|
Mandi Junub di Musim Dingin Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
Tanya:
Assalamu'alaikum,
Hai lagi mbak yg baek,
mau tanya nih, apa aja syarat wajib mandi junub? Apa wudhu bisa ganti
kalo pas musim dingin, ihhh mana tahan harus mandi berkali-kali. Apa
harus nolak kalo 'diajak' suami? tolong dong!
wassalam,
--
Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabakarakatuh
Cara Mandi Janabah:
a. Niat (yaitu menghilangkan hadats besar melalui mandi, Selanjutnya membasuk kedua telapak tangan tiga kali.
b. Setelah itu beristinjaÂ’ dan membersihkan segala kotoran yang terdapat pada kemaluan.
c. BerwudhuÂ’ seperti ketika hendak mengerjakan shalat.
d. Membasuh kepala dan kedua telinga sebanyak tiga kali.
e. Selanjnutnya menyiramkan air ke seluruh tubuh. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah ra, dimana dia pernah menceritakan:
“Apabila Rasulullah saw hendakmandi jenabat beliau memulai dengan membasuh kedua telapak tangan sebelum beliau memasukkannya ke dalam bejana, Kemudian beliau membasuh kemaluan dan berwudhu’ sebagaimana hendak melaksanakan shalat. Lalu beliau menyela-nyela rambutnya dengan air. Setelah itu, belaiu menyiram kepalanya tiga kali dan menyiramkan air ke seluruh tubuhnya.” (HR Tirmidzi dan beliau menshahihkannya).
Dalam mandi jenabat, dimungkina bagi seorang muslimah membaca basmalah dan berniat, lalu membasuh kedua tangan dan kemaluannya. Kemudian mengguyur seluruh tubuhnya dengan air disertai berkumur dan istinsyaq.
Ketika mandi, wanita muslimah diwajibkan memperhatikan bagian ketiak, lutut dan pusar, sehingga bagian-bagian tersebut benar-benar terkena air. Demikian juga dengan kulit kepala.
Hal-hal yan gdimakruhkan dalam mandi:
a. Mandi di tempat yang mengadung najis. Karena, dikhawatirkan najis tersebut akan mengenai tubuhnya.
b. Mandi di air yang tidak mengalir. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah:
“Janganlah salah seorang di antara kalian mandi dalam air yang tidak mengalir, sementara pada saat itu ia dalam keadaan junub.” (HR Muslim)
c. Diwajibkan mandi di balik tabir. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla itu Maha Malu dan Dia sangat mencintai rasa malu. Karena itu, apabila salah seorang di antara kalian mandi, maka hendaklah ia menutup diri dari pandangan orang lain.” (HR Abu Dawud)
d. Dimakruhkan berlebih-lebihan dala penggunaan air, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam menggunakan air,meskipun pada saat itu berada di sungai yang airnya mengalir.” Meski begitu, diperbolehkan mandi dengan menggunakan empat bejana air. Karena, Rasulullah saw pernah mandi dengan menggunakan aiar sebanyak satu sha’, yaitu empat mud (ember).
Hal-hal yang disunnatkan dalam mandi:
1. Membasuh kedua tangan sebanyak tiga kali.
2. Membasuh kemaluan.
3. BerwudhuÂ’ secara sempurna seperti hendak melakukan shalat.
4. Menyiramkan air ke kepala sebanyak tigakali disertai penyelaan terhadap rambut.
5. Mengguyurkan air ke seluruh tubuh, yang dimulai dari setengah bagian sebelah kanan dan kemudian setengah bagian sebelah kiri.
6. Membasuh kedua ketiak, pusar dan kedua lutut.
DI musim dingin, dimana air yang memancar dari kran (ledeng) terasa sangat dingin, kita diperbolehkan menggunakan air panas (yang berasal dari heater/mesin pemanas air). Hanya saja, campurlah air panas tersebut dengan air dingin sehingga suhunya menjadi suhu normal/suhu tubuh.
“Pendapat paling shahih dari Syafi’I: air panas karena terkena sinar matahari hukumnya adalah makruh. Sementara itu, pendapat yang dipilih oleh para pengikutnya yang kemudian adalah pendapat yang mengatakan bawhahalitu tidak makruh. Demikian juga menurut tiga imam yang lain –yaitu, Hanafi, Maliki dan Hambali.
Air yang dimasak hukumnya tidak makruh, demikian menurut kesepakatan para ulama. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa ia memakruhkannya. Sementara itu, Hanbali memakruhkannya jika ia dipasankan dengan api.” (Dikutip dari buku Fiqih Empat Madzab, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi), bab. Thaharah).”
Pada kondisi lain, dimana seseorang samasekali tidak dapat menggunakan air, maka diperbolehkan bertayamum (saya sendiri, alergi udara dingin dan air dingin, dimana kulit saya akan pecah-merekah karena bengkak dan mengeluarkan darah jika terkena kombinasi air dingin dan udara dingin sebagaimana yang saya peroleh di musim dingin. Untuk itu, jika berwudhu di malam hari saya bertayamum).
Sebab-sebab diperbolehkannya tayamum:
a. Diperbolehkannya tayamum adalah sebagai ganti wudhu, apabila tidak ditemukan aiar atau karena sakit atau karena tidak ada kemampuan bergerak serta tidak ada orang yang membawakan air untuknya. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat dari Imran bin Hashin, ia menceritakan:
“Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan. Lalu beliau mengerjakan shalat bersama para shahabat. Kemudian beliau mendekati seorang sahabat yang menyendiri seraya berkata: Apa yang menyebabkan kamu tidak mengerjakan shalat? Shahabat tersebut menjawab: Aku sedang dalam keadaan junub dan aku tidak mendapatkan air untuk mandi. Lalu beliau bersabda: Pergunakanlah debu, karena sesungguhnya itu telah cukup bagimu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Tayamum juga diperbolehkan apabila seorang wanita muslimah terserang penyakit yang melarang dirinya menggunakan air atau karena ada luka yang dikhawatirkan penggunaan air akan menambah rasa sakit atau menghambat kesembuhannya. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari jabir ra, dimana ia bercerita:
“Kami pernah keluar dalam suatu perjalanan, lalu salah seorang di antara kamu tertimpa batu pada bagian kepalanya hingga terluka. Kemudian orang ini bermimpi dan junub. Maka ia pun bertanya kepada shahabatnya: Apakah kalian melihat adanya keringanan bagiku untuk bertayamum? Shahabatnya menjawab: Tidak, karena kamu masih bisa memakai air. Kemudia ia mandi dan ternyata setelah itu ia meninggal dunia. Ketika kami menghadap Rasulullah dan menceritakan peristiwa itu, maka beliau berkata: Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengerti? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Sebenarnya ia cukup bertayamum saja dan membalutkan kain perban pada lukanya, lalu mengusap bagian di atas perban itu. Kemudian membasuh seluruh anggota tubuhnya.” (HR Abu Dawud, Abu Majah, Daruquthni dan dishahihkan oleh Ibnu Sakan).
b. Wanita yang pergi ke tempat kerja –disertai dengan muhrimnya—seperti bertani, berburu, mencari kayu bakar atau pekerjaan lainnya, dimaan tidak memungkinkan baginya membawa air untuk wudhu. Kemudian waktu shalat tiba dan tidak ada air padanya. Selain itu tidak dimungkinkan baginya kembali ke rumah untuk berwudhu, kecuali dengan membatalkan keperluannya itu, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan bertayamum serta tidak perlu mengulang shalatnya pada saat telah mendapatkan air. Karena, ia dianggap sama seperti musafir yang pergi ke kampung lain.
c. Apabila ia membawa sedikit air, yang jika itu dipergunakan berwudhu, maka ia tidak akan memiliki air untuk kebutuhan minumnya. Dalam kondisi seperti ini, ia diperbolehkan bertayamum. Atau jika air tersebut tidak cukup untuk hewan tungganannya, maka diperbolehkan baginya bertayamum. Menurut kesepakatan para ulama, tidak perlu baginya mengulangi shalat. Yang demikian itu karena kepentingan manusia lebih dudahulukan daripada shalat. Dengan dalil, apabila seorang wanita muslimah melihat kebakaran atau mendengar orang yang dalam kesulitan meminta tolong bersamaan ketika ia sedang mengerjakan shalat, maka ia harus membatalkan shalatnya. Sebagaimana hadits tentang pelacur yang menolong anjing kehausan yang diriwayatkan dari Abu Hurairan, dimana Rasulullah pernah bersabda:
“Ketika seekor anjing mengelilingi sebuah sumur dalam kondisi hampir mati karena kehausan, tiba-tiba seorang wanita pelacur dari Bani Israel melihatnya. Lalu wanita itu menanggalkan terompahnya dan memberi minum anjing tersebut dengan terompahnya itu, sehingga ia diberikan ampunan oleh Allah.” (HR Muslim)
Jika hal itu diberlakukan bagi seekor anjing, maka terhadap manusia adalah lebih diutamakan.
d. Apabila seorang wanita muslimah merasa takut terhadap bahaya yang akan menimpanya, seperti jika air yang ada dikuasai oleh laki-laki jahat, maka ia berada pada posisi tidak mendapatkan air, sehingga diperbolehkan baginya bertayamum dan tidak perlu mengganti shalatnya. Dalam hal ini karena ia mengkhawatirkan dirinya terjatuh dalam perbuatan yang akan merusak kehormatannya. Atau apabila ia mengkhawatirkan harata kekayaannya jika ditinggalkan untuk mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayamum. Atau apabila ia mengkhawatirkan hewannya akan lari atau dicuri jika ditinggal untuk mengambil air, maka diperbolehkan baginya bertayamum. Demikian juga apabila ia mengkhawatirkan anaknya akan diculik atau dibunuh, maka ia boleh bertayamum.
e. Apabila di sekitar tempat aira terdapat binatang buas, maka diperbolehkan baginya untuk bertayamum. Atau apabila ia melihat adanya sumur yang lain, akan tetapi kesulitan untuk mengambil air darinya, maka diperbolehkan baginya membasahi kain suci, lalu mengusapkan ke bagian yang harus dibasuk dalam wudhuÂ’.
f. Wanita musafir yang tidak mendapatkan air. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
“Apabila kalian sakit atau perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh wanita, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci).” (qs Al-maidah:6)
Cara bertayamum:
Tayamum itu dilakukan dengan cara menepuk kedua tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan, kemudian mengusapkannya ke wajah dan kedua tangan, sebagaimana sabda Rasulullah dalam sebuah hadits tentang kisah Ammar:
“Sebenarnya cukup bagimu begini, seraya menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dan mengusapkan ke wajah serta kedua tangannya.” (HR Muttafaqun’Alaih).
Apabila seorang wanita muslimah bertayamum lebih dari satu kali tepukan atau usapan, maka insya Allah hal itu diperbolehkan. Sedangkan bagi wanita muslimah yang mengusap tangan lebih dari batas pergelangannya, maka tayamumnya tetap dibenarkan.
Demikian; WallahuÂ’alam
Semoga bermanfaat
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
Sumber:
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, “Fiqih Wanita” edisi lengkap, penerbit: A-Kautsar, jakarta.
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, “Fiqih Empat Madzab”, penerbit: hasyimi Press.
Drs. H. Syahminan Zaini & H. Masturah Wanzhik, “Tuntunan Wudhu, Tayyamum dan Shalat.”, penerbit: Kalam Mulia.
[ 0 komentar]
|
|