à yang dimaksud oleh hadits ini ialah wanita-wanita yang meminta khulu’ tanpa adanya alasan yang dibenarkan sebagaimana hadits sebelumnya. Adapun wanita-wanita yang tidak suka kepada suaminya dan merasa khawatir kebenciannya itu akan menyebabkan dia mengabaikan hukum-hukum Allah dalam masalah rumah tangga, maka ia boleh membeli kebebasannya dengan mengembalikan pemberian suaminya, baik yang berupa mahar maupun hadiah.

Ibnu Qudamah berkata,
“Sesungguhnya apabila seorang wanita tidak suka kepada suaminya karena perangainya, rupanya, agamanya, karena telah tua, karena lemah, atau faktor-faktor lainnya, dan dia takut tidak dapat menunaikan hak Allah dalam mentaati suaminya, maka ia boleh meminta khulu’ dengan menebus dirinya, berdasarkan firman Allah:

“…Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dririnya…”(AL Baqarah: 229)

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari diceritakan bahwa istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak mencela perangainya dan agamanya, tetapi saya tidak suka melakukan kekufuran dalam islam” (di riwayat lain mengatakan, “Wahai Rasulullah saya tidak mencela perangainya dan agamanya, tapi saya sudah tidak bisa lagi mencintai suami saya dan saya takut tidak adanya perasaan cinta ini akan membawa saya pada kekufuran”). Lalu Rasulullah saw bertanya, “apakah kamu mau mengembalikan kebunnya?”, Dia menjawab, “ya”. Lalu dia mengembalikan kebun itu kepada Tsabit, dan Nabi saw menyuruh Tsabit menceraikannya. (Di dalam riyawat lain disebutkan, Lalu Nabi saw berkata pada Tsabit, “Terimalah kebun ini dan ceraikanlah dia dengan talak satu…”).

Disebut khulu’, karena wanita itu melepaskan diri dari kedudukannya sebagai “pakaian suaminya” (lihat Al Baqarah:187); sedangkan bayaran dinamai tebusan karena ia menebus dirinya dengan harta kepada suaminya. Allah berfirman (artinya): “Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya.” (Al Baqarah:229).

Nah. Karena itu ada baiknya keputusan untuk berpisah dengan suami ukhti itu dipikirkan dengan matang-matang dan hati-hati.

Dalam surat ukhti, dikatakan bahwa dahulu sebelum menikah suami ukhti itu adalah seorang yang cukup baik agamanya dan baik pula pemahaman/pengetahuan agamanya. Artinya, perilaku tak taat pada agama ini baru munculnya. Sayangnya ukhti tidak menceritakan sejak kapan perilaku ini muncul.

Sekarang, coba ukhti ingat-ingat dahulu sejak kapan perilaku tak taat ini muncul. Lalu coba ingat-ingat juga adakah sebab-sebab yang melatar-belakangi perilaku ini muncul. Adakah masalah yang sedang dia hadapi sehingga dia mengalami “penurunan” keimanan.

Mungkin ukhti sudah memahami bahwa sesungguhnya hati manusia itu selalu berada dalam kondisi yang berbolak-balik. Adakalanya hati cenderung pada kebenaran, sehingga membawa perilaku kesholehan yang baik bagi pemiliknya. Biasanya, kondisi ini dikuatkan dengan keadaan lingkungan yang turut mendukung suasana hati sehingga terkondisi sedemikian. Seperti banyak belajar agama, bergaul dengan orang-orang shaleh yang secara tidak langsung mengingatkan kita untuk selalu ingat pada Allah. Juga ditunjang oleh lingkungan sekeliling seperti karena posisi enak yang kita miliki, ekonomi yang tidak terlalu sulit, keluarga yang harmonis, istri dan anak yang menjadi penyejuk mata, posisi pekerjaan/kekuasaan yang tidak dibawah tekanan, suasana lingkungan yang ramah dan bernuansa keagamaan, dll.

Sebaliknya, adakalanya hati cenderung pada kebatilan (perasaan menjauh dari Allah, biasa ditenggarai dengan istilah futur), sehingga membawa perilaku ketidak-sholehan bagi pemiliknya. Biasanya kondisi ini akan semakin dikuatkan dengan lingkungan yang turut mendukung sehingga perasaan futur ini semakin menjadi dan bukan tidak mungkin akan membawa si pemilik hati menjadi benar-benar menjauh dari Islam (bahkan bisa menyebabkan kekafiran). Seperti jika dia justru memilih untuk bergaul dengan lingkungan yang sama sekali tidak islami (kalau orang muda mengatakannya “dugem alias dunia gemerlap”, seperti nongkrong di kafe-kafe atau night club yang bergaya kebarat-baratan dan beredar segala perilaku bebas), memilih untuk mendalami hobbi yang justru mendekatkan diri pada kemunkaran seperti hobbi taruhan, main wanita, begadang tanpa tujuan, nonton film biru, dll. Posisi tidak enak yang dimiliki juga bisa memacu (istilahnya bikin BeTe), seperti berada di dalam tekanan pekerjaan/kekuasaan, keluarga yang tidak harmonis, lingkungan yang keras dan jauh dari agama, istri dan anak yang banyak menuntut tapi sedikit memberi, dll.

Pendek kata, sebelum mengambil keputusan untuk berpisah ada baiknya kita introspeksi dahulu sejenak ke belakang barangkali ada hal yang bisa diperbaiki. Alhamdulillah dalam hal ini, ukhti sudah menyadari satu hal penting, yaitu kesadaran bahwa masalah yang ukhti alami saat ini adalah sebuah ujian dari Allah. Nah, sekarang bagaimana cara kita menyelesaikan ujian ini agar bernilai “lebih” di mata Allah. Sambil introspeksi ke belakang, ukhti cobalah untuk merubah strategi dalam mengingatkan suami. Jangan gampang putus asa dahulu. Mungkin hal ini terasa berat, apalagi mengingat ukhti sedang mengandung enam bulan (yang menyebabkan keadaan emosional sedikit sensitif).

Ukhti layani suami ukhti dengan baik “semata untuk mengharapkan cinta Allah” (dengan iringan doa yang terus dipanjatkan seperti selama ini ukhti lakukan). Tanpa ada nada menggurui, nada sok tahu, atau nada ingin mendominasi, ukhti pelan-pelan ajak suami ukhti untuk kembali beribadah. Misalnya di rumah. Beri dia keramahan dan senyuman. Lalu ukhti ajak dia untuk shalat berjamaah (maghrib atau isya). “Mas, jadi imamku yah.” Jangan katakan, “Mas, jadi imam dong, kamu kan kepala keluarga.”

Atau ketika ukhti ingin mendirikan shalat malam, bangunkan suami ukhti dengan lembut, “Mas, shalat malam bareng yuk.” Atau seperti sebelum menikah dahulu, ajak suami ukhti untuk membicarakan masalah agama dan biarkan dia mengeluarkan pemahamannya. Perlakukan dia sebagai seorang yang punya kelebihan dan ukhti ingin belajar darinya (jadi bukan sebaliknya, dia seorang yang kekurangan dan ukhti menjadi gurunya).

Atau bisa juga ingatkan dia akan kenangan nikmatnya beribadah bersama-sama seperti dahulu. “Mas, ingat nggak dulu waktu kita shalat shubuh di masjid. Di antara semua waktuku, aku paling suka kalau diajak shalat shubuh berdua kamu. Mana udara pagi sejuk dan masih kerasa bersih, jalanan masih sepi, jadi enak rasanya jalan-jalan ke masjid berdua kamu.” Lalu ajak dia untuk pergi bersama untuk shalat berjamaah di masjid dan ciptakan suasana mesra dan akrab dalam perjalanan ke dan dari masjid itu sehingga saat-saat kebersamaan ini menjadi sebuah hiburan yang menyenangkan bagi suami ukhti (dan bukan kerutinan atau keharusan yang menjemukan).

Kirimi dia kartu-kartu mini (atau sms jika punya HP) yang berisi ucapan cinta dan kerinduan ukhti padanya sekaligus sebuah kalimat yang mengingatkannya pada kebesaran Allah. “Aku cinta kamu, dan selalu berharap perasaan cinta ini akan kekal hingga ke jannah-Nya. Aamiin”.

Satu hal ukhti (ini ada sedikit bocoran dari teman saya yang psikolog), bahwa para suami itu tidak begitu menyukai jika istrinya terlihat menggurui mereka, atau terlihat ingin mendominasi mereka atau terlihat lebih pandai dan lebih tahu dari mereka. Interaksi yang didasari oleh perilaku istri yang tidak disukai seperti di atas hanya akan menyebabkan seorang istri berbicara sendiri tanpa ada yang mendengar segala ucapan/anjurannya. Meski yang diucapkan/dianjurkannya itu adalah sesuatu yang sangat berguna sekalipun. Jadi cobalah belajar untuk bijaksana. Insya Allah, jika ini ujian yang diberikan Allah pada ukhti, maka bisa jadi Allah ingin mendidik ukhti agar kelak bisa jadi ibu yang bijaksana bagi anak-anak ukhti dan istri yang bisa jadi sahabat bagi suaminya (meski perbedaan usia kalian cukup jauh).

“Sesungguhnya wanita itu adalah belahan (mitra) laki-laki.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, Darimi).

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah….” (At Taubah:71)

Dicoba yah ukhti, sambil tak lupa meminta pertolongan Allah agar memberi kemudahan bagi ukhti dan hidayah bagi suami ukhti. “Jangan tergesa-gesa mencari cara untuk membuka pintu darurat selama pintu yang ada tersedia selama ini masih berfungsi dengan baik”.

Semoga bermanfaat.

WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ade Anita
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved