|
Merasa Lelah Akibat Stigma “Manusia Super” Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
Assalamualaikum
Ukhti ade yang dicintai Allah SWT. Terus terang masalah ini sebenarnya tidak pantas diutarakan di net seperti ini, namun semoga bisa menjadi pelajaran. Ukhti sekarang saya lelah, saya adalah mahasiswi semester terakhir di salah satu fakultas, namun (semoga Allah tidak menganggap saya tidak bersyukur) saya sulit membayangkan bagaimana lingkungan pekerjaan yang saya hadapi.
Ukhti ade yang dicintai Allah SWT
Saya mahasiswi FK yang sebentar lagi akan menjalani co-ash. Ukhti, sebenarnya tidak masalah bagi orang yang membayangkannya tapi bagi saya yang menglaminya, hal ini begitu menyita hati dan pikiran saya.
Ukhti ade yang dirahmati Allah SWT.
Saya adalah wanita yang sangat sensitif. Bisa tidak anda bayangkan seorang calon dokter yang harus menangis dalam hatinya memendam kelelahan akibat stigma yang menganggap bahwa dokter adalah "manusia super" ?
Ukhti ade yang dirahmati Allah SWT,
Yang ingin saya tanyakan dari ukhti, bagaimanakah caranya bisa tegar menghadapi masalah ini? Ukhti adalah konsultan di website ini, pasti ukhti pernah merasa lelah khan membaca keluhan dan mencari jalan keluar bagi permasalahan orang lain padahal sebenarnya tak bisa dipungkiri ukhit juga punya masalah, iya khan :), atau ana yang salah?
Jazakillah ukhti jika berkehendak menjawabnya.
WassalamuÂ’alaikum
Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
“Ayo kita naik ke lantai atas.” Mungkin itu yang akan saya katakan pada ukhti yang sedang merasa lelah saat ini, jika saja kita bertemu dan saya akan bawa ukhti ke sebuah menara yang tinggi (tapi karena tidak bertemu, maka ajakan ini tetap saya utarakan dan saya ingin ukhti membayangkan bahwa kita sungguh-sungguh sedang bertemu).
“Di atas itu, ada sebuah pemandangan yang sangat indah. Ukhti bisa melihat pemandangan alam sekitar di luar sana. Ada gunung-gunung yang puncaknya tertutup kabut. Ada sawah-sawah yang berwarna hijau dan kuning berbaris rapi. Ada jalanan yang berkelok-kelok seperti ular yang sangat panjang dengan aneka ragam mobil yang berbaris di sepanjang jalan.”
“Mungkin, itu semua biasa ukhti temui, tapi jika ukhti melihat dari lantai atas yang tinggi, semua pemandangan biasa itu menjadi lebih indah terlihat. Jadi, ayo kita naik ke lantai atas ukhti.”
Untuk sampai ke lantai atas seperti yang saya anjurkan, maka hal pertama yang harus ukhti lakukan adalah mendaki sebuah tangga. Tangga itu banyak sekali anak tangganya dan berputar-putar pula bentuknya. Siapapun yang melihatnya dan sebelumnya belum pernah sekalipun mendakinya, akan berpikir bahwa dirinya akan kelelahan mendaki anak tangga tersebut.
Jika asumsi bahwa pendakian anak tangga tersebut akan sangat melelahkan tubuh tetap dipelihara, maka si pemilik asumsi tersebut tidak ingin menaiki anak tangga tersebut. Akibatnya, dia tidak pernah tahu bahwa ada pemandangan yang sangat indah yang bisa dilihat dari ketinggian di puncak menara. Dia juga tidak pernah tahu bagaimana sensasi kenikmatan jika berada di puncak menara tersebut. Bagaimana asyiknya merasa bertetangga begitu dekat dengan burung yang sedang melayang terbang di udara. Bagaimana damainya ketika angin sepoi-sepoi bertiup dan menyentuh anak-anak rambut dan menggelitik kulit. Bagaimana merdunya desau angin semilir di telinga yang berpadu serasi dengan kicau burung dan keramaian manusia di bawah yang teredam dan terdengar sayup-sayup saja. Mungkin sesekali ada terdengar gelak tawa kanak-kanak, mungkin sesekali terdengar bel sepeda, atau delman atau bahkan suara klakson mobil yang dari ketinggian terdengar tidak terlalu memusingkan kepala. Bagaimana besarnya kekaguman kita akan kebesaran Allah yang menciptakan semua keindahan alam yang tertata rapi dan terlihat begitu menawan dari ketinggian.
Jika asumsi bahwa pendakian anak tangga tersebut akan sangat melelahkan berhasil dihilangkan, maka si pemilik asumsi akan menjadi penikmat semua keindahan tersebut. Karena berhasil mengalahkan kekhawatiran akan ketidak mampuan diri untuk mendaki ke atas maka hadiah berupa semua sensasi ketika berada di ketinggian tersebut akan bisa kita peroleh.
Sekali lagi, semua itu harus dimulai dengan mendaki tangga.
Artinya, ada urutan anak tangga yang harus kita jejaki. Dari anak tangga pertama menuju ke anak tangga kedua, lalu ketiga, dan seterusnya. Artinya, memang ada urutan dari yang terendah hingga ke yang tertinggi. Sulit rasanya untuk langsung sampai ke atas karena kita memang ditakdirkan tidak punya sayap.
Ukhti yang dirahmati Allah.
Bisa mencapai bangku pendidikan tinggi (apalagi di fakultas kedokteran) adalah sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Kelak jika sudah menjadi dokter (apalagi dokter ahli) maka itu sama artinya bahwa ukhti sudah berada di sebuah menara. Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang dokter. Artinya, ada terbentang begitu luas lahan amal ibadah yang bisa ukhti kelola dalam rangka mengumpulkan bekal untuk menuju negeri akhirat.
- Seperti membantu orang untuk selalu sehat.
- Membantu si miskin yang sakit untuk dapat berobat.
- Membantu menyembuhkan orang yang sakit agar orang-orang di sekeliling si sakit, yang mencintai si sakit bisa berkumpul kembali dalam keadaan sehat wal afiat.
- Menebarkan kebaikan pada banyak orang.
Wah. Subhanallah, begitu luas ladang amal yang bisa ukhti panen. Jadi, bersyukurlah. Alhamdulillah. Lakukanlah segala sesuatunya itu semaksimal yang ukhti mampu semata untuk mencari dan mendapatkan keridhaan Allah. Maka semua kebaikan dan keberhasilan usaha ukhti akan memberi imbas pada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, insya Allah.
Hanya saja, kali ini ukhti sedang diuji oleh Allah apakah setelah rasa syukur itu hadir, ukhti akan tetap bersabar untuk meniti semua nikmat Allah tersebut; apakah ukhti tetap ikhlas meneruskan niat ukhti untuk mencari dan mendapatkan keridhaan Allah?
Sesungguhnya, Allah akan menguji semua hamba-Nya untuk mengetahui apakah rasa syukur yang dimilikinya itu benar-benar tulus dari dalam hatinya dan untuk melihat apakah mereka yang diuji itu benar-benar akan berpegang pada tali agama Allah dan bersabar untuk tidak akan berpaling lagi dari semua yang Allah berikan.
“Apakah manusia itu mengira bahawa mereka dibiarkan saja mengatakan; "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui org2 yg dusta."(Surah Al-Ankabut ayat 2-3)
“Dialah Allah yang menjadikan kalian dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kalian berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya, dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), “Sesungguhnya jika Engkau menyelematkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”. Maka Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezhaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar.” (Yunus:22-23)
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya pada pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah kami mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingkari Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-kahfi:28)
Jika kembali pada pengandaian saya untuk mengajak ukhti menuju ke lantai atas. Saya hampir bisa memastikan bahwa insya Allah di tengah perjalanan pendakian tersebut, akan selalu hadir perasaan yang bermacam-macam. Ada perasaan lelah dan ingin menghentikan pendakian, ada pikiran bahwa usaha pendakian itu hanya akan membuahkan kesia-siaan waktu dan hidup, ada keraguan bahwa kita tidak akan pernah bisa menjejakkan kaki di atas sana, dan bermacam-macam perasaan lain. Itu semua ujian dan cobaan yang datang mengusik; ujian dan cobaan yang datang untuk menyingkirkan keikhlasan kita dalam melakukan kebajikan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Satu hal yang penting untuk diingat adalah:
Bahwa segala sesuatunya itu sebenarnya terjadi secara bertahap. Mungkin ukhti tidak ingat bahwa sebenarnya saat ini ukhti sudah mulai melatih diri untuk menghadapi hal-hal kecil sedikit demi sedikit baik dalam pergaulan di masyarakat, praktek-praktek untuk melatih ketrampilan, pengelolaan manajemen waktu dan manajemen diri, dan sebagainya. Itu semua jika disatukan merupakan sebuah rangkaian tugas besar. Melalui latihan-latihan sedikit demi sedikit tersebut akan terbentuk sebuah sikap di dalam diri ukhti untuk merespon sesuatu sesuai dengan yang diharapkan. Itulah tahap-tahap yang ukhti sedang jalani saat ini dari pagi hingga ketemu pagi lagi. Itulah anak-anak tangga yang sedang ukhti titi saat ini.
Jadi, tidak usah risau memikirkan bagaimana kelanjutan di masa yang akan datang, karena jika kita berusaha melakukan usaha yang terbaik hari ini maka insya Allah kita akan memperoleh hasil yang baik pula di masa mendatang. Bukankah apa yang baik kita nikmati hari ini karena usaha kita di hari kemarin?
Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(Al-Ankabut:69)
Hal lain adalah. Berkenaan dengan tulisan ukhti yang menulis sebagai berikut:
“Ukhti adalah konsultan di website ini, pasti ukhti pernah merasa lelah khan membaca keluhan dan mencari jalan keluar bagi permasalahan orang lain padahal sebenarnya tak bisa dipungkiri ukhit juga punya masalah, iya khan :), atau ana yang salah?”
Saya tidak akan berkomentar banyak karena saya tahu keterbatasan dan kekurangan saya. Masing-masing orang itu tentu ada kekurangannya termasuk diri saya sendiri. Itu artinya pada tiap-tiap orang, termasuk diri saya sendiri, punya kedudukan yang sama dan seimbang dalam usaha untuk membenahi diri. Bukankah itu makna ukhuwah islamiyah yang seharusnya dikembangkan, saling nasehat-menasehati untuk menegakkan kebajikan dan takwa dan nasehat menasehati untuk meninggalkan kemunkaran? Saya sendiri (jujur) juga sedang belajar kok (dan harus lebih banyak belajar lagi ternyata).
Nah berikut ini ada sebuah nasehat yang saya nukilkan dari berbagai sumber yang pernah saya baca (dan subhanallah, saya sangat suka dengan nasehat tersebut, dan memang sebenarnya nasehat ini ditujukan untuk diri saya sendiri utamanya, sehingga rasanya yang terbayang adalah kekurangan yang mesti terus dibenahi tiada berkesudahan dalam diri saya pribadi). Bunyinya adalah sebagai berikut:
Disebutkan dalam kitab-kitab kuno, “Jika engkau ingin memberi petuah kepada orang maka berikan petuah itu lebih dulu kepada dirimu sendiri, sehingga jika engkau merasa tersentuh dengan petuah yang engkau berikan itu maka teruskanlah, namun jika tidak maka malulah kepada-Ku”. Sungguh Allah Maha Mengetahui baik yang tersirat maupun yang tersembunyi dari seseorang.
“Orang yang tidak takwa menyuruh orang lain untuk bertakwa adalah laksana seorang dokter yang mengobati pasiennya tapi ia sendiri sakit. Wahai orang yang menyampaikan ilmu kepada orang lain, tidakkah untuk dirimu sendiri ajaran-ajaran itu? Mulailah dari dirimu sendiri dan cegahlah dirimu dari kesesatan. Jika engkau mampu maka engkau telah menjelma menjadi seorang yang sangat bijaksana. Akan ada orang yang menerima dan mengikuti apa yang engkau katakan. Dan selanjutnya memanfaatkannya. Janganlah engkau melarang orang lain untuk berbuat sesuatu namun engkau sendiri mengerjakannya. Itu aib besar bagimu jika engkau melakukannya.
Dari Anas bin Malik ra, dia menceritakan, Rasulullah saw, “Jika Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba, maka dia akan mengenakannya.” Ditanyakan: “Bagaimana dia mengenakannya?” Beliau menjawab: “Menerapkan pada amal shalih, kemudian dia meninggal dalam mengerjakannya.” (HR Al-Bazzar).
“Dan barang siapa bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (Qs An-Naml:40)
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.” (Qs Ar-Rahman:60)
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah dengan yang lebihbaik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu.” (Qs An-Nisa:86)
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-KU, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Qs Ibrahim:7)
“…karena sesungguhnya brsama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan.” (Qs Alam Nasyrah:5-6)
Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang Allah menghendaki kebaikan pada diri kita dan termasuk golongan orang-orang yang memperoleh perlindungan di akhirat kelak. Aamiin.
Semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita [ 0 komentar]
|
|