|
Jodoh dan Nasib Muslimah Uneq-Uneq - Wednesday, 18 February 2004
Berikut ini ada beberapa pertanyaan yang masuk ke email saya. Karena kemiripan tiap-tiap pertanyaan tersebut, maka saya gabung jadi satu kelompok. Semuanya mempertanyakan tentang nasib akhwat yang belum juga bertemu jodoh.
AssalamuÂ’alaikum wr. Wb
Mohon maaf sebelumnya kalau ada yang tersinggung dengan tulisan saya ini. Tetapi ini adalah kenyataan. Jika seorang yang berumur lebih dari 40 th saja mencari akhwat maximal umur 25th, lalu bagaimana nasib akhwat-akhwat lain yang mungkin berumur lebih dari itu, yang belum punya kesempatan untuk membina keluarga yang sakinah? Akhwat-akhwat itu tentunya banyak yang tidak menginginkan hal seperti itu dia alami, tetapi banyak hal yang membuat dia mengalami hal itu, banyak diantaranya terjadi karena kesalahan orang lain, bukan kesalahannya sendiri. Seorang laki-laki walaupun sudah sedikit terlambat, tetapi dengan mudah dia dapat memilih yang lebih muda. Tetapi seorang wanita?
Coba saja perhatikan kecenderungan yang terjadi sekarang, para lelaki (ikhwan) lebih memilih calon yg lebih muda. Para ustadz juga memilih yg junior. Sedangkan akhwat2 senior itu masih banyak yg berjuang 'sendirian'. Para ikhwan junior, tentu juga agak nggak pede untuk memilih akhwat senior
jadi, gimana ?
Ukhti Ade, maafkan saya sebelumnya, saya tidak ingin menyalahkan para ikhwan karena mereka mempunyai hak untuk memilih. Tetapi, saya ingin jalan keluar masalah ini,
bagaimana menurut ukhti?
Maaf sekali lagi, ukhti mungkin dapat berkata banyak teori karena ukhti sudah menikah. Coba bayangkan kalau ukhti mengalami hal seperti itu (itu jawaban yang saya inginkan)? WassalamuÂ’alaikum wr wb (ukhti F, ukhti O, somewhere)
AssalamuÂ’alaikum wr wb
Saya sering melihat di kolom perodohan, dimana disebutkan misalnya A, pria, 29 tahun, karyawan, sarjana S1, mencari istri, usia maksimal 30 tahun, pendidikan minimal SMU dan sederajat, penyayang dan keibuan. Yang mau saya tanyakan, kenapa sih, para pria kalau mencari istri (dan begitu juga sebaliknya seh) harus meletakkan ukuran pendidikan sebagai salah satu kriteria? Padahal kan semua manusia itu pada dasarnya sama kedudukannya di hadapan Allah, dan yang membedakan mereka adalah tingkat ketakwaan mereka?
Memangnya sudah bisa dipastikan bahwa mereka yang tamat SMU itu lebih “baik” ketimbang mereka yang hanya lulus SMP atau SD? Tapi ironisnya, jika mereka (pria) bertemu dengan wanita yang jauh lebih pandai dari mereka (juga lebih tua), maka para pria tersebut menjadi tidak percaya diri. Coba saja, mana ada pria yang hanya berpendidikan D3 mau punya istri yang lulus S3? Saya kasihan pada para wanita, karena di satu sisi mereka diminta untuk “maju”, tapi di sisi lain mereka juga diminta untuk tidak terlalu “maju”. Bagaimana pendapat mbak? Wassalamu’alaikum wr wb (someone juga ukhti R di sesuatu tempat)
Jawab :
Berikut ini adalah sebuah cerita yang saya kutip isinya secara utuh (tapi dengan mengedit kalimat yang tidak perlu tanpa maksud mengurangi isi cerita agar lebih ringkas) dari buku “Al Quran Bercerita soal Wanita” (Jabir Asysyaal, Gema Insani Press).
