[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Prita dan Balon Pinknya
Jurnal Muslimah - Wednesday, 03 March 2004

“Prita terbujur kaku di atas tempat tidur, bu.” Suara keponakanku yang melengking mengagetkanku. Dengan langkah kecil setengah berlari dan sekaligus setengah berjingkat, aku mengikuti keponakanku yang baru berusia tujuh tahun itu yang telah berlari mendahuluiku menuju ke kamar untuk menunjukkan akting Prita yang memperagakan orang meninggal dunia.

Benar saja. Di atas tempat tidur, anakku yang baru berusia empat tahun itu tampak tidur telentang dengan tangan bersedekap di atas dada, kaku. Wajahnya ditutupi dengan selembar tabloid. Ketika tabloid itu aku angkat tampak matanya terpejam sangat lekat. Irama napasnya pun diatur sedemikian rupa sehingga tampak seperti tertahan. Bahkan aku lihat kedua tungkai kakinya menghadap ke atas, tidak terjatuh ke samping seperti layaknya orang tidur. Subhanallah. Akting Prita untuk memperagakan orang meninggal dunia kali ini sangat luar biasa.

Kukecup kening gadis mungilku ini dengan penuh sayang. Mata Prita yang semula terpejam rapat terbuka dengan binar-binar keceriaan menari di dalamnya. Senyumnya terkembang penuh kepuasan. Wajah kami sangat dekat satu sama lain.

“Sedang apa sayang?” Kuelus rambutnya yang tipis kecoklatan.

“Lagi jadi orang meninggal.” Prita menjawab dengan ringan, tanpa rasa bersalah. Padahal seandainya dia bisa melihat apa yang terjadi dalam gejolak di dalam dadaku, tentu gadis kecilku ini akan terdiam dan menyesali ucapannya yang polos dan spontan itu. Bagaimana tidak meloncat jantungku mendengar ucapannya tapi aku mencoba untuk tetap tenang.

“Kok jadi orang meninggal sih?”

“Iyah…. Seperti enin, ibu. Enin kan sudah meninggal.” Kalimat bocahnya mengalir lancar dari mulutnya. Enin adalah sebutan untuk memanggil nenek. Yup. Ibuku baru saja meninggal dunia dua hari yang lalu. Kenangan itu tentu saja masih membekas sangat jelas di kepala Prita. Si kecilku ini ikut sibuk ketika musibah ini terjadi. Begitu banyak tamu yang datang hingga dia repot sendiri menyambut karena mendadak memperoleh begitu banyak teman bermain. Hanya saja, jika biasanya teman bermainnya didampingi orang tua yang tersenyum atau tertawa, kali ini para orang tua yang membawa anak-anak mereka banyak yang berwajah duka. Tapi semua kedukaan orang dewasa itu tidak mengurangi keceriaan masa kanak-kanak Prita dan teman-temannya. Bagi mereka kegiatan bermain bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Entah itu suasana pesta ataupun suasana berduka. Dari tempatku menerima tamu yang ingin mengucapkan rasa bela sungkawa, aku beberapa kali melihat Prita mendekati jenazah neneknya. Entah apa yang ada di pikirannya tapi aku acap kali menangkap dia sedang berdiri dengan wajah polos menatap neneknya secara seksama, sebentar lalu kembali berlari menemui teman-temannya. Mungkin dia mengira neneknya masih tertidur di tengah ruang tamu tanpa mempedulikan para tamu yang datang. Sama seperti jika neneknya dirawat di rumah sakit, meski banyak tamu yang datang si nenek tetap berbaring di tempat tidur.

Aku tak pernah mencari tahu apakah dia mengerti bahwa neneknya sudah pergi menghadap Ilahi. Hanya saja aku lihat beberapa orang memberi tahu Prita bahwa sang nenek sudah meninggal dunia. Aku lihat Prita hanya mengangguk setiap kali dia datang memeriksa sang nenek yang terbaring dan selalu ada orang di sekitar sang nenek yang memberi tahunya bahwa sang nenek sudah meninggal dengan wajah sedih. Wajah Prita sama sekali tak terpengaruh dengan kesedihan wajah orang-orang di sekelilingnya. Dia hanya tersenyum dan kembali berjalan hilir mudik dengan keasyikan tersendiri.

Kenyataan itu membuatku berpikir dan bertanya dalam hati. Sesungguhnya, apa yang Prita pahami dari sebuah kematian itu. Tapi kesibukan menerima para tamu yang ingin mengucapkan ikut berbela sungkawa membuatku lupa dengan pertanyaan itu hingga akhirnya aku lihat Prita sering sekali memperagakan akting orang meninggal. Dan subhanallah, aktingnya lumayan bagus.

00000


“Hei you…” Aku menyapa Prita yang sedang duduk menyisiri rambut boneka Pooh-nya. Prita hanya tersenyum lebar mendengar sapaanku.

“Hari ini kita ke rumah enin lagi bu?”

“Iya. Hari ini ada pengajian di sana, nanti Prita main saja yah di kamar tapi jangan lari-larian di tengah tamu.”

“Iyah… Iyah… Prita ngerti kok, Enin kan sudah meninggal.” Dengan gaya meniru jawaban orang dewasa, gadis mungilku ini terlihat kian menggemaskan. Kukecup pipinya yang kenyal dan membuatnya tertunduk sambil menahan tawa karena kegelian.

“Eh.. Prita. Prita tahu nggak meninggal itu apa?” Spontan kalimat bertanya itu keluar dari mulutku.

“Tahu.” Prita menjawab dengan lantang dengan ekspresi wajah yang masih menyisakan sebuah tawa karena sentuhan canda yang aku berikan sebelumnya.

“Apa?”

“Nggak tahu.” Loh. Kok jawabannya berubah-rubah gitu?

“Tadi katanya tahu.”

“Iyah, Prita tahu tapi nggak tahu.” Ah. Anak usia empat tahun. Aku tersenyum mendengar jawabannya.

“Meninggal itu, artinya kita akan berpisah dengan orang-orang yang kita kenal, orang yang kita sayangi. Kalau sudah meninggal, kita tidak akan bisa lagi bertemu dengan semua orang.” Kulirik Prita sejenak, melihat reaksinya. Tapi wajah polos itu masih asyik menatapku dan seakan menelan semua perkataanku dengan kepolosannya. Aku tak bisa menebak apakah dia mengerti ucapanku atau tidak.

“Ooo, karena Enin sudah di kubur di dalam tanah yah bu?” Prita bertanya untuk memperoleh keterangan. Rupanya kepala mungil ini mengerti apa yang aku terangkan padanya.

“Iyah. Semua orang yang sudah meninggal dikubur di dalam tanah. Prita kemarin lihat kan Enin di kubur, terus dulu Bude di Solo juga dikubur.”

“Iyah, Prita inget.” Gadis mungilku ini mengangguk kuat-kuat tapi ekspresi wajahnya masih memperlihatkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Demi melihat ekspresi itulah aku menunggu apa yang ingin Prita katakan. Sungguh, aku mengharapkan dia bertanya banyak padaku sehingga aku bisa meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam pergumulan pikiran bocahnya. Kepolosan wajah kanak-kanak sering kali menjebak orang dewasa untuk mengambil kesimpulan singkat bahwa kanak-kanak tidak mengerti peristiwa apa yang terjadi di sekitarnya. Dunia kanak-kanak sering dianggap sebagai dunia yang terpisah dengan dunia orang-orang di sekitarnya. Mungkin karena wajah polos yang semua anak-anak miliki dan keceriaan mereka yang rasanya tak pernah pudar dalam situasi dan kondisi apapun.

“Bu…Kenapa orang meninggal selalu pergi ke dalam tanah? Memangnya di dalam tanah ada apa bu?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan Prita. Bukan karena isi pertanyaannya tapi karena rasa bahagia bahwa pada akhirnya Prita memberiku kesempatan untuk menerangkan hal yang sangat abstrak ini padanya. Alhamdulillah. Kebahagiaan seorang ibu itu salah satunya adalah jika bisa menjadi tempat pertama untuk bertanya bagi anaknya. Kematian itu adalah rahasia Allah yang harus diyakini oleh manusia. Peristiwa gaib yang harus diyakini sebagai sebuah takdir dan pemahaman terhadap kematian menjadi bagian dari keimanan seseorang. Sesungguhnya, semua kita adalah calon-calon mati. Dengan hati-hati aku mencoba untuk menerangkan peristiwa tersebut dengan sangat sederhana padanya.

Wajah Prita berubah-ubah ekspresi mendengar penjelasanku. Walau sudah diusahakan untuk memilih penjelasan sederhana dengan harapan bisa dimengerti oleh bocah kecilku ini, aku tetap sulit untuk menebak apakah ucapanku bisa dicernanya. Aku hanya bisa berharap Prita mengerti paling tidak sebagian dari apa yang aku terangkan padanya.

“Dah.. Prita ngerti apa yang ibu jelaskan tadi?”

“Ngerti.” Prita mengangguk dengan penuh kemantapan dan memberiku sebuah kecupan di pipi dan keningku.

“Prita sayang sama ibu.” Bibir mungilnya berkata setelah memberiku kecupan dan dari kedua bola matanya aku melihat pancaran rasa sayangnya yang berlimpah tertuju hanya untukku. Alhamdulillah, aku pun menyayangi permata hatiku ini.

“Sama, ibu juga sayang sama Prita, sayang banget malah.” Prita tersenyum malu dan kembali ke posisi duduknya seperti semula. Sementara di luar rumah, kudengar suara tukang balon gas yang membunyikan suara terompet khasnya. Aku melonjak berdiri dan berdiri menatap Prita.

“Prita mau balon?”

“Mau.” Gadis mungilku langsung berdiri dan berlari mendahuluiku ke arah tukang balon gas. Aku tergopoh-gopoh menyamai langkahnya yang lincah. Ah, tubuhku kian hari kian gemuk sehingga membuat langkahku tak selincah dahulu lagi. Aku menyalahkan diriku setelah sampai di sisi tukang balon gas dengan napas tersengal-sengal.

“Prita mau yang warna pink bu, itu. Itu yang warna pink.” Tukang balon langsung meraih balon warna pink yang melayang di udara dan tertambat dengan seutas tali layangan tipis.

“Eh…. Jangan yang itu bang. Saya mau yang baru saja, biar lebih awet melayangnya. Tolong tiupkan yang baru bang dan anak saya mau yang warnanya sama dengan yang dipajang itu.” Prita tersenyum padaku dengan ekspresi wajah penuh rasa terima kasih. Segera setelah dia menerima balonnya dan aku memberi bayaran pada tukang balon, ucapan terima kasih keluar dari bibir mungilnya. Dan kembali dengan kaki lincahnya Prita berlari masuk ke dalam rumah mendahuluiku. Hmm, aku memang harus mulai diet agar tidak terlalu berat membawa tubuh besar ini.

00000


Berapa lama balon udara bisa melayang di udara? Lima jam, tujuh jam, sembilan, sepuluh atau dua belas jam? Rasanya aku harus sudah mulai mencari keterangan yang pasti mengenai hal itu. Karena saat ini rasanya aku sangat membutuhkan keterangan tersebut. Putri kesayanganku tidak ingin tidur karena ingin bersama balon barunya. Aku sudah katakan padanya bahwa udara yang berada di dalam balonnyalah yang membuat balon tersebut bisa melayang di udara. Tapi karena dinding balon yang tipis maka sedikit demi sedikit udara tersebut keluar dari dalam balon tersebut, dan membuat daya terbang sang balon kian berkurang. Pada saatnya, balon tersebut akan turun ke lantai, tidak mampu lagi terbang. Dan kini malam sudah semakin larut tapi permata hatiku ini masih setia menggenggam tali balon udaranya erat-erat.

“Kamu ingin melihat balonmu turun ke lantai karena kehabisan udara yang membuatnya bisa melayang yah?” Prita menggeleng.

“Prita tidak ingin balon ini turun ke bawah. Ini balon Prita.”

“Tapi sekarang sudah waktunya untuk tidur. Ayo tidur dulu, besok pagi insya Allah kamu bisa bertemu lagi dengan balon ini. Cuma, kamu jangan kecewa jika balon ini sudah tidak bisa lagi terbang.” Sebutir air mata mengintip dari bola mata gadis mungilku ini. Lalu butiran itu meluncur ke pipinya yang tembem dan putih kemerahan, membentuk sebuah sungai kecil yang berkelok-kelok di raut wajahnya yang sudah mulai setengah mengantuk. Dengan tangan yang tergenggam karena memegang tali balon, dengan cekatan Prita menghapus air matanya yang meloncat keluar itu.

“Tidak apa-apa sayang. Kan ibu sudah menerangkan padamu bahwa semuanya itu ada akhirnya. Yang bagus nanti juga bisa jadi jelek, yang terbang melayang akhirnya akan turun ke tanah juga.”

“Tapi aku ingin balonku tidak berubah….” Prita bergerak memelukku dan menyembunyikan wajah mungilnya yang bersedih dalam pelukanku. Isak tangisnya pecah disana, isak tangis kesedihan karena takut akan sebuah perpisahan. Tanpa terasa genggaman eratnya pada tali balon terlepas tapi tampaknya Prita tak lagi mempedulikannya. Dia hanay memelukku kian erat. Kuelus rambut halusnya dan mulai menggiringnya untuk berbaring di atas tempat tidur. Dia tidak ingin melepaskan pelukannya dan terus menyembunyikan wajahnya yang sedih di dalam pelukan.

“Besok kita main lagi dengan balon insya Allah. Mungkin balonnya sudah tidak bisa lagi terbang, tapi itu artinya kita bisa bermain dengan bentuk permainan yang baru. Dijadikan sepak bola, atau jadi badminton juga bisa. Iya kan?”

“Nggak mau, aku mau balonku tetap terbang.” Prita menggeleng kuat-kuat tapi tak ada lagi isak tangisnya. Setelah kupimpin dia untuk membaca doa menjelang tidurnya, tak lama kemudian Prita tertidur di atas pangkuanku.

Setelah Prita tertidur, aku pergi meninggalkan kamar dan menghampiri suamiku yang sedang menonton televisi. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal hingga malam semakin larut dan tiba-tiba aku melihat pemandangan yang menakjubkan itu. Balon Prita mulai turun perlahan-lahan dari ketinggiannya yang pongah. Tanpa daya dan sangat perlahan, balon tersebut jatuh perlahan-lahan ke arah bumi. Begitu menyentuh lantai, kembali dengan sisa udara yang masih dimilikinya, balon itu terdorong ke atas lagi tapi tak lama kembali turun. Rasanya seperti dipaksa untuk turun dari ketinggian dan sang balon berusaha untuk mempertahankan diri namun tiada lagi dayanya. Meski terpaksa balon itu terlihat terus berjuang dengan sisa kekuatan yang masih dimilikinya untuk tetap bertahan, hal mana membuat proses turunnya sang balon ke arah lantai sangat lambat tapi subhanallah sangat indah menakjubkan. Mengingatkanku akan kekuasaan Allah yang tiada tandingannya. Meski seberapa besar kekuatan yang kita miliki, pada akhirnya suka atau tidak suka, semuanya akan bertemu dengan simpul akhir.

Pada akhirnya, semuanya akan berakhir hanya Allahlah yang Maha Abadi. Seperti peristiwa kematian yang pasti akan menghampiri setiap insan di muka bumi, seperti peristiwa kematian yang baru saja menghampiri ibuku tercinta. Tanpa terasa ada segumpal kesedihan yang tiba-tiba muncul keluar dari dalam dadaku dan membuatku ingin menangis. Tanpa bisa ditahan lagi aku menangis dan segera menyembunyikan wajahku di pelukan suamiku dan menumpahkan tangisku di sana.

Oh, ibu; semoga Allah melapangkan alam kuburmu dan mensejahterakan engkau yang berada dalam kesendirianmu di sana. Aamiin.

00000


Bangun tidur Prita langsung mencari balonnya dan mendapati bahwa balon pinknya sudah tergolek di atas lantai tanpa daya. Tali layang-layang yang terikat di ujungnya tampak menjulur tiada lagi artinya. Wajah Prita tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Ditatapnya balon tersebut dengan wajah kecewa.

“Balonku sudah tidak bisa terbang lagi.” Suaranya menggumam. Diraihnya balon yang tampak tak berdaya itu ke dalam pelukannya.

“Eh, alhamdulillah nak Cuma tidak bisa terbang. Coba kalau pecah, wah, kamu tidak punya balon lagi kan.” Aku mencoba menghiburnya.

“Iyah yah.” Seulas senyuman hadir menggantikan wajah sedihnya. Subhanallah, bukan main pertahanan seorang kanak-kanak untuk mengusir kesedihan dan menghadirkan keceriaan di dalam hidupnya. Karunia Ilahi yang tiada tertandingi bagi mereka.

“Balon tidak bisa meninggal, jadi tidak usah dikubur. Tapi bisa pecah yah bu, Door.” Kalimat Prita meluncur ringan tapi terasa begitu dalam di telingaku. Alhamdulillah rupanya dia bisa mengerti gambaran abstrak yang aku terangkan padanya tentang kematian kemarin.

“Iyah, seperti lagu yah nak yah. Masih inget nggak Prita gimana lagunya?”

“Inget.” Lalu dari bibir mungilnya meluncur sebuah lagu kanak-kanak balonku ada lima.

“Balonku ada lima. Rupa-rupa warnanya. Hijau kuning kelabu, merah muda dan biru. Meletus balon hijau, DOORR. Hatiku sangat kacau. Balonku tinggal empat, kupegang erat-erat.” Prita menyelesaikan lagu yang dinyanyikannya dengan indah. Tangannya kini tampak memeluk balon pink yang sudah tak berdaya untuk terbang itu erat-erat. Yah, meski sudah berkurang kelebihan balon tersebut, tapi selama masih bisa dipeluk tentu dia akan menjaganya sebaik mungkin sebelum balon itu pecah. Karena jika balon itu pecah artinya berakhirlah segala kesenangan memiliki balon. Seperti kematian yang mengakhiri semua kesenangan hidup di dunia ini.

Innalillahi wa innailaihi rajiun.

00000



Mengenang ibunda tercinta, wafat: 18 April 2003
Dalam separuh hidupku, engkaulah sosok yang paling berjasa.
Dari lubuk hati terdalam, aku sayang padamu Ibu.
Selalu.


Ade Anita
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved