|
Suami yang Perfeksionis dan Pemarah Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
AssalamuÂ’alaikum wr wb
Saya adalah seorang ibu bekerja (22 th) bayi kami berusia 4,5 bln. Umur perkawinan kami baru 1 th. Niat awal kami menikah adl u/mencari ridho Allah dan ingin sama2 memperbaiki diri, bukankah berdua lebih baik dari pada sendiri? Selain itu kami juga ingin menghindarkan diri dari tren orang2 muda sekarang yaitu pacaran.
Setelah menikah saya baru tau ternyata suami saya itu pemarah, judes, dan perfeksionis (semoga saya diampuni Allah krn mengungkapkan kekurangan suami). Dia selalu ingin segala sesuatunya dikerjakan dengan cepat dan tepat kalau tidak maka saya kena marah. Sedangkan saya sendiri baru belajar jadi seorang istri dan setiap hari saya juga harus bekerja kantoran dari pagi sampai sore. Saya cukup syok menghadapi hal tsb, karena dulu yg saya tau suami saya itu ramah dan lucu suka bercanda. Baru mulai beradapatasi sudah diperlakukan seperti itu akhirnya saya stress sendiri dan kadang2 merasa benci dan ingin meninggalkan suami saya (semoga Allah mengampuni saya). Hampir setiap hari saya dimarahi suami karena pekerjaan rumah tangga saya yg tidak sesuai dengan keinginannya dan lebih parah lagi sekarang saya jadi pelupa berat. Tambah lah suami saya sering kesal.
Mungkin hal ini terjadi krn kami masih sama2 muda dan belum dewasa sepenuhnya. Selain itu ekonomi kami pun belum mapan betul sehingga hal tersebut sering memicu kemarahan suami juga. Saya ingin sekali memperbaiki hubungan kami tapi tidak tau harus mulai dari mana, untuk memperbaiki diri pun sulit sekali terlebih lagi dalam keadaan tertekan seperti ini. Untuk itu saya minta tolong kepada mbak ade juga kepada akhwatifillah untuk memberikan saran kepada saya. Syukron katsir atas pernatiannya.
WassalamuÂ’alaikum wr wb
Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pernah mendengar ucapan selamat yang diberikan oleh para tamu pada kedua mempelai yang dahulu cukup populer? Begini bunyinya (salah satunya):
“Selamat Menempuh Hidup Baru… Semoga Biduk Perkawinan kalian selamat mengarungi samudra rumah tangga”
Mengapa pernikahan diumpamakan sebagai sebuah biduk? Dan sebuah kehidupan rumah tangga diumpamakan sebagai sebuah samudra?
Jika mau merenungi, samudra itu adalah tampungan air yang sangat banyak, dan begitu dalam. Karena begitu dalam, kita sulit untuk memperkirakan ada apa di bawahnya. Bisa jadi ada ribuan batu karang yang tajam menghujam tapi bisa jadi hamparan pasir lembut yang ramah. Bisa jadi berenang di bawahnya ribuan ikan hias yang sedap dipandang, tapi bisa jadi sekumpulan ikan buas seperti hiu dan ikan carnivora lain. Siapa nyana bahwa rumput laut yang bisa diambil untuk dijadikan bahan makanan yang berguna bagi manusia, di suatu tempat ternyata mampu menenggelamkan sebuah kapal besar? Itu baru di bawahnya, lalu di atas biduk, bisa ditemui badai dan topan yang ganas yang membuat biduk terombang-ambing bahkan bisa jadi karam. Tapi bisa juga yang datang hanyalah semilir angin sepoi-sepoi yang mampu menidurkan tubuh yang penat agar bugar kembali dan hati yang suram menjadi cerah kembali. Mungkin biduk akan menemui hujan dan petir yang menakutkan tapi bisa juga bertemu matahari yang cerah menyenangkan.
Itulah perumpamaan yang dibuat orang untuk menyebut sebuah perkawinan dan alur rumah tangga. Marilah kita semua berdoa agar perkawinan kita, rumah tangga kita adalah rumah tangga yang diridhai Allah SWT, rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Aamiin.
Sesungguhnya, keberhasilan rumah tangga itu meliputi usaha bukan hanya satu orang saja tapi juga beberapa orang. Suami-istri, orang tua-anak dan khusus untuk budaya di Indonesia, termasuk juga usaha keluarga inti yang bersangkutan (istri, suami, anak) dan keluarga besar (mertua, besan, ipar, keponakan, sepupu, dll yang ikut mempengaruhi dalam keseharian rumah tangga tersebut) dan juga, peranan khadimat (pembantu rumah tangga). Semua sosok tersebut di atas, bisa menjadi potensi untuk mendukung keberhasilan sebuah rumah tangga (dan sekaligus sebaliknya, bisa menyebabkan kehancuran sebuah rumah tangga).
Ukhti, problema yang ukhti alami itu, hanyalah salah sebuah riak kecil yang ukhti temui dalam pelayaran biduk perkawinan, apalagi niat dari awal kalian untuk menikah sungguh mulia, yaitu mencari keridhaan Allah SWT. Maklum saja, kalian berdua berasal dari dua pribadi yang memiliki perbedaan latar belakang keluarga, pola asuh, sosial, budaya dan perbedaan lainnya. Tapi semua perbedaan itu bukanlah kendala untuk memulai sebuah interaksi yang baik dan berarti. Kembali pada niat awal kalian menikah, kalian menikah adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT.
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan saja jika ia telah mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka belum diuji. Demi sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka sehingga terbukti bagi Allah orang-orang yang sungguh-sungguh dalam imannya dan terbukti juga orang yang berdusta.” (QS Al-Ankabut (29): 2-3)
Sebagai seorang muslim, kita haruslah sabar menghadapi sebuah ujian yang diberikan oleh Allah, tapi hendaknya kesabaran itu tidak menjadikan kita lalu pasrah menerima nasib, tiada daya dan kehendak untuk berusaha agar menjadi lebih baik. Sabar itu tidak sama dengan pasrah. Sungguh jauh berbeda.
Sekarang mari bersama kita menilik problema yang ukhti sedang hadapi. Kalian pasangan muda, masih tergolong baru penyesuaian (dengan usia perkawinan yang baru satu tahun tanpa melalui pacaran {subhanallah wa alhamdulillah}), dikaruniai seorang bayi (4 !/2 bulan), ekonomi baru menggeliat, dan sama-sama bekerja di luar rumah.
Ingin saya katakan, bahwa idealnya, untuk seorang bayi (baca= anak) yang masih balita (bawah lima tahun), seorang ibu itu hendaknya berada di sisi sang anak. Mengapa, karena pada usia dini seperti ini, kehadiran ibu sangatlah dibutuhkan oleh seorang anak dimana pada usia ini terjadi proses imitasi (meniru figur yang ingin diteladani/dicontoh baik berdasarkan gender, maupun untuk orientasi masa depan si anak), proses sosialisasi nilai-nilai pertama yang berlaku di masyarakat (anak mulai belajar tentang adat istiadat, perilaku, tata bahasa, sopan santun dan tata krama sehari-hari), serta proses pemahaman akan sesuatu yang abstrak (Tuhan, Agama, kejahatan dan kebajikan, kebaikan dan keburukan, serta konsep diri sendiri dan lingkungan). Itu sebabnya, saya pribadi lebih setuju jika pada usia dini (sebelum tiga tahun, meski idealnya adalah lima tahun) seorang ibu itu tempatnya adalah disisi si anak di dalam rumah, ketimbang berada di luar rumah. Tapi, saya mengerti bahwa ada kondisi yang terkadang mesti diatasi dalam hal ini, yang salah satunya adalah masalah ekonomi. Seorang ibu yang juga seorang istri, terkadang dituntut oleh keadaan untuk ikut berpartisipasi dalam pemenuhan ekonomi keluarga (lain ceritanya jika sang suami sudah cukup memenuhi semua kebutuhan keluarganya seorang diri hingga keluarga tidak begitu memerlukan pendapatan ganda dari pasangan suami istri (pasutri)). Dari cerita ukhti, tampaknya keterlibatan ukhti bekerja di luar rumah adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga yang kurang dapat dipenuhi jika suami saja yang bekerja. Itu artinya, pengasuhan dan merawat si kecil (anak) berada di tangan orang lain, begitu juga dengan beberapa urusan rumah (baca= beberapa pekerjaan rumah tangga) sehari-hari. Begitu juga dengan pekerjaan rumah sehari-hari seperti membersihkan rumah, mengatur dan mengelola kegiatan urusan kerumah-tanggaan.
Sayangnya, ukhti tidak menceritakan siapa-siapa saja yang terlibat dalam pendelegasian tugas-tugas tersebut di atas. Apakah pembantu ataukah saudara yang ikut menumpang di rumah ukhti, ataukah ibu/mertua? Siapapun mereka, tampaknya ukhti harus memulai sebuah kerja sama yang sangat kompak dengan mereka semua sebagai usaha untuk mengimbangi sifat suami perfeksionis (sifat pemarah dan judes yang juga dimiliki oleh suami saya pikir muncul karena hal-hal yang dia harapkan terjadi sebagai seorang perfeksionis kurang dapat ukhti penuhi sehingga tanpa dia sadari dia menjadi kesal dan akhirnya terlihat pemarah dan judes). Artinya, mulai sekarang, ukhti dan mereka-mereka yang terlibat dalam pendelegasian tugas rumah tangga sehari-hari harus mulai membuat jadwal segala sesuatu yang harus dikerjakan dan segala sesuatu yang tidak boleh terjadi (bahasa kerennya, “Things to do and not to do”).
Ambil kertas, lalu mulai buat jadwal kegiatan sehari-hari, terutama sesuatu yang paling sering diperhatikan oleh suami. Misalnya:
Jadwal si kecil:
Pk. 07.00 Mandi
Pk. 08.00 Sarapan bubur susu
Pk. 09.00 Tidur pagi
Pk. 10.00 Minum Susu (jangan lupa beri air putih satu sendok makan sesudahnya dan buat si kecil sendawa dahulu sebelum menidurkan dia kembali).
Pk. 12.00 Makan pisang ambon
d.s.t
Catatan:
Pk. 16.00 atau sebelum bapak pulang, si kecil sudah dalam keadaan bersih dan wangi.
Bekas ompol si kecil tidak boleh teronggok di kamar tidur.
Bersihkan bekas pipis si kecil segera agar bau pesingnya tidak mengendap atau menyebar.
|
Yang harus dikerjakan hari ini:
Membereskan kamar tidur
Membersihkan halaman/garasi
Menyiram tanaman
Memandikan hewan peliharaan dan memberi mereka makan (jika ada)
Membersihkan perabotan rumah
Menyapu dan mengepel lantai
Mencuci dan menyetrika pakaian
Membersihkan lantai kamar mandi dan klosetnya
Masak
Catatan:
Sebelum pk 16.00 atau sebelum bapak pulang, rumah sudah dalam keadaan rapih.
Pakaian kerja bapak harus digantung tersendiri dan tidak disatukan dengan pakaian ibu & yang lainnya.
Meja tulis bapak, dibersihkan dari debu tapi tidak boleh dipindah-pindahkan segala sesuatu yang berada di atasnya tanpa izin dari bapak.
Cuci gelas dahulu baru cuci piring dan panci.
|
Nah. Itu contoh jadwal yang tampaknya harus ukhti buat lalu ukhti sosialisasikan pada mereka-mereka yang terlibat dalam pendelegasian membantu tugas-tugas kerumah tanggaan sehari-hari. Ukti beri mereka contoh apa yang harus mereka kerjakan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh suami ukhti. Misalnya, cara menggulung kaus kaki suami itu, ujung tempat jari kaki letaknya disebelah dalam gulungan. Atau taruh pakaian kerja yang sudah disetrika letaknya berjauhan dengan lap dan taplak meja yang sudah disetrika, meski mereka berdua sama-sama dalam keadaan bersih (karena biasanya pakaian kerja sudah diseprot dengan cairan setrika yang wangi sedangkan taplak dan seprai tidak memakai cairan pewangi, misalnya) atau cuci bekas ompol si kecil dengan percikan air sebanyak tiga kali lalu keringkan dengan lap kering. Atau jika memasak toge maka ujung ekornya harus dibuang; dll. Ukhti tentu sudah mulai hapal apa yang diinginkan oleh suami ukhti dan apa kebiasaan-kebiasaan beliau. Jika belum hapal, mulailah perhatikan kebiasaan-kebiasaan beliau yang sering dilakukan dimana jika kebiasaan itu tidak terjadi bisa memicu kemarahannya. Biasanya hal-hal kecil dan sepele seperti cara melipat pakaian, cara meletakkan suatu barang tertentu, cara menghidangkan makanan, dll.
Langkah terakhir, dari tempat ukhti bekerja teleponlah rumah untuk mengecek apakah segala sesuatu yang sudah ukhti atur tersebut berjalan dengan baik. Ingatkan mereka yang berada di rumah untuk mengerjakannya dengan bahasa yang ramah (hehehe, kalau ukhti bertanya seperti “ibu guru” nanti gantian mereka yang stress dan menganggap ukhtilah yang sekarang berubah jadi perfeksionis dan pemarah… J) dan usahakan untuk pulang kantor lebih dahulu dari suami agar punya sedikit waktu untuk mengecek apakah segala sesuatunya berjalan dengan baik dan ukhti sendiri punya waktu untuk mempersiapkan diri menyambut suami.
Jika semua urusan rumah tangga sehari-hari sudah dikelola dengan baik, insya Allah keadaan sudah bisa lebih tenang. Jika keadaan sudah berangsur-angsur tenang, mulailah untuk menjalin komunikasi dengan suami. Ajak dia bercanda seperti dulu sebelum menikah, berusaha untuk “nyambung” dengan apa yang dibicarakan oleh suami, dan tampillah sebagai seorang sahabat dan istri yang baik. Sesungguhnya, suami dan anak itu adalah amanah Allah yang dipercayakan pada kita, maka jika kita bisa mengemban amanah tersebut dengan baik, insya Allah pahala dari Allahlah yang akan kita raih.
Ini ada sebuah hadits beserta Asbabul Wurudnya yang saya coba nukilkan disini yang bagus untuk disimak oleh para istri dan semoga memberi semangat bagi kita semua (aamiin):
“Bahwa seorang laki-laki telah berkata: “Wahai Rasulullah, istri jika saya datang kepadanya, dia berkata: “Wahai suamiku, panutanku dan panutan keluargaku, selamat datang.”. Dan jika ia melihatku tengah bersedih, iapun berkata: “Apa yang menyedihkanmu di antara kehidupan dunia ini tidakkah merasa cukup dengan kehidupan akhirat kelak?”.
Rasulullah bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa dia “pekerja wanita” dari Allah dan baginya pahala separuh pahala orang yang berjuang (mujahid).” (HR Al Kharaithi dalam “Makarimul Akhlaq” dari Dzafir bin Sulaiman dari Abdullah Al Wadhahi).
Semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita [ 0 komentar]
|
|