Judulnya : Raithah si Wanita Dungu
Allah SWT berfirman : “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali dengan menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu” (An-Nahl: 92)
Siang itu matahari bagai membakar Mekkah. Di antara dinding rumah dari sekian banyak rumah milik Bani Makhzum, terdapat seorang gadis kecil. Kini si kecil sudah dewasa dan seperti gadis tetangganya yang lain dia juga punya keinginan untuk punya pendamping yang dapat membahagiakan lahir batinnya. Dari dalam kamarnya, dia tetap setia menunggu seorang pemuda untuk meminangnya. Keinginan itu makin menjadi ketika dia mulai melihat satu persatu temannya digandeng sang suami. Terlebih ayahnya selalu memberinya semangat untuk sabar menunggu dengan berkata:
“Ayah akan pergi ke berhala Hubal agar dewa memberimu jodoh. Jika jodohmu itu datang, dengan ke dua tanganku ini aku akan menaburkan kepadanya harta yang banyak. Akan aku basahi kakinya dengan darah sembelihan domba yang gemuk sehingga dia ridha kepadamu hai putriku sayang. Kelak Hubal akan mengirim kepadamu pemuda termulia dalam kaumnya untuk datang meminangmu.”
Sang gadis, Raithah namanya berseri-seri mendengarnya. Namun hari-hari penantian itu berlalu terus. Tidak ada tanda yang menggembirakan. Jodoh yang ditunggu tidak juga datang. Gadis itu jadi sering melamun dan bertanya-tanya pada dirinya: “Mengapa tidak ada laki-laki yang datang meminangku? Ayahku Amru punya kedudukan? Dan llihatlah aku… apakah aku berwajah buruk?” Pertanyaan seperti itu selalu bergalau di hatinya, dia semakin tertekan dengan keadaannya. Air mata seakan tak pernah henti mengalir membasahi kedua pipinya sehingga membuat wajahnya semakin berkerut.
Bayang-bayang kesedihan semakin menghias raut mukanya. Di saat sedih itulah ibunya datang menghibur dengan mengatakan bahwa dia sudah pergi ke dukun dan sang dukun mengatakan bahwa jodohnya sebentar lagi akan datang. Raithah berseri kembali dan bersemangat. Dia kembali mengarahkan pendengarannya ke pintu untuk mendengar tiap langkah kaki yang mendekat. Berharap ada langkah milik dari laki-laki yang akan datang melamarnya. Namun harapan tinggal harapan.
Hari-hari terus berlalu dan Raithah menjelma menjadi perawan tua yang selalu murung, sedih, sehingga membekas pada wajahnya. Di usia lebih dari 40 tahun, datang seorang pemuda yang masih terhitung sepupunya. Pemuda ini berkeinginan untuk mengawini Raithah, bukan karena tertarik tapi karena hartanya. Terlebih bibinya (ibunya Raithah) berpesan padanya sebelum meninggal dunia agar mengawini Raithah dengan mengatakan:
“Harta benda miliknya akan membuka jalan bagimu untuk menjadi orang kaya. Gunakanlah hartanya itu untuk modal berdagang dan setelah itu kawin lagi dengan gadis lain yang kau sukai. Gunakan uang itu untuk apa saja yang kau sukai, yang penting nikahi Raithah dan jangan sampai harta kekayaan Raithah lepas dari tanganmu.”
Akhirnya Raithah menikah tapi ternyata suaminya itu hanya menghabiskan hartanya saja. Sampai suatu hari Sokher, suaminya itu pergi bersenang-senang dan ternyata lama tidak pulang. Ketika Raithah berhasil menemukan suaminya itu kembali Sokher menolak untuk pulang, kembali padanya dan bahkan mengeluarkan sebuah ucapan yang pedas :
“Untuk apa aku harus memberitahukan engkau kemana dan apa yang terjadi padaku? Kamu buakn istriku lagi. Bagaimana mungkin aku harus mengubur masa mudaku bersama wanita tua seperti Engkau!!”
Raithah langsung mendapat malu, marah dan terhina hingga jatuh pingsan karena berbagai perasaan di hatinya itu. Dengan hati yang remuk redam dia kembali pulang. Ia mengunci dirinya di kamar dan tiada hentinya menangisi nasib diri.
Hati ke hari dia semakin murung dan lebih senang menyendiri, patah hati dan patah harapan. Hingga suatu hari dia menemukan alat pintal benang. Raithah memintal benang untuk mengusir kesedihannya semalaman. Ketika pagi datang diamatinya benang-benang yang sudah dipintalnya itu dan dia mulai bertanya pada dirinya sendiri :
“Untuk apa aku memintal benang ini, apakah aku memerlukan uang?
Hartaku yang tersisa banyak, meskipun yang dicuri Sokher begitu banyaknya. Apakah benang yang dipintalnya itu akan menjadi kain, lalu dijadikan pakaian?
Lalu untuk siapa pakaian itu?
Apakah akan dikenakannya untuk menambah kecantikannya? Tetapi untuk siapa dia berdandan? Apakah untuk dinikmati orang lain? Ataukah untuk hadiah buat orang lain? Jadi untuk siapa?”
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengganggu jiwanya dan mengacau pikirannya. Diambilnya benang-benang yang sudah dipintal lalu diputus-putus dan diuraikannya kembali. Setelah itu dia tidur sepanjang hari.
Esoknya pekerjaan memintal benang itu dilakukannya lagi sehari penuh tapi setelah selesai dia termenung. Tiba-tiba Raithah keluar rumah dengan membawa sekantong uang dan dia membeli banyak bulu domba serta mengajak anak-anak kampung untuk membantu memintal benang dengan upah masing-masing satu dirham. Raithah mengawasi anak-anak itu bekerja. Sore hari setelah anak-anak itu menerima upah dan pulang, Raithah mengumpulkan benang yang telah dipintal itu lalu diputus-putusnya lagi. Dia membayangkan bahwa dunia telah menghancurkannya jadi dia harus membalas dengan menghancurkan segala yang ada. Dalam keadaan menyedihkan, kurus, lemah tiada semangat itulah Raithah meninggal dunia.
AssalamuÂ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Akhwat fillah yang dirahmati Allah SWT
Iyah, alhamdulillah saya memang sudah menikah. ^_^
Membaca semua protes kallian yang penuh dengan rasa solider terhadap akhwat yang belum menikah saya jadi kehilangan kata-kata nih (sebenarnya bukan hanya akhwat saja yang mengalami masalah tersebut tapi juga banyak gadis-gadis non akhwat (jika yang kalian maksud akhwat disini adalah muslimah yang berjilbab lebar) yang juga mengalami hal serupa).
Terus terang, kita tidak bisa menyalahkan para ikhwan (kita sebut pria saja yah) di manapun dan pada usia berapapun yang lebih memilih kecenderungan untuk lebih memilih mereka yang lebih muda.
Sudah menjadi fitrah Allah bahwa wanita lebih cepat matang daripada pria. Coba deh kalian ingat waktu kita masih SMP dulu, teman-teman pria kita kecil-kecil dan masih kayak anak SD kelas enam sedangkan kita yang wanita sudah banyak yang menstruasi dan tubuhnya sudah tumbuh seperti gadis remaja SMU. Pada waktu kita mau masuk SMU, barulah teman-teman pria kita menyusul dengan pertumbuhan fisik pesatnya hingga secara kasat mata terlihat mereka tiba-tiba tinggi menjulang dan berubah menjadi pemuda dan mereka terus mengalami pematangan sampai lulus SMA. Padahal kita yang wanita proses pertumbuhan itu selesai di awal SMU. Untuk pertumbuhan tubuh, wanita memang lebih cepat matang daripada pria.
Nah. Waktu ingin menikah, wanita terlebih dahulu mengalami keinginan untuk menikah, dorongan-dorongan itu bisa dirasakan waktu usia 16-20an. Padahal, teman-teman pria sepantaran kita, belum memikirkan itu. Mereka baru saja menyelesaikan proses pencarian jati dirinya dan kini sedang memapankan diri dengan belajar dan bekerja untuk hari depan.
Jadi, otomatis, para wanita umur 20an banyak yang cenderung untuk melihat pria yang lebih tua yang lebih siap untuk menikah karena pria seumur mereka belum siap untuk menikah (mungkin ini sebabnya banyak pria yang mundur jika didesak atau diajak untuk menikah pada usia tersebut). Sebenarnya, kejadian dari lebih cepat matangnya fisik wanita dan lebih cepat siapnya wanita untuk menikah ketimbang pria itu memiliki hikmah yang tersembunyi di baliknya.
Wanita itu, punya keterbatasan waktu untuk bereproduksi (afwan, jika bahasa dan istilahnya kurang berkenan). Usia emas wanita untuk bereproduksi adalah usia 20-30 tahun (sekarang karena kemajuan ilmu kedokteran boleh deh sampai 35 tahun). Kenapa usia emas, karena pada usia ini indung telurnya mengalami masa keemasan dari segi kualitas dan fisik si wanitapun lebih kuat untuk melakukan tugas-tugas sebagai ibu yang diberi amanah oleh Allah SWT berupa anak sehingga diharapkan bisa menghasilkan generasi yang insya Allah juga berkualitas.
Hanya saja, usia ini juga dibarengi oleh masa gemilang untuk berkarya, menuntut ilmu dan berdakwah. Karena kemampuan otak manusia untuk berpikir dan menyerap informasi baru lalu menghasilkannya menjadi sebuah pemikiran yang baik adalah pada usia produktif. Begitu juga tenaga dan energi yang dihasilkan pada usia 20 – 30 tahun itu adalah tenaga dan energi puncak dari seorang wanita. Banyak wanita yang takut jika berumah tangga pada usia ini mereka akan kehilangan waktu untuk mengembangkan diri dan lingkungannya; mereka banyak yang khawatir akan kehilangan kebebasan untuk meningkatkan kualitas diri sendiri dan kemandirian. Jadi mereka sering keasyikan untuk memperoleh prestasi dan pencapaian diri (achievement) hingga tanpa terasa melupakan fitrahnya bahwa wanita itu punya keterbatasan waktu untuk bereproduksi.
Hmm, tidak bisa dipungkiri ada juga yang melupakan fitrah ini lebih karena trauma-trauma masa lalu yang perih. Seperti dikecewakan oleh lawan jenisnya dan terus merasa kecewa berkepanjangan hingga menutup diri dari semua orang. Atau kasus lain yang menyebabkan mereka menunda keputusan untuk menikah dalam waktu yang “kepanjangan”.
Jadi, jangan salahkan para ikhwan dan pria-pria yang lebih memilih akhwat atau wanita yang lebih muda, karena mereka juga menginginkan punya generasi yang berkualitas dan itu dalam logika normal insya Allah akan terpenuhi dengan menikahi akhwat/wanita yang berada pada usia emas reproduksi. Bukankah setiap orang menikah dan membentuk sebuah keluarga itu salah satunya juga agar bisa punya keturunan ? Keturunan seperti apa? Tentu saja keturunan yang bisa lebih baik kualitasnya.
Di samping itu pada pria tidak bisa dipungkiri juga menginginkan kesenangan bagi dirinya sendiri. Masih ingat kan hadits yang menceritakan Rasulullah SAW yang menegur seorang pemuda yang menikahi janda dengan beberapa anak. Rasulullah SAW bertanya: “Kenapa tidak kau nikahi seorang gadis saja, sehingga kau bisa memperoleh kesenangan darinya, engkau bisa bermain-main dengannya dan diapun bisa bermain-main denganmu.”
Pada umumnya, wanita di atas usia 40 tahun mulai dibayangi masa menopause (biasanya menopause itu berkisar antara usia 45-55 tahun atau lebih). Sebelum masa menopause itu datang, ada sebuah rangkaian perubahan hormonal bertahap yang dihadapinya yang tentu saja mempengaruhi gejolak emosi dan sistem tubuhnya yang lain.
Kebayang nggak sih, suami yang sedang “semangat” karena berusia 35-an (sebuah penelitian mengatakan bahwa pada usia 35-45 tahun seorang pria mengalami puncak gejolak seksual tinggi untuk kemudian turun menjadi biasa lagi; sering disebut dengan masa puber kedua) harus berhadapan dengan perempuan yang 50 tahun? Ummu Saudah yang jauh lebih tua dari Rasul-pun sudah tidak bergairah lagi pada lelaki karena ketuaannya hingga memberi waktu gilirannya pada ummu Aisyah; padahal suaminya kan suami yang paling mulia di dunia ini tapi yah gimana lagi kalau sudah tidak punya gairah pada lelaki ?
Jadi begitu kurang lebih penjelasannya. Semoga bisa jadi masukan yang berguna.
"Dan, janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Kaum laki-laki akan memperoleh bagian dari apa yang mereka lakukan, dan kaum wanitapun akan memperoleh bagian dari apa yang mereka lakukan dan mohonlah selalu karunia dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32).
Sekarang saya akan coba jelaskan semampu saya mengenai jalan keluarnya.
Jodoh itu di tangan Allah. Itu sudah pasti. Tapi kita tetap harus berusaha untuk mendapatkannya. Karena jodoh itu takdir, dan kita bisa memilih takdir sesuai dengan kemampuan kita.
Adalah Umar bin Khatab ra, ketika beliau dalam perjalanan menuju Syam, beliuau diberitahu bahwa di sana sedang terjangkit wabah tha’un (semacam penyakit cacar air). Setelah beliau meminta masukan dari para sahabatnya, beliau pun memutuskan agar semua rombongan termasuk dirinya segera kembali ke Madinah, supaya mereka tidak tertular dan terkena wabah tha’un. Melihat keputusan Umar, Abu Ubaidah berkata, “Apakah engkau lari dari takdir Allah, wahai Amirul Mukminin?” Kata Umar, “Kalau saja bukan engkau yang mengatakannya wahai Abu Ubaidah. Benar, kami lari dari takdir Allah (yang satu) ke takdir Allah (yang lain).”
Usaha apa yang harus dilakukan untuk masalah jodoh ini?
Pada saat seorang gadis memasuki usia 20-25 tahun, biasanya kecantikannya berada pada puncaknya. Tapi, pada akhwat-akhwat kita, sering ada ketakutan kalau-kalau mereka bertabaruj (memamerkan kecantikannya), sehingga penampilan fisik ini disepelekan.
Saya tidak bisa berkomentar apa-apa untuk masalah ini karena siapapun kurang ahsan untuk melarang orang agar berhati-hati. Tapi terus terang, saya sering gimana rasanya (afwan) kalau bertemu akhwat yang sebenarnya cantik, tapi karena tidak dirawat mereka jadi tidak lagi menarik. Bau badannya menyengat dan agak mengganggu bila berada di dekatnya; bau rambutnya menembus jilbab yang dipakainya. Belum lagi kulit yang kasar, bibir yang kering hingga sedikit pecah-pecah, dsb.
Saya setuju bahwa kecantikan itu tidak untuk dipamerkan, tapi, kecantikan itu tetap amanah yang harus dijaga. Allah dan Rasulnya suka keindahan, suka kebersihan, jadi meskipun berjilbaber, tetap harus memperhatikan keindahan dan kebersihan diri. Lebih sempurna lagi jika ditambah dengan pengetahuan dalam banyak hal, yang akan menjadi inner beauty dan nilai plus. Saya pikir, jika para akhwat mau memperhatikan hal-hal ini, mungkin jodoh agak lebih mudah di dapat insya Allah.
Ibrah dari cerita tentang Raithah yang saya kemukakan di bagian awal sekali ada banyak. Salah satunya, jodoh itu tidak bisa ditunggu hanya dengan cara berdoa dan berharap. Harus ada usaha juga untuk mencarinya. Ingat, jodoh itu adalah rangkaian dari takdir yang memerlukan usaha untuk mendapatkannya sebelum bertawakkal pada Allah SWT. Jadi, memang tidak bisa hanya berdoa dan berharap jika tidak ada usaha apa-apa. Wallahu a'lam.
Lalu usaha seperti apa yang harus dilakukan?
Hal ini terkait dengan selanjutnya; setelah kita memelihara keindahan diri, kita juga harus "beredar". Tidak bisa hanya menunggu jodoh itu suatu hari akan datang mengetuk pintu rumah kita secara tiba-tiba.
Ikutlah banyak kegiatan, jangan cuma tetap/macet di satu kelompok kecil saja. Manusia itu diciptakan berpasangan-pasangan, tapi kita nggak pernah tahu ada dimana pasangan kita itu. Ibaratnya kita ada di suatu ruangan dengan banyak pintu, jika kita hanya membuka satu pintu saja, jangan-jangan pasangan kita itu mau masuk dari pintu yang lain, jadi bukalah banyak pintu. Dengan kata lain, buka kesempatan dirimu untuk bertemu dengan orang banyak dan berinteraksilah dengan mereka sehingga mereka mengenal dirimu. Ikuti perkumpulan muslim-muslimah (mahad, usro, halaqoh, karang taruna, ikatan remaja mesjid, perhimpunan sesama muslim, kegiatan perkumpulan, dsb, dll). Jalin ukhuwah islamiyah seluasnya, paling tidak bertemu dengan beragam teman dan punya banyak sahabat, siapa tahu di antara mereka ternyata terdapat jodoh yang diperuntukkan untuk kita.
Lalu apakah kita perlu memberikan kriteria tertentu dalam memilih jodoh
tersebut? Ada penjelasannya tersendiri nih. Hmm giniÂ… dalam sebuah perkawinan itu, yang terjadi dalam interaksi antara suami dan istri itu sebagian besar adalah waktu mereka untuk saling berkomunikasi. Suami pulang dari kantor maka hal yang pertama dilakukannya bersama sang istri adalah menyapanya dan mengajaknya berbincang-bincang. Begitu juga dengan si istri ketika bertemu dengan suaminya. Dalam perbincangan tersebut, maka tidak ada lagi jurang yang terbentang di antara mereka, atau jikapun ada maka jembatan penghubung akan menghilangkan jurang perbedaan tersebut. Itu harapan dari sebuah usaha untuk berkomunikasi. Tapi ada sebuah fakta lain yang juga diharapkan oleh kedua pihak, yaitu lancarnya komunikasi yang dilakukan tersebut. Dalam hal ini, sebuah komunikasi akan lancar jika masing-masing pihak meletakkan diri dan teman bicaranya sebagai mitra yang sejajar.
Taruh misalnya, seorang yang hobbi utak-atik program komputer, tentu lebih asyik jika bertukar pikiran dengan mereka yang juga punya kecenderungan yang sama. Jika kalian berbincang dengan seseorang, maka jika teman bicara kalian adalah seorang pendengar yang baik, kalian tentu senang. Tapi jika dia ternyata bukan hanya pendengar yang baik tapi sudah jadi pendengar yang setia (tidak pernah memberi tanggapan atau respon selain mendengar sajaÂ… ^_^ Â…), tentu kalian akan kesal. Karena kalian juga punya kebutuhan untuk memperoleh tanggapan atau respon lain.
Nah. Disinilah faktor kecenderungan akan kesamaan pandangan, kesamaan selera, kesamaan karakter atau hobbi atau kesamaan cara berpikir memiliki peranan yang cukup besar. Itu sebabnya dalam usaha mencari pasangan tersebut, sering dicantumkan penambahan kriteria tertentu seperti ingin yang pendidikan SMU atau sederajat, ingin yang punya sifat keibuan dan penyayang, atau justru ingin yang periang dan supel. Tiap-tiap manusia punya kecenderungan yang berbeda-beda satu sama lain.
Hanya saja, ada sebuah catatan kecil tersendiri untuk urusan bertemu jodoh. Yaitu, kitanya sendiri juga jangan terlalu kaku dengan prasyarat. Saya sering baca di kolom ta'aruf, mintanya sulit-sulit, yang harus sarjana, punya pekerjaan mapan, sukunya harus ini, dll. Pokoknya kalau tidak punya kriteria A, B, C, D, E tidak mau! HmmÂ… Cobalah bersikap lebih fleksibel. Ingat, tidak ada orang yang sempurna. Setiap segala sesuatunya itu memerlukan proses, jadi kalau memang kalian merasa cocok pada beberapa hal yang kalian temui pada seseorang, jangan melihat pada hal lain yang tidak dia miliki. Selama itu bukan hal yang berkaitan dengan masalah akidah, beri kesempatan padanya untuk berproses. Manusia itu adalah makhluk yang insya Allah bersedia berproses untuk berubah guna membahagiakan yang dicintainya. Jadi, beri kesempatan padanya untuk berproses.
Kalau ternyata semuanya sudah dicoba dan waktu terus bergulir si jodoh belum juga hadir, ada dua hal yang harus mulai dipikirkan. Pertama, berdayakan diri sendiri. Tambah pengetahuan dan tegakkan potensi diri.
Kali ini, mungkin kita harus kembali belajar dari kisah Raithah. Perawan tua yang menyia-nyiakan harta ortunya karena frustasi. Kita tidak mau seperti itu. Ada hikmah yang bisa dipelajari dari kesendirian kita. Mungkin kita bisa lebih konsentrasi untuk mengabdikan diri bagi negara dan umat Islam. Ada banyak contoh mereka yang mengisi kesendiriannya dengan hal yang berguna bagi orang banyak. Mereka adalah contoh orang-orang yang tidak menyia-nyiakan kemampuan yang dimilikinya dalam kesendiriannya. Insya Allah mereka sama mulianya dengan mereka yang berkeluarga (atau mungkin lebih), wallahuaÂ’lam.
Pilihan kedua, "GET SHARING" alias poligami. Poligami itu sebenarnya adalah salah satu “pintu” yang disediakan oleh Allah untuk mengatasi masalah yang terjadi pada beberapa akhwat yang belum juga bertemu dengan jodohnya.
Masalahnya, mereka yang "akhwat" tidak otomatis bersedia jika harus sharing dengan yang baru. Kebayang nggak sih, ibu-ibu yang harus "berbagi ranjang" dengan wanita yang lain. Sebagai istri, rasanya hilang sudah perasaan istimewa yang dimiliki karena ternyata semua yang dia miliki seorang diri selama ini pada akhirnya juga dimiliki oleh wanita yang lain. Tapi masalahnya ternyata memang nggak boleh egois. Karena kenyataan sekarang, wanita dan pria itu 5 : 1. Jadi yah memang tidak boleh lagi menguasai sorangan tapi menutup mata dari kesedihan banyak akhwat yang tetap sorangan, dan akhirnya malah terjadi kemunkaran yang lebih besar lagi seperti terjadinya perselingkuhan, jatuhnya para muslimah kita ke tangan mereka yang non muslim atau ke tangan lelaki yang justru hanya ingin memanfaatkan mereka saja untuk bersenang-senang, dll.
Masalah lain yang hampir mirip adalah, para akhwat juga tidak otomatis bersedia untuk sharing dengan yang lama (hehe kebalikan ama yang diatas nih). Mereka ingin jadi yang pertama (dan syukur-syukur nantinya jadi yang terakhir). Hmm, tidak bisa dikomentari deh keinginan ini. Tapi mungkin bisa jadi bahan pertimbangan yah. Pada usia 27 tahun atau lebih, biasanya para pria yang sepantaran usia ini sudah pada menikah dan kehidupan merekapun sudah mulai mapan.
Jadi, yah jika para akhwat mencari yang usianya sepantaran mereka maka sulit mencari yang masih single (afwan). Jikapun ada tentu tidak banyak. Kalau sudah begini, satu saranku adalah, cobalah untuk mengenal keluarga si ikhwan lebih jauh dan lebih dekat lagi, setidaknya kalian akan tahu bahwa poligami yang ditawarkan pada kalian itu ternyata tidak “separah” yang kalian bayangkan.
Terlebih sekarang ini, ide poligami itu sering dipandang sebagai sebuah kejahatan tersendiri yang akan merugikan wanita. Jadi sekali lagi, cobalah untuk mengenal keluarga inti si ikhwan yang ingin mengajak kalian untuk berpoligami, setidaknya keluarga baru yang kalian bentuk itu bisa lebih kuat guna menghadapi pandangan sinis masyarakat yang memandang poligami sebagai bentuk kejahatan khusus. Itung-itung sebagai syiar Islam bagi mereka bahwa Poligami itu tidak sejahat yang mereka sangka. WallahuaÂ’lam.
Terakhir. Saya ada membaca sebuah artikel di sebuah majalah terbitan ibukota beberapa bulan yang lalu yang menurunkan tulisan tentang adanya kecenderungan saat ini dimana pria menikahi wanita yang jauh lebih tua usianya.
Ada banyak alasan kenapa para pria memilih wanita yang lebih tua tersebut sebagai istrinya. Tapi yang menarik adalah, ternyata, para wanita tersebut, meskipun berusia jauh lebih tua ternyata punya satu kesamaan. Yaitu mereka tidak kehilangan keceriaan dan semangat hidup optimis mereka di tengah segala kematangan, usia dewasa dan kemapanan yang mereka miliki.
Inilah yang menjadi jembatan yang menghubungkan jurang perbedaan usia di antara pasangan tersebut. Si pria tidak terlalu merasa menikahi wanita yang sudah tua karena dia tetap memperoleh keceriaan dan kesenangan sebagaimana jika mereka menikahi gadis muda tapi di samping itu para pria tersebut juga memperoleh perasaan damai dan tenang karena si wanita yang memang lebih tua dan lebih dewasa mampu memberikan perasaan tenang dan perhatian yang matang bagi mereka. Subhanallah.. semoga bisa diambil ibrahnya.
WassalamuÂ’alaikum wr wb [ 0 komentar]
|
|