[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Inilah Aku
Jurnal Muslimah - Wednesday, 03 March 2004

Ketika aku bergelar mahasiswa baru (duuuh bangganya), pertemuan pertama di kelas diisi perkenalan. Tiap orang maju satu2 ngenalin diri. Majulah aku bagai kucing meang-meong: "Namaku Aisha Chuang. Umurku hampir 19 tahun. Alamat kosku utara kampus ini, lurus aja sampe ketemu nomer 17 pas. Nggak lebih nggak kurang. Alamat asalku.... [sensor]. Sekolah asalku.... [sensor lagi]. Hobiku, hmmm... tau'. Suka gonta-ganti sih. Hmmm...
ada pertanyaan?". (Status: single apa double?)

Hihihi... polos banget ya perkenalanku. Kini sadarlah aku betapa blo'onnya diriku saat itu. Huuuhh! Bukan data sejenis itu yang paling aku ingini tuk dicerap temen2. Lagian, info kayak gitu mudah mereka peroleh seiring dengan berjalannya waktu, bahkan tanpa bersua denganku. Di depan kawan2 sekelas, calon sahabat2ku, hari itu aku nggak nyiapin diri tuk
membeberkan cita2, impian, semboyan hidup, tokoh idola, ataupun sifat2 diri, misalnya: "aku adalah .....".

Skarang sih, andai aku jadi mahasiswa baru lagi mimpi 'kali), ucapan perkenalanku akan lain. Aku mo ikut2an ama salah satu cara Allah 'mendefinisikan' Diri-Nya. "Dialah ... Yang Lahir (Tampak di luar) dan Yang Batin (Tersembunyi di dalam)." (al-Hadid [57]: 3). Jadi, aku ialah apa2 yang kulihat pada diriku dan apa2 yang tidak kulihat pada diriku. Adapun yang aku 'tatap' sekarang adalah 'mimpi'2-ku. Maka aku akan bertutur, "Aku ialah apa yang aku impikan dan yang tidak aku impikan...." Ribet dan bikin pening ya? :D) .... It's me now.

"Jika saya mengabaikan atau menyepelekan impian saya, melalaikannya atau memperlakukannya sebagai khayalan nirmaknawi kosong yang hanya
mengalihkan perhatian saya dari sesuatu "yang pada hakikatnya penting" dalam kehidupan, maka saya takkan pernah sampai mendekati pemahaman tentang
siapakah saya sesungguhnya, dan saya juga tak bisa berharap untuk menjadi "pribadi seutuh" (whole person).
.... saya ingin kalian menjadi "pemimpi" dalam arti menjadi pengimpi yang mau membayangkan kemungkinan-kemungkinan baru bagi anda sendiri,
kendati bila itu tampaknya mustahil atau sasaran itu tampaknya tak terjangkau sama sekali. Gunung yang tinggi hanya bisa didaki satu langkah dalam satu waktu. Energi untuk meneruskannya mensyaratkan kita untuk mengingat-ingat ("mengimpikan") tujuan itu. Impian semacam itu bisa sangat berfaedah apabila memberi kita energi untuk melangkah maju di jalan itu.
Impian semacam itu amat berbahaya hanya jika kita menjadi begitu keasyikan dalam impian ampai-sampai kita melupakan jalur kehidupan nyata kita." (Stephen Palmquist, *Dreams of Wholeness* (Hong Kong: Philopsychy Press, 1997), Kuliah 1, terj. Muhammad Shodiq.)

Maka setelah kukatakan, "I am what I dream and what I do not dream," aku akan bilang, "Impian2ku saat ini adalah ... bla bla bla." ... Mo tau impianku yang mencuat hari ini? Boleh. Inget2 ya. "Aku ialah penyusun sistem Manajemen Cinta Islami 'Empat Musim'." Inilah aku... eh, impianku. Inilah jawabanku dalam konteks penulisan 'surat cinta' buat kamu.
Dalam suasana lain, aku akan menyodori identitas lain... Kalo gitu, dengan banyak identitas, berkepribadian gandakah aku? Nggak dong. Aku cuma mo ikut2an (lagi) ama salah satu kebijakan Allah 'mendefinisikan' Diri-Nya. Dalam konteks 'fenomena' langit dan bumi, Allah mensifati Diri-Nya "Yang Lahir dan Yang Batin" (al-Hadid [57]: 3), sedang dalam tautan kenal-mengenal antarmanusia, Dia menyebut Diri-Nya "Yang Mengenal" (al-Hujurat [49]: 13). Dalam suasana lain, Allah pun menunjukkan 'Identitas'-Nya sesuai situasinya.

Begitulah aku 'menemukan' diri sendiri. Asyik lho, ngedapetin sesuatu yang 'baru'. Apalagi kalo sesuatu itu terdapat dalam diri kita sendiri! Bila kita peroleh info dari dalam ini bahwa diri kita ternyata lebih
baik daripada dugaan kita semula, maka itulah 'ayat Allah' yang mendorong kita untuk lebih percaya diri. Namun jika temuan baru itu lebih buruk ketimbang prasangka kita sendiri, maka itulah 'ayat Allah' yang menyuruh kita untuk lebih rendah hati. Sama2 siip 'kan? Lalu dengan lebih mengenal diri sendiri, kita bisa jadi lebih pinter deh dalam mengungkap-diri.
Atokah kau ngerasa cukup "berbagi" dengan Allah saja, ogah nyingkapin diri kepada satu pun orang lain? Jangan ya.

"Kenapa?" Karena pada hakikatnya, mengungkapan-diri sangat bermanfaat. Orang yang nyingkapin banyak sifat dirinya, nampakin dirinya secara terbuka [dan selektif] kepada paling sedikit satu orang lainnya, mencerminkan kepribadian yang sehat. Di samping itu, ada lagi faedah lainnya. Dengan ngungkapin-diri, kita ngasih tau orang2 lain bahwa kita percaya ama mereka, ngehargai mereka, dan ngepeduliin mereka. Jadinya, mereka pun akan mau membuka diri dan membentuk setidak-tidaknya awal dari suatu hubungan yang bermakna: jujur dan terbuka dan bukan sekadar seadanya.

Tapi, awas! Pengungkapan-diri bukannya tanpa risiko lho.... Biasanya kita ngungkapin-diri pada orang yang kita anggap akan ngedukung kita. Dukungan ini kita butuhin tuk ngembangin interaksi kita. Namun, mungkin saja kita justru ngedapetin tanggapan negatif. Keterlalu-terbukaan, khususnya dalam penguakan "aib" diri, cenderung membuahkan bencana. Rasulullah saw telah mengingatkan kita:

"Semua ummatku selamat, kecuali yang [terlalu] terang-terangan berbuat dosa. Dan termasuk dari mujaharah ([terlalu] terang-terangan) yaitu seorang berbuat dosa di waktu malam gelap, mendadak pagi-pagi diceritakan pada lain orang, pada hal semalam itu Allah menutupinya, tetapi pagi-pagi ia membuka apa yang ditutupi Allah itu." (HR Bukhari & Muslim)

Misalnya, bilamana "gadis yang tidak perawan" (apapun sebabnya) tercela di mata masyarakat lingkungannya, maka si mangsa perkosaan sebaiknya menyelubungi "aib" ini apabila dia merasa tidak mampu menanggung akibatnya. Untuk tetap merahasiakan apa yang ditutupi Allah ini, salah satu
cara yang paling efektif adalah diam2 menggugurkan kandungan. (Tentang halalnya aborsi bagi korban perkosaan, lihat Husein Muhammad, *Fiqh Perempuan* (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 164-166.)***

Catatan:
Artikel ini adalah potongan dari naskah Bab 1, pasal ketiga ("Ta'aruf"), buku *Persahabatan Islami Pria-Wanita: Sebuah Manajemen Cinta 'Musim
Dingin'* (insyaAllah akan terbit, akhir 2003). Penyunting: Muhammad Shodiq, Penyelaras: Ayu Azmi. Hak cipta (c) Aisha Chuang
.



[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved