[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Mertuaku Maduku
Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004

Assalamu'alaikum wr.wb.
Pernikahan saya (29) dan suami (28) sudah berumur hampir 3 tahun dan sudah dikaruniai seorang putri berumur 14 bulan. Sebenarnya sejak awal pernikahan kami sudah "kurang disetujui" oleh kedua orangtua saya. Menurut pandangan mereka kepribadian calon suami saya kurang matang alias manja. Mereka takut nantinya sayalah yang harus memikul beban rumahtangga. Namun karena saya mencintai dia, walaupun sempat terjadi perselisihan antar keluarga, pernikahan kami berlangsung juga.

Ternyata ramalan orangtua saya benar, Mbak. Suami saya sangat manja bahkan sangat bergantung pada mamanya. Berkali-kali saya minta padanya untuk belajar mandiri setelah berumah-tangga sendiri. Hasilnya, Alhamdulillah sedikit2 ia mulai berubah. Tetapi yang menjadi masalah justru dari pihak mama mertua saya, mBak. Mungkin karena terbiasa meladeni segala keperluan suami dan anak2-nya (2 orang anak laki2 semua), jadi sampai sekarang pun ia masih mengurusi kami walaupun kami sudah pisah rumah. Memang rumah kami dekat dari rumahnya. Selain itu tampaknya mertua saya ini belum sepenuhnya rela berpisah dari suami saya (suami saya anak bungsu). Terbukti dengan usahanya memaksa kami untuk tinggal dekat2 saja dari rumahnya. Saya jadi merasa mertua saya seperti "madu saya" karena selalu berebut perhatian dari suami

Masalah inilah yang berkembang menjadi konflik dalam rumahtangga kami. Sebagai istri dan nyonya rumah, saya ingin dapat melayani suami, anak dan juga mengurus segala keperluan rumah-tangga sendiri. Kalaupun menemui kesulitan saya berharap suami-lah yang membantu. Pendek kata saya ingin mandiri sebagai keluarga, Mbak. Tidak dicampuri oleh "pihak luar".

Beberapa kali saya minta pada suami untuk menjelaskan pada mama mertua saya, tapi entah disampaikan entah tidak, yang jelas masalah ini makin berlarut-larut dan menjadi semakin mengganggu.

Tolong saya dong mbak, bagaimana caranya menyelesaikan masalah ini. Apakah pantas saya menegur mertua saya langsung tanpa perantara suami agar ia tidak ikut campur lagi dalam masalah2 rumah-tangga kami?

Satu lagi ya, Mbak. Bagaimana sih caranya meredam emosi yang meluap2 menjelang PMS (Pre Menstruasi Syndrom) ?

Tolong dijawab ya, Mbak. Dan tolong nama dan alamat saya dirahasiakan.
Terimakasih banyak
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terkadang, ketika perasaan cinta sedang menggebu di dalam dada, maka segala keburukan dan hal-hal yang tidak menyenangkan tidak akan pernah mampu dilihat dan dirasakan oleh mereka yang sedang jatuh cinta. Dalam pandangan mata mereka yang sedang jatuh cinta, segalanya akan terasa indah dan menyenangkan.

Dari sini, yang bisa saya katakan sebelum saya membahas masalah ukhti adalah, semua yang terjadi saat ini bukanlah sebuah ramalan yang menjadi kenyataan. Karena sebenarnya, apa yang terjadi di saat ini sesungguhnya adalah akumulasi dari apa yang pernah terjadi sebelumnya. Dalam hal ini, orang tuamu dahulu mampu melihat orang yang kamu cintai secara lebih objektif karena tidak adanya perasaan emosional antara orang tuamu dan kekasihmu itu. Sedangkan kamu, dulu tidak bisa melihat apa yang orang tuamu lihat karena pandangan dan pikiranmu dipenuhi oleh perasaan insan yang sedang jatuh cinta. Meski begitu, pengetahuan tentang bagaimana si dia yang sebenarnya sudah sempat kamu terima sebelum kamu menikah (terbukti dengan datangnya peringatan dari orang tuamu akan sifat kurang matang kekasihmu dahulu). Jadi, sekali lagi apa yang terjadi saat ini sebenarnya sudah bisa diprediksikan sejak awal dan bukan sebuah ramalan yang menjadi kenyataan.

Ya sudah. Kita jadikan masa lalu sebagai kenangan yang membawa pelajaran tersendiri. Karena yang utama adalah saat ini dan bagaimana melalui agar hari esok bisa lebih cerah (insya Allah).

Kembali pada masalah rumah tanggamu saat ini.

Saya perhatikan dalam menangani masalah konflik yang terjadi dalam rumah tangga ukhti ini, tampaknya ukhti sudah berusaha untk mengkomunikasikan hal ini dengan suami ukhti. Terlihat dari cerita ukhti tentang keberhasilan ukhti untuk sedikit demi sedikit mengajak suami ukhti untuk mandiri lepas dari ketergantungan suami pada keluarganya. Juga dari keberhasilan ukhti mengungkapkan isi hati ukhti pada suami tentang ibunya (mertua ukhti) meski yang terakhir ini hasilnya belum terlihat. Itu artinya, komunikasi dalam rumah tangga ukhti berjalan cukup baik.

Kalau dikatakan bahwa kunci kebahagiaan berkeluarga adalah dari lancar tidaknya komunikasi, sebenarnya ini tak terlalu salah. Akan tetapi, kesalahan fatal yang sering dilupakan oleh para istri maupun para suami adalah terlalu sering kata komunikasi diartikan sebagai kemampuan kita menyampaikan gagasan atau pikiran dan perasaan yang ada di dalam diri untuk didengar oleh pihak lain (baca= pasangan). Padahal, unsur terpenting dalam sebuah komunikasi justru terletak pada kemampuan untuk bisa mendengar, bukan Cuma mendengar saja, tetapi mendengar aktif. Karena dalam sebuah perkawinan, jika hanya sekedar mendengar saja maka bisa dikatakan bahwa sebenarnya yang terjadi adalah bahwa kita hanya akan sibuk bicara sendiri saja.

Untuk mendengar aktif, pada awalnya kita harus memiliki kesediaan dulu untuk mencari tahu apa yang akan dikatakan pasangan kita. Lalu, kita menyimak dalam arti mencoba mencari makna “di balik” apa yang disampaikan oleh kata-kata. Artinya, bukan hanya yang keluar dari mulut, tetapi lebih penting lagi nada bicaranya, keras pelannya, mimik wajahnya dan bagaimana pula sikap tubuhnya.

Ada sebuah pepatah mengatakan bahwa Action speaks louder than words, yang kita wujudkan dalam bentuk tindakan, ternyata akan memberi kesan kuat, ketimbang apa yang kita katakan.

Nah, kalau kita mendengar aktif, kedua hal ini berjalan selaras. Yang disampaikan lewat mulut, didukung pula oleh faktor-faktor non verbal, yang biasa disebut bahasa tubuh. Jika saja ukhti arif dalam mencermati bagaimana suami ukhti saat ia mengekspresikan perasaannya pada ukhti tentu kalian berdua akan lebih bisa memahami satu sama lain. Setiap pasangan pasti punya cara yang berbeda dalam mengekspresikan keinginan dan harapannya pada pasangannya. Inilah yang ingin dieksplorasi dalam sebuah komunikasi. Bukankah tujuan sebuah komunikasi adalah mencari kesesuaian pendapat dan memperoleh kedudukan yang dilandasi oleh saling mengerti satu sama lain?

Dari awal tampaknya yang terjadi selama ini adalah ukhti mencoba untuk mewujudkan keinginan ukhti pada suami ukhti secara satu arah saja. Padahal, sebagai seorang manusia, tentunya suami ukhti juga punya keinginan juga dan sebagai seorang anak dia pun punya keinginan tertentu bagi orang tuanya. Adakah ukhti tahu apa sebenarnya yang diinginkan suami ukhti? Adakah ukhti tahu keinginan suami yang ingin dia wujudkan dalam perkawinannya?

Ukhti ingin dia mandiri dengan mempunyai rumah sendiri. Suami ukhti pun mewujudkannya karena dia sendiri memang tidak terlarang untuk mewujudkan hak itu. Terlebih dalam hal ini ada manfaat yang bisa diambil dari hak tersebut, yaitu menjauhkan problema yang tampaknya akan muncul antara mertua dan ukhti (baca= menantu) yang dapat mengeruhkan kejernihan hubungan kekeluargaan. Hanya saja, ada satu keinginan ukhti yang tampaknya akan sulit dilakukan. Yaitu lepas 100% dari orang tua suami, terutama dari kedekatan beliau dengan ibunya.

Kedudukan ibu dalam Islam itu sangatlah mulia. Rasulullah-pun menyebut kata ibu sebanyak tiga kali ketika ditanyakan pada siapa seseorang sebaiknya berbakti, baru kemudian ayah. Dalam Islam, seorang anak lelaki itu adalah milik ibunya. Artinya, kedudukan ibu tidak langsung begitu saja lepas dari kehidupannya setelah dia menikah, meski dia sudah memiliki istri (hal sebaliknya terjadi pada seorang wanita; setelah dia menikah maka dia menjadi milik suaminya dan kedudukan suami menjadi lebih utama ketimbang kedudukan kedua orang-tuanya dengan catatan, selama itu tidak berhubungan dengan kemunkaran). Jadi, jika ada seorang suami yang ingin berbakti pada ibunya (baca= orang tuanya) maka istri terlarang untuk menghalangi hak tersebut, termasuk usaha yang mengarahkan pada putusnya tali silaturahim antara ibu dan anak.

Dalam hal ini, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai seorang wanita, tentu ada keinginan untuk membangun rumah tangganya secara mandiri. Boleh saja kok ukhti, hanya saja ukhti harus menghormati hubungan antara suami dan ibu suami ukhti.

Sekarang, coba pahami. Barangkali ibu suami ukhti (baca= mertua) saat ini sedang mengalami kondisi tertentu yang hingga sekarang belum dimengerti oleh ukhti, dan mungkin baru akan ukhti ketahui pada masa mendatang. Selama ini, mertua ukhtilah yang mengurus segala sesuatu dalam keluarganya. Jadi, dia belum terbiasa harus berbagi peran dengan ukhti. Lagipula, melepas begitu saja anak yang disayangi itu sangatlah berat bagi orang tua (kelak ukhti akan merasakannya jika anak ukhti sudah besar kelak). Untuk itu, ukhtilah yang harus mengalah dengan memberi padanya kesempatan untuk melakukan penyesuaian. Sementara menunggu beliau melakukan penyesuaian (yang bisa jadi tidak akan terjadi dalam semalam), ada satu hal yang bisa ukhti lihat sebagai persamaan kalian berdua. Dalam hal ini, kalian berdua sama-sama mencintai lelaki yang sama. Bedanya, yang satu mencintai lelaki itu dengan cinta seorang ibu terhadap anak lelakinya sedangkan yang lain mencintai lelaki itu dengan cinta istri terhadap suaminya. Nah, apa salahnya kalian berdua bekerja sama untuk membahagiakan lelaki yang sama-sama kalian cintai itu?

Caranya, coba singkirkan sejenak rasa cemburu pada mertua seperti yang ukhti rasakan selama ini karena sebuah prasangka bahwa dia ingin turut campur dalam semua urusan rumah tangga ukhti. Selama prasangka bahwa suami ukhti tidak bisa lepas dari ketiak ibunya, ukhti akan terus bersusah hati dan sulit menerima kehadiran mertua apalagi memperlakukan mertua seperti ibu kandung sendiri. Hilangkan prasangka terhadap suami ukhti (percayalah dia sudah berusaha untuk membahagiakan ukhti). Lalu ukhti anggap saja mertua ukhti itu seperti ibu kandung ukhti sendiri. Cintai dia seperti mencintai ibu kandung ukhti sendiri dan cobalah untuk “bersahabat” akrab dengannya sehingga mertua ukhti tidak lagi merasa bahwa ukhti adalah menantu tapi menganggap ukhti seperti anak kandung sendiri.

Dengan kata lain, kita berusaha untuk membuat mertua ukhti menerima kehadiran ukhti di tengah hubungan ibu dan anak. Lalu, dari hubungan yang terjalin ini nikmati saja pembagian peran yang tercipta sebagai salah satu cara untuk membahagiakan lelaki yang sama-sama kalian cintai.

Tidak selamanya kok pembagian peran dan tugas dengan mertua itu jelek. Isi saja waktu yang tersisa karena adanya pendelegasian tugas ini dengan kegiatan yang berguna untuk ukhti sendiri. Misalnya. Minta mertua untuk mengajari ukhti memasak, ajak mertua untuk berbelanja berdua, jika mertua ingin memasakkan makanan untuk keluarga hari ini, ukhti bisa memanfaatkan waktu yang semula untuk memasak dengan membaca buku atau melakukan hal lain yang bermanfaat dan jadikan mertua sebagai pengganti ibu (jangan sungkan untuk terbuka padanya, insya Allah jika beliau sudah menerima kehadiran ukhti beliau akan berusaha untuk membantu ukhti). Suami sendiri, akan lebih berbahagia melihat kalian berdua akrab dan insya Allah akan semakin sayang pada ukhti karena ukhti menyayangi ibu beliau. Sebaliknya, mertua juga akan menyintai ukhti karena tahu bahwa ukhti menyintai anak kesayangannya.

Pendeknya, jangan anggap mertua sebagai saingan, tapi anggap beliau sebagai partner untuk membahagiakan suami ukhti dan lebih dari itu, sebagai amanah yang akan menjadi jalan untuk mendapatkan cinta Allah SWT. Bukankah tujuan akhir kita semua dalam menjalankan amanah sebagai seorang istri adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT dan cinta-Nya?

‘Dari Abu Hurairah ra, dia menceritakan, Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya jika Allah Tabaraka wa Ta’ala mencintai seorang hamba, maka jibril pun berseru: “Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan, maka cintailah dia”, Kemudian Jibril juga mencintainya, lalu Jibril berseru ke langit: “Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan, maka cintailah dia.” Maka semua yang ada di langit mencintainya, serta diberikan tempat yang luas baginya untuk dicintai di bumi.” (Muttafaqun’Alaih)

Lakukan segalanya dengan cinta, maka yang akan kita peroleh adalah cinta dan kebahagiaan. Tak ada yang lain.

Melalui Cinta, pahit menjadi manis;
Melalui cinta, tembaga menjadi emas;
Melalui cinta, kotor menjadi jernih;
Melalui cinta, luka menjadi suka;
Melalui cinta, mati menjadi hidup.

Hmm, soal cara menanggulangi PMS: Al Quran memberikan bantuan dengan sebuah jalan keluar yang sangat baik untuk diterapkan. “Jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu.”
Semoga bermanfaat

WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved