|
Bekerja Pada Non Muslim Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
Mbak ade saya mau tanya nih.
Teman saya kerja di Distributor komputer sebagai teknisi, pertengahan mei kemarin pindah ke kantor baru. Dan di kantor baru itu di ruang kerjanya di pasang salib. Akhir-akhir ini dia agak nggak sreg kerja disana kalau lihat itu. Memang pemiliknya orang cina. Yang ditanyakan hukumnya apa seorang muslim kerja di nonmuslim. Kadang-kadang teman saya usul untuk diberi mushola khusus, tapi hanya dikasih tempat seadanya. Yang membuat sholat tidak bisa khusu'. Biasanya teman saya pergi ke mesjid terdekat, eh.. malah ditegur dengan alasan mengolor jam kerja (istirahat 1 jam bisa sampai 2 jam katanya).
Sebaiknya gimana yah mbak apakah harus keluar dari kantor itu, berhubung teman saya sudah harus memenuhi kebutuhan anak & istri dan cari kerjaan sekarang agak sulit. Ingin wiraswasta masih ngak tahu apa. Tolong deh mbak.
Jazakumullah.
Wassalam
Ana
Jawab:
Persoalan yang ukhti tanyakan ini masuk dalam bidang muÂ’aamalah. Agama Islam tidak ada memberi batasan-batasan yang tertentu, Islam hanya melarang dalam kejadian-kejadian yang tetap, yang bisa menimbulkan hal-hal yang tidak baik, seperti menipu, memberatkan orang, memaksa dan menyusahkan orang serta hal-hal yang bisa menyebabkan keluarnya seseorang dari agamanya (hal-hal yang termasuk melakukan dosa-dosa besar) atau yang menyebabkannya mengalami kerugian dalam beragama dan ketidak berhasilan dalam kehidupan dunia sekaligus.
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu sebagai kawanmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yagn zhalim.” (Al- Mumtahanah:9)
Hal ini diperkuat dengan hadits:
Rasulullah saw bersabda;
“Perangilah orang-orang kafir dengan tanganmu, hartamu dan lisanmu.” (Al-Hadits)
Tapi ada kekecualian, yaitu jika mereka mau berdamai dan tidak memerangi Islam. Tidak apa-apa hukumnya kita melakukan kegiatan mu’aamalah dengan mereka selama kegiatan itu masuk kategori menghasilkan sesuatu yang “halal” dan tidak menyebabkan kerugian dalam beragama.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Rasulullah saw bersabda:
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan keduniaan kamu.” (HR Muslim). Artinya, di bidang mu’aamalah, akar segala sesuatunya itu jika tidak terlarang adalah boleh.
Dulu, Nabi juga biasa melakukan muaamallah atau jual beli dengan orang-orang kafir, sepanjang mereka tidak memusuhi beliau dan Islam. Menurut riwayat, Rasul kita, Muhammad saw, pernah melakukan transaksi di bidang perdagangan dengan orang kafir (Yahudi):
“Dari Aisyah, bahwa Nabi saw pernah beli makanan dari seorang Yahudi buat dibayar di satu waktu, dengan menggadaikan baju besinya kepadanya. “ (HR Bukhari)
Selain dari itu, kalau kita perhatikan tarikh, dapatlah kita katakan bahwa majunya ummat Islam pada masa hidup Nabi saw sebagiannya ialah lantaran mau berhubungan dagang dengan orang-orang yang tidak seagama.
Nah, sekarang, apakah si boss masuk kategori mereka yang memusuhi atau memerangi Islam atau tidak, tentunya temanmu yang bisa merasakannya (hanya saja, dari apa yang sekilas kamu ceritakan, tampaknya ada beberapa toleransi yang sudah diusahakan oleh si Bos, seperti menyediakan tempat untuk shalat meski hanya terbatas, dan memberikan kesempatan untuk mengerjakan kewajiban shalat lima waktu).
Lalu bagaimana dengan shalat di tempat orang kafir (yang notabene ada tanda salib di ruang kerja tersebut)?
Dari Jabir ra, bahwa nabi Muhammad saw bersabda:
“Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku –beliau lalu menyebutkan satu persatu – dan di antaranya bersabda: “Dan bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat untuk bersujud) dan sebagai alat untuk bersuci. Oleh karena itu siapa saja dari umatku yag kedatangan waktu shalat maka hendaklah ia melakukan shalat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itu, seluruh permukaan bumi ini dianggap sebagai masjid (tempat bersujud dan shalat) bagi orang muslim, meskipun yang lebih utama agar ia menjauhi tempat seperti gereja karena dikhawatirkan timbul syubhat (kesamaran) bagi umat (juga tempat-tempat lain yang memang terlarang (haram) untuk shalat seperti kuburan, kamar mandi/wc, dll). Akan tetapi, jika ia tidak menjumpai tempat selain gereja –hingga melakukan shalat di dalamnya— maka seluruh bumi adalah milik Allah dan seluruh permukaan bumi adalah tempat bersujud bagi kaum muslimin.
Umar r.a hampir saja melakukan shalatdi gereja Al Qiyamah ketika dikatakan kepadanya, “Shalatlah”. Namun kemudian ia berkata, “Tidak. Saya tidak mau shalat di sini agar kaum muslimin sesudahku nanti tidak mengatakan, “Umar dulu pernah shalat di sini, dan mereka menjadikan sebagian dari gereja ini sebagai masjid bagi kaum muslimin.” Jadi, yang menghalangi Umar melakukan shalat di gereja tersebut adalah kekhawatirannya, bukan karena gerejanya. Wallahu’alam.
Dengan begitu, jika di tempat kerja tersebut ada digantungkan tanda salib, tapi untuk kaum muslimin sendiri disediakan tempat khusus untuk shalat (meski terbatas tapi memang khusus diberikan untuk kaum muslim) bisa shalat di sana, atau di sebelah meja kerja (dengan menyingkirkan kursi kerja sejenak), atau dimana saja (kecuali kuburan dan kamar mandi). Hanya saja, mungkin perlu menyiasati pengaturan waktu yang disediakan, manfaatkan dengan maksimal untuk ishoma (istirahat, shalat, makan) dan bukan kegiatan tak berguna lain sehingga kita sebagai umat Muslim dipercaya orang sebagai umat yang menghargai waktu dan disiplin. Mulailah berhitung, jarak tempuh yang terpakai untuk melakukan kegiatan ishoma, waktu yang tersedia dan keperluan yang ingin dilakukan serta yang tak kalah pentingnya disiplin diri.
Mengenai tempat shalat yang terasa tidak memadai, sedikit demi sedikit secara bahu membahu dengan sesama muslimin setempat, buatlah tempat yang sudah tersedia yang tidak layak itu menjadi layak (misalnya dengan memberinya karpet bersih, kipas angin, peralatan shalat yang bersih, dll). Di Indonesia, memang sering ditemui pihak pengelola gedung/pemilik gedung yang menyediakan lahan sangat terbatas bagi kaum muslim untuk melakukan shalat lima waktunya, tapi tidak sedikit tempat terbatas dan seadanya itu berkembang menjadi mushalla yang memadai dan layak karena swadaya pengguna dan pemakai ruangan tersebut, yang tak lain adalah kaum muslimin yang melakukan shalat di dalamnya.
Ingat, tak henti-hentinya saya mengingatkan diri saya dan teman-teman sekalian, bahwa kita sebagai orang Islam mempunyai tugas sebagai duta Islam (mereka yang mengemban nama besar Islam dan bertugas untuk menegakkan panji Islam di atas muka bumi).
“Dan tidak dapat disamakan kebaikan dengan kejahatan, tolaklah kejahatan itu dengan cara yang baik, tiba-tiba orang yang antaramu dengan dia bermusuhan berubah menjadi kawan yang akrab.”(Qs 41:34).
Semoga bermanfaat
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita [ 0 komentar]
|
|