[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Cari Saja Pria Lain
Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004

Assalamualaykum wr wb
mbak yang baek, aku mo tanya nih. Kalo pas bertengkar suami bilang
'cari saja pria lain' .. apa ini sudah masuk talak?
terima kasih,
wassalam

jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Secara bahasa, thalak berarti pemutusan ikatan. Sedangkan menurut Istilah, thalak berarti pemutusan tali perkawinan.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda:
“Perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah thalak.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim, dimana beliau menshahihkannya).

Rukun thalak ada tiga, yaitu:
a. Suami, yang mana selain suami tidak boleh menthalak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
“Thalak itu hanyalah bagi yang mempunyai kekuatan (suami)” (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).

b. Istri. Yaitu, orang yang berada di di bawah perlindungan suami dan ia adalah objek yang akan mendapatkan thalak.

c. Lafazh yang menunjukkan adanya thalak, baik itu diucapkan secara lantang maupun dilakukan melalui sindiran dengan syarat harus disertai adanya niat. Namun demikian, tidak cukup hanya dengan niat saja, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw:
“Sesungguhnya Allah memberikan ampunan bagi ummatku apa-apa yang terdetik di dalam hati mereka, selama tidak mereka ucapkan atau kerjakan.” (Muttafaqun’Alaih).

Dalam thalak disyaratkan berakal bagi yang berkepentingan dan tidak ada kebencian pada pihak suami. Dengan demikian, thalak yang dilakukan oleh orang gila dinyatakan batal. Demikian juga jika thalak dilakukan karena perasaan benci dan emosi, dimana thalak semacam ini mejadi batal karena faktor kebencian. Dalil yang melandasinya adalah sabda Rasulullah saw:

“Yang terbebas dari hukum itu ada tiga golongan, yaitu anak-anak sehingga ia dewasa, orang tidur sehingga bangun, orang gila sehingga sadar.” (HR Ahmad, Nasa’I, Baihaqi, Al-Hakim, Sa’is bin Mansur dan Ibnu Khuzaimah).

Demikian juga dengan sabda Rasulullah yang lain:

“Diberikan maaf bagi umatku karena kesalahan dan kealpaan serta terhadap apa yang atidak mereka sukai.” (HR Ibnu Majah dan Thabrani sebagai hadits shahih).

Thalak itu sendiri ada bermacam-macam, ada yang dengan tegas dikatakan dengan perkataan “thalak” dan ada yang menggunakan kiasan. Untuk yang pertama maka begitu kata “thalak” dengan tegas dikatakan maka jatuhlah thalak tersebut (karena tegasnya kalimat tersebut sehingga tidak lagi memerlukan niat). Sedangkan yang kedua, para imam mazhab berbeda pendapat dalam masalah ungkapan kiasan dalam thalak, seperti kata meninggalkan, terlepas, cerai, putus, engkau telah merdeka, urusanmu berada di tanganmu sendiri, ber’iddahlah engkau, pulanglah ke keluargamu, dan sebagainya. Perbedaan ini menyangkut apakah thalak dengan kiasan ini memerlukan niat? Hanafi, Syafi’I dan Hanbali mengatakan: memerlukan niat atau petunjuk keadaan. Maliki berpendapat: thalak jatuh dengan menggunakan ungkapan tersebut, tidak memerlukan niat.

Salah satu bentuk thalak yang menggunakan kiasan tersebut adalah thalak Takhyir dan Tamlik.

Thalak Takhyir adalah dua pilihan yang diajukan oleh suami kepada istrinya, yaitu melanjutkan rumah tangga atau bercerai. Jika si istri memilih bercerai, maka berarti ia telah dithalak.

Sedangkan Thalak Tamlik adalah thalak dimana seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Aku serahkan urusanmu kepadamu.” Atau “Urusanmu berada di tanganmu sendiri.” Jika si istri berkata (menjawab) “Berarti aku telah dithalak”, maka berarti ia telah dithalak satu raj’i.

Imam Malik dan sebagian ulama lainnya berpendapat, bahwa apabila istri yang telah diserahi tersebut menjawab, “Aku memilih thalak tiga”, maka ia telah dithalak ba’in oleh suaminya. Dengan thalak tiga ini maka si suami tidak boleh ruju’ kepadanya, kecuali setelah mantan istrinya itu dinikahi oleh laki-laki lain. Kecuali jika si suami mengatakan, “aku hanya berniat thalak satu”, maka yang berlaku adalah “thalak satu”. Atau sebaliknya, jika si istri berkata, “aku memilih thalak satu”, dan suami berkata, “aku berniat menthalaknya tiga”, maka yang berlaku baginya adalah thalak satu.

Pada kasus dimana si istri menjawab “aku tidak mau dithalak”, maka tidak ada thalak, keduanya insya Allah masih sebagai suami istri.

Kasus lain si istri menjawab, “Aku telah menceraikanmu”, maka yang demikian itu telah termasuk thalak, meskipun kemudian si suami menjawab kepada istrinya kemudian bahwa ia hanya bermain-main saja.

Kecuali jika kemudian si istri juga (lalu) kembali menjawab: “Aku juga hanya bermain-main dan kami tidak ingin thalak.”, maka yang berlaku adalah perkataan suami (thalak dianggap dusta dan batal).

Kasus berukutnya apabila si suami berkata mengatakan kepada istrinya: “Urusan thalak berada di tanganmu, lalu si istri merasa keberatan serta pulang ke rumah keluarganya, sedangkan sang suami sendiri pergi dari rumah dan tidak berbuat yang lain, maka para ulama mengatakan, bahwa si istri telah dithalak.

Perkataan seorang suami mengenai thalak itu tergantung kepada niatnya. Sehingga apabila ia mengatakan, “aku tidak berniat menthalaknya”, maka ucapannya itulah yang berlaku. Demikian juga jika pihak istri mengembalikan urusan thalak itu kepada suaminya lagi. Jika ia (istri) menthalak dirinya sendiri, maka apapun yang dikatakannya tidak berlaku, kecuali thalak satu (raj’I) saja. Demikian menurut pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan Imam Syafi’i.

‘Dari Abdul Karim Abu Umayyah, ia berkata: “Pada masa Umart bin Khaththab, ada seorang laki-laki yang menyerahkan urusan thalak kepada istrinbya dan si istri pun menthalak tiga kepada dirinya. Selanjutnya sang suami mengatakan: “Demi Allah, aku tidak menyerahkan thalak kepadanya kecuali hanya thalak satu.” Kemudian, keduanya menghadap Umar Bin Khaththab dan beliau mengambil sumpah dari sang suami tersebut. “Demi Allah aku tidak menyerahkan urusan thalak kepadanya kecuali thalak satu.” Setelah suami itu mengucapkan sumpah tersebut, maka Umar pun memerintahkan sang istri untuk kembali kepadanya (suami).’

Saya pribadi tidak bisa menduga apakah perkataan suami ukhti yang mengatakan pada ukhti “cari saja pria lain”itu disertai oleh niat untuk menceraikan ataukah tidak karena niat seseorang itu hanya diketahui oleh Allah swt dan orang itu sendiri (lihat hadits bahwa Allah akan memberikan maaf pada niat yang salah yang terbetik di dalam hati seseorang sebelum niat itu tercetus keluar melalui mulut ataupun terwujud melalui tindakan). Bisa jadi itu menjadi thalak tapi bisa jadi juga bukan (lihat thalak takhyir dan tamlik, adakah yang dimaksud dengan suami ukhti sama seperti ini?). Silahkan ukhti tanyakan pada suami ukhti (dan sekaligus ingatkan dia bahwa diantara perkataan dimana serius dan bercandanya akan tetap dianggap serius itu adalah pernyataan “cerai” atau “thalak”; jadi hati-hati jika ingin berkata-kata).

Terlepas dari itu semua, ada sebuah pesan “tersirat” lain dari ucapan suami ukhti tersebut. Adakah ukhti rasakan bahwa suami ukhti sedang merasa tersaingi kedudukannya? Adakah ukhti rasakan bahwa suami ukhti memiliki sebuah masalah keraguan akan kemampuan diri sendiri dalam usahanya untuk memenuhi harapan “suami ideal” bagi ukhti?

“Cari saja pria lain” itu bisa merupakan pesan bahwa “beginilah saya apa adanya, jika kamu tidak puas dengan apa yang sudah saya berikan padamu, jika kamu tidak puas dengan apa yang saya miliki saat ini, silahkan kamu cari pria lain yang lebih mampu untuk itu”.

“Cari saja pria lain” itu bisa juga merupakan pesan bahwa “saya sudah berusaha semaksimal mungkin dan saya sudah lelah memenuhi ekspektasi kamu yang terlalu tinggi bagi saya, jadi silahkan kamu cari pria lain yang mungkin lebih kompeten untuk itu.”

“Cari saja pria lain” itu bisa merupakan pesan bahwa “saya adalah saya, jangan paksa saya untuk jadi orang lain yang kamu inginkan; jika kamu tetap menginginkan hal itu terjadi, silahkan kamu cari saja pria lain yang bisa kamu bentuk sesuka kamu.” Dan masih banyak interpretasi kalimat tersebut. Ukhti tentu bisa merenungkannya sendiri dengan melihat peristiwa yang terjadi sebelumnya selama ini.

Dengan kata lain, mungkin ini saatnya untuk sejenak merenung sejenak ukhti. Adakah selama ini ukhti menaruh harapan yang bagi suami ukhti terasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikulnya? Adakah selama ini ukhti telah berlaku lebih dominan padanya sehingga dia merasa dalam posisi tertekan? Apapun itu, mungkin ini saatnya untuk kembali menengok dan mengevaluasi cinta yang tumbuh di antara kalian pasangan suami istri. Lihatlah sejenak sudah seperti apa pohon cinta yang tumbuh di antara kalian berdua.

Pohon cinta itu seperti tanaman mawar di tengah halaman. Tumbuh subur dan tiap pucuknya menampilkan bunga mawar yang indah sedap dipandang mata. Jika kita tidak rajin memotong pucuk ranting, maka yang tumbuh subur itu hanyalah daun dan dahan yang terus menjulur lengkap dengan duri yang siap melukai tubuh pemilik halaman. Buang dahan yang tak perlu, singkirkan daun yang terlalu rimbun dan jangan biarkan pohon itu berubah jadi belukar yang sulit dikendalikan. Beri tempat pada sang bunga mawar untuk tumbuh di setiap ujung ranting yang segar. Bukankah kuncup akan rajin tumbuh hanya jika kita rajin merawat pohon tersebut dengan penuh perhatian?
Semoga bermanfaat

WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita

Sumber:
Syaikh al-Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, “Fikih Empat Mazhab” (penerbit: Hasyimi Press).

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, “Fikih Wanita” edisi lengkap (Penerbit: Pustaka al-Kautsar).
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved