|
Adab Terhadap Orang Meninggal Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
Assalamualaykum wr wb
saya ingin bertanya dan jawabannya saya harapkan memakai ayat2 al-qur'an:
1. bgmana hukumnya makam yang diperindah dengan batu keramik atau marmer? Sebaiknya makam seperti apa yang di benarkan .
2. apa hukumnya menebar bunga diatas makam?
3. apakah boleh terjadinya penumpukan makam , seperti yang kita lihat sekarang, krn tidak ada lahan lagi.
terimaka kasih sebelumnya atas jawabannya.
Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabakarakatuh
Perihal memperindah makam.
Diharamkan di pemakaman hal-hal sebagai berikut:
Menyembelih binatang ternak sebagai kurban kepada Allah berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Tidak ada sesajian di dalam Islam.”
Abdurrazzaq bin Hamman mengatakan, “Dahulu di zaman jahiliyah orang-orang gemar melakukan sesajen di kuburan dengan menyembelih sapi atau kambing.” (HR Abu Daud, al-Baihaqi dan Ahmad).
Meninggikan makam melebihi tanah galian.
Melapur (mengapur kuburan).
Menulis di atasnya.
Membangun bangunan di atasnya.
Duduk-duduk di atasnya.
Ada sejumlah hadits yang memperkuat point-point tersebut:
Jabir ra. Berkata, “Rasulullah saw telah melarang mengapur (melabur) kuburan, dan duduk di atasnya, atau membangunnya (atau menambahi ketinggiannya) atau menulis di atasnya.” (HR Imam Muslim, Abu Daud dan an-Nasa’I).
Imam an-Nawawi mengatakan, “Riwayat tersebut sahih sanadnya…” Kemudian ia berdalil dengan hadits tersebut dan mengatakan bahwa mustahabb-nya untuk tidak menambahi ketinggian makam melebihi tanah datarnya dari hasil galiannya, dan berkata, “Imamasy-Syafi’I mengatakan, “Apabila menambahkannya tidaklah mengapa.” Para sahabat kami mengatakan, “Maksud perkataan Syafi’I ialah bahwa menurutnya tidaklah makruh.”
Ibnu Hazm di dalam al-Muhallanya, “Tidaklah halal membangun kuburan, termasuk membetonnya, dan tidak diperbolehkan meninggikannya melebihi tanah aslinya, dan hendaklah dihancurkan.” Tampaknya ini pendapat Imam Ahmad, seperti yang dikatakan oleh Abu Daud di dalam Masa’ilnya, “Aku tanyakan kepada Imam Ahmad mengenai hal ini, dan dijawabnya, ‘Hendaknya jangan meninggikan makam melebihi tanah aslinya. Samakan dengan tanah hingga tidak terlihat.’ Tampaknya, sebelumnya ia membolehkan.”
Akan tetapi, di dalam kitab al-Inshaf yang menukil pernyataannya, ia hanya memakruhkannya. Imam Muhammad di dalam al-atsar mengatakan, “Abu Hanifah mengabarkan kepada kami yang diperolehnya dari Hammad dari Ibrahim, ia berkata, ‘dahulu dikatakan, “Tinggikanlah makam hingga diketahui orang kalau itu adalah kuburan dan agar tidak diinjak-injak orang.” Pendapat itulah yang kami pahami dan kami amalkan. Kami berpendapat tidak boleh untuk menambahkan melebihi kadar tanah galian setelah dikebumikannya sang mayit. Kami juga memakruhkan beton makam atau membangunnya, atau menulis di atasnya, sebagaimana kami cenderung memakruhkan mengambil upah dari membangunnya, atau mengambil upah dari memasukkan mayat ke dalam kubur. Kemudian kami berpendapat tidaklah mengapa menyirami makam dengan air, dan itulah pendapat Abu Hanifah.”
Adapun mengenai larangan mengapur (mengecat) makam karena termasuk menghiasi makam seperti yang dipahami oleh para ulama terdahulu (lihat hadits di atas). Bila menata kuburan tersebut bermaksud untuk menjaga makam dengan meninggikan sekadar yang diperbolehkan syariat – sehingga tidak mudah rusak karena hujan pun agar diketahui oleh orang sehingga tidak diinjak-injak— maka yang demikian tak diragukan lagi kebolehannya. Namun, jika tujuan menata makam itu untuk hiasan maka yang demikian tidak diperbolehkan dikarenakan merupakan amalan yang mengada-adakan.
Mengenai menuliskan sesuatu di makam, dimakruhkan kecuali jika dikarenakan luasnya kuburan atau banyaknya bebatuan di sekitar kuburan. Dimana dalam kondisi demikian dapatlah diterima untuk membuat tulisan nama di atas makam, sekedar mengenalinya. Dengan berdasarkan pada qiyas (analogi) terhadap amalan Nabi saw yang meletakkan batu di makam Utsman bin MazhÂ’un.
Mengenai mendirikan bangunan di atas kuburan ada di dalam periwayatan Abu Ya’la, redaksinya seperti berikut, “Nabi saw melarang membangun di atas makam atau duduk-dukuk di atasnya, atau shalat menghadap ke arahnya.” (Al-Haitsami di dalam Majma’uz Zawa’id mengatakan, ‘seluruh perawinya sahih’).
Abu Hiyaj al-Asadi, berkata. “ali bin Abi Thalib mengatakan kepadaku, ‘maukah kamu kuutus sebagaimana Rasulullah saw mengutusku?’ Janganlah engkau biarkan patung (dalam riwayat lain: gambar-gambar) ( didalam rumah) kecuali engkau musnahkan dan tidak pula kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dengan tanah.” (HR Muslim, Abi Daud, an-Nasa’I, at-Tirmidzi, al-Hakim, ath-Thayalusi, Ahmad dan ath-Thabrani.
Dengan demikian, yang diajarkan oleh Islam tentang kuburan, adalah meninggikannya sekitar satu jengkal dan meletakkan batu nisan sebagai tanda bahwa di tempat itu ada kuburan, hingga tidak terjadi penghinaan kepada kuburan seperti diinjak, diduduki, dijadikan tempat untuk membuang kotoran dan sebagainya. Adapun menembok dan mendirikan bangunan di atasnya adalah hal yang dilarang. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menyemen kubur, duduk di atasnya dan membangunnya." (HR. Muslim)
2. Perihal menebar bunga di atas makam.
Tidak disyariatkan menempatkan pohon apapun, termasuk menaburkan bunga di atas makam, karena atidak pernah dilakukan oleh para salaf yang demikian merupakan kebaikan, pastilah mereka akan mendahului kita dalam mengajarkannya dan akan sampai beritanya kepada kita.
Ibnu Umar ra mengatakan: “Setiap yang diada-adakan adalah sesat, sekalipun kebanyakan orang menganggapnya baik.” (HR Ibnu Baththah, al-Lakai dan al-Harawi).
Adapun menabur bunga adalah adat kebiasaan umat Nasrani. Misalnya, kebiasaan mereka menaburkan bunga di atas makam, saling mengirim karangan bunga saat terjadi kematian. Hal ini bahkan menjadi kebiasaan para penguasa bila mengunjungi negara lain khususnya Eropa. Semua itu merupakan amalan bidÂ’ah yang munkar, tak ada sumber panutannya dalam syariat dan tidak diajarkan lewat Al Quran maupun Sunnah. Maka menjadi kewajiban kita untuk menghentikan atau minimal mengingkarinya (pendapat asy-Syekh Ahmad Syakir)
3. Perihal Penumpukkan makam.
Yang tidak diperbolehkan itu adalah mengubur bersama mayat muslim dengan mayat orang kafir. Hendaknya mayat muslim dikubur di pemakaman muslim secara terpisah dari kuburan orang kafir. Demikianlah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw sejak zaman beliau saw hingga berlanjut masa kita sekarang ini.
Sebagai dalil atas hal ini adalah hadits Basyir ibnul Khashashiah ra, ia berkata:
“Suatu ketika kami berjalan bersama Nabi saw (sambil bergandeng tangan) dan beliau bersabda, “Wahai putra Khashashiah, janganlah engkau menjadi orang yang mengeluh terhadap Allah. Engkau telah berjalan bersama Rasulullah saw.” (Beliau SAW mengatakan hal ini pada Basyir dikarenakan Basyir memperlihatkan rasa kegelisahannya sebab ia merasakan jauh tempat tinggalnya dari kaumnya. Aku mengira ia bersabd. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, kukorbankan ayah dan ibuku dan aku tidaklah menjadi orang yang mengeluh terhadap Allah barang sedikitpun. Semua yang dianugerahkan-Nya kepadaku adalah baik.”
Beliau saw kemudian mendatangi kuburan orang-orang musyrik seraya berkata, “Sesungguhnya mereka telah mendahului dengan kebaikan yang banyak”
Kemudian beliau SAW mendatangi kuburan orang-orang mukmin seraya bersabda, “Sesungguhnya mereka akan memperoleh kebaikan yang banyak sekali.” Seraya menuturkannya tiga kali. Saat Rasulullah saw berjalan bersamaku, pandangannya terbentur pada seorang yang sedang berjalan dipekuburan dengan memakai sandalnya, kemudian beliau menegurnya, “Wahai pemakai sandal, celakalah engkau! Tanggalkan kedua sandalmu.” Orang itu kemudian menoleh dan ketika diketahuinya bahwa yang menegur adalah Rasulullah saw, segera saja ia tanggalkan kedua sandalnya.”(HR Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, al-Hakim, al-Baihaqi, ath-Thayulisi dan Ahmad. Al Haitsami di dalam al-Majma’nya (III/60) mengatakan, perawinya akurat). Demikian Ibnu Hazm dengan menyandarkannya pada hadits tersebut melarang mengubur mayat muslim bersamaan dengan mayat musyrik.
Mengenai hal penumpukan mayat ini ada sejumlah hadits yang menceritakan tentang perihal penumpukan mayat tersebut, seperti berikut:
Jabir bin Abdillah ra berkata, “Adalah Nabi saw, dahulu pernah membarengkan dua mayat (dan juga tiga) dalam penguburan para korban perang Uhud dan membungkusnya dengan satu kain kafan sambil bersabda, “Yang manakah di antara mereka yang paling banyak penguasaannya akan Al Quran?” Ketika diisyaratkan kepada beliau salah satunya, maka beliau pun mendahulukannya untuk dimasukkan ke dalam liang lahat (sebelum yang lain). Lebih jauh beliau saw bersabda, “Aku akan memberi kesaksian kepada mereka kelak di hari kiamat.” Kemudian beliau saw memerintahkan untuk mengubur mereka dengan bercak darah yang masih membekas, tanpa memandikan dan menshalatkan mereka.” (Jabir berkata, “Beliau kemudian menguburkan ayah dan pamanku kala itu dalam satu liang lahat.”) (HR Bukhari, an-Nasa’I, at-tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnul Jarud, al-Baihaqi dan Ahmad).
Dari Abu Qatadah ra dikisahkan bahwa ia termasuk yang hadir pada peristiwa Perang Uhud. Ia berkata, “Telah datang Amr Ibnul Jumuh menghadap Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasul, beritahukanlah kepadaku, apakah bila aku mati di jalan Allah, saya akan berjalan dengan kaki yang sehat kelak di dalam surga?” Dan adalah ia seorang yang mempunyai kaki pincang. Rasul menjawab, ‘Benar’. Amr bin al-Jumuh terbunuh dalam Perang Uhud bersama seorang kemenakannya serta seorang budak milik keluarganya. Ketika Rasulullah saw melewati jenazahnya, beliau saw bersabda, ‘Seolah aku tengah melihat engkau berjalan dengan kaki yang sehat di surga.’ Beliau kemudian memerintahkan untuk mengubur ketiganya seraya menjadikan mereka dalam satu liang lahat.” (HR Ahmad).
Hisyam bin Amir ra berkata, “Seusai perang Uhud dan banyak yang gugur dari kaum muslimin dan sebagiannya terluka, (maka kami berkata kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, untuk menggali lubang bagi setiap korban tentu sangat berat) (lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?’) Beliau bersabda, ‘Galilah, lebarkanlan, perdalamlah dan baguskanlah kuburnya untuk dua atau tiga mayat dalamsatu liang lahat, dan dahulukan yang paling banyak menguasai Al-Quran.’ (Dan adalah ayahku satu di antara tiga dari mereka yang paling banyak menguasai Al Quran, maka dia pun didahulukan.”) (HR Abu Daud, an-Nasa’I, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, Ahmad serta Ibnu Majah secara ringkas).
Tapi, ini tentunya kekhususan bagi mereka yang mati syahid fisabillah.
Bagaimana dengan mayat yang mati selain syahid? Sebenarnya secara hukum tidak boleh menggabungkan mayat kecuali jika mereka meninggal karena syahid fisabilillah. Hanya saja melihat keadaan seperti sekarang, dimana semakin berkurangnya tanah pekuburan karena lahan perkotaan yang makin terdesak oleh perumahan dan perkantoran; atau karena banyaknya jumlah penduduk yang meninggal tiap tahun sementara luas tanah yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu sangatlah terbatas, maka ada ijtihad yang dilakukan oleh para ulama untuk membolehkan hal tersebut (karena situasi keterpaksaan). Dalam hal ini para ulama berpendapat kalau tempat tersebut sudah penuh dan tidak memungkinkan untuk mengubur yang lain maka boleh saja mengubur yang lain di tempat tersebut dengan syarat tanpa merusak mayat yang ada di dalam kubur tersebut. Yaitu dengan cara memisahkan mayat yang satu dengan tanah walau dengan tipis (biasanya di Jakarta dipisahkan dengan papan dan sedikit tanah). Kalau melihat situasi ini, bisa dikatakan kemungkinan yang di maksud bukan menggabungkan mayat di dalam penguburan tetapi pekuburan yang sudah penuh kemudian di gali kembali untuk menguburkan mayat yang lain.
Sebagaimana juga pemakamam di Baqi' Madinah atau Mu`aisim di Mekkah. Pekuburan disana berupa sebuah ruang besar yang berpintu di atasnya, dimana petugas pemakaman mengumpulkan tulang-tulang mayat yg sudah hancur di tempat yang khusus atau mengenyampingkannya sehingga mayat baru bisa diletakkan di atasnya/di sampingnya dengan berbataskan sedikit tanah/penyekat/pasir. Adapun mayat-mayat yang masih utuh di tetap di biarkan (tidak diganggu tapi tetap diberikan penyekat berupa tanah/pasir, kemudian makam tersebut di gunakan kembali untuk menguburkan mayat yang baru. Setelah itu pintu makam ditutup kembali. Ini di lakukan karena kurangnya lahan dan sudah begitu banyaknya mayat yang ada di sana.
Jadi secara hukum tidak boleh menggabung mayat dalam satu pekuburan, tapi jika memang tidak bisa dihindari lagi maka hal itu di lakukan harus dengan pemisahan antara mayat satu dengan mayat lain dengan tanah/pasir, walau hanya sedikit jika mereka dalam satu lobang kubur.
Demikian semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
Sumber: M. Nashiruddin Al-Albani, “Tuntunan lengkap Mengurus Jenazah”, penerbit: Gema Insani Press.
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, “Fikih Wanita, edisi lengkap”, penerbit: Pustaka Al Kautsar.
Nasyrah, "As-Sunnah fi ziyaratil qubur wa at-tahdzir min bida'il maqabir", diterbitkan oleh Kantor Kerjasama Dakwah, bimbingan dan Penyuluhan Imigran, Sulthanah Arab Saudi. Telah diperiksa oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin)
Nara sumber lain: Ruspandi Kurni, Mahasiswa program S3 di Mesir. [ 0 komentar]
|
|