[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Suami tidak Bertanggung Jawab
Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004

assalamualikum , Ibu Ade
Saya seorang muslimah dengan 3 orang anak. Saya juga sedang kuliah saat ini (walaupun usia saya sudah memasuki kepala 3 tapi semangat saya untuk belajar masih ada).
Saya juga seorang karyawati di sebuah perusahaan asing. Saya mulai mendalami islam baru-baru ini artinya menjalankan semua yang di perintahkan oleh
Allah termasuk berjilbab sebab saya menyadari kelak saya akan pergi jauh dan harus mempersiapkan bekal untuk perjalanan abadi yaitu berupa amal sholeh (insyaAllah).
Begini Ibu sebenarnya ini masalah hubungan saya dan Suami saya yang kadang kurang harmonis, membuat saya sedikit pusing. Sedikit riwayat perjalanan perkawinan saya : Saya menikah tanpa proses pacaran (memang sudah niat saya semenjak gadis). akhirnya
ibu saya menjodohkan saya dengan orang yang tidak saya kenal dan menjadi suami saya
saat ini.
Masalah mulai timbul Ketika anak-anak mulai lahir. Saya mulai melihat cara hidup suami saya yang jauh dari islami. Saya sering bangun tengah malam untuk memohon kepada Allah agar dia di beri petunjuk ke jalan yang lurus, pola pikirnya mulai tidak saya pahami padahal saya sering sekali memberitahu dengan maksud tidak menggurui, apa, bagaimana seharusnya berumah tangga itu. Dia kadang tak pulang sampai berhari-hari, melalaikan kewajibannya sebagai suami, sebagai ayah dan menuduh saya berbuat macam-macam.
Kadang saya terluka dengan perkataannya apakah dia tidak melihat apa yang saya lakukan adalah untuk anak-anaknya juga termasuk dirinya? Saya harus menanggung finacial rumah tangga saya. Maaf ya bu mungkin email saya terlalu panjang, saya tak tahu lagi harus bagaimana ? Hubungan dia dengan orang tua saya kurang baik. Setiap sholat saya selalu memohon di mudahkan dari segala kesulitan dan di berikan kesabaran untuk ujian ini .
Barangkali ibu punya sumbang saran yang bisa menyejukan perasaan saya . Terimakasih banyak, mohon alamat email saya tidak di cantumkan
wassalam
jawab:

AssaamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ukhti saya kurang memahami isi email ukhti. Maksud saya, ada beberapa bagian yang tampaknya memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Seperti: alasan orang tua ukhti menjodohkan ukhti dengan suami ukhti dahulu (karena asumsi saya, jika orang tua menjodohkan anaknya dengan seseorang tentu didasari dengan pertimbangan tertentu. Tapi di email ukhti, ternyata keadaan suami ukhti di luar dugaan. Tidak punya pekerjaan, akhlak dan perilakunya “kurang islami”, belum bisa bersikap dewasa (ukhti menceritakan bahwa ukhti masih sering menasehati dia) dan bahkan di bagian akhir email ukhti katakan bahwa suami ukhti dan orang tua ukhti kurang baik. Lalu, bagaimana dahulu ibu ukhti bisa menjodohkan ukhti dengan beliau? Apa pertimbangan kelebihan suami ukhti sehingga ibu ukhti memilih dia sebagai suami ukhti?
Hal lain yang ingin saya ketahui adalah, ukhti belum menjelaskan lebih lanjut apakah ukhti sudah pernah menanyakan pada suami ukhti mengapa dia tidak pulang selama berhari-hari, apa saja kegiatannya selama itu? Apa pula tuduhan bermacam-macam yang dialamatkan pada ukhti selama ini?

Terlepas dari kekurang-jelasan saya pada hal-hal diatas, saya kagum pada ukhti.
Meski usia sudah berkepala tiga, tapi masih semangat untuk menimba ilmu, dan berusaha keras mengisi kekurangan suami dalam hal pemenuhan keuangan keluarga. Subhanallah, Allah sungguh Maha Adil, dimana Dia berikan kekuatan pada seseorang agar suatu keadaan yang pincang tidak menjadi jatuh. Alhamdulillah. Semoga ukhti bisa tetap menjadi ibu yang tegar dan kuat bagi anak-anak ukhti. Juga tetap mampu bersikap bersabar dan senantiasa bersyukur pada Allah. Aamiin. Saya percaya kok bahwa ukhti cukup matang untuk bersikap apa yang seharusnya selama ini sehingga saya tidak banyak memberi tanggapan pada kasus ukhti dalam hal ini. Hanya sekedar mengingatkan agar ukhti bersedia mengintrospeksi apakah yang “ada” dibalik semua tuduhan suami ukhti, dibalik semua sikap suami ukhti selama ini.

Saya kebetulan punya sebuah kasus (fakta) yang sangat menarik. Ada banyak hikmah yang bisa dipetik dari pengalaman teman saya tersebut.

Ada seorang muslimah dengan satu orang anak dan suami yang pengangguran. Muslimah ini seorang karyawati kantor juga lulusan perguruan tinggi. Entah bagaimana ceritanya, dia bersuamikan seorang yang bertolak belakang dengannya. Suaminya hanya lulusan sekolah menengah umum, pengangguran pula. Akhirnya muslimah itu berinisiatif, dari uang hasil tabungannya bekerja selama ini, dia belikan sebidang tanah kecil (3 x 4 meter persegi) lalu di atasnya didirikan sebuah kios penjualan. Lalu dia mengajak suaminya untuk berembug memulai usaha penjualan makanan, soto betawi. Akhirnya mereka memulai usaha tersebut. Karena mereka tidak punya pembantu rumah tangga, sebelum pergi ke kantor, pagi-pagi sekali muslimah tersebut sudah meracik bumbu-bumbu masakan dan mempersiapkan semua keperluan (suaminya tidak bisa memasak). Lalu dia ajarkan suaminya bagian akhir proses melengkapi kekurangan selanjutnya, penghangatan dan penghidangan. Akhirnya, sepanjang hari suaminyalah yang berdagang soto betawi. Memang tidak banyak pengunjung, tapi muslimah tersebut terus memberi semangat pada suaminya agar bersabar. Sampai akhirnya usaha keras tersebut membuahkan hasil. Mereka mulai memperoleh pelanggan dua – tiga orang. Memang keuntungan tidak banyak, tapi kerjasama mereka berdua sangat luar biasa.

Meski muslimah tersebut bisa dikatakan memegang sepenuhnya kendali vital dalam rumah tangganya, dia tetap memperlakukan suaminya dengan hormat. Baginya, suaminyalah yang utama dan tetap kepala keluarga. Dengan sabar, dia pompa semangat suaminya untuk memulai usaha, menjalankan usaha dan terus berusaha.

Hal yang menarik adalah, keunggulan yang dia miliki selama ini tidak menjadikannya merasa lebih tinggi. Sebaliknya, dia tetap melihat keunggulan suaminya dan memberi kesempatan pada sang suami untuk juga menggali potensi yang selama ini belum tergali. Dalam hal ini, sikap sabar dan senantiasa bersyukur yang dimiliki seseorang nyata mampu memberi kontribusi yang berarti untuk memberi kesadaran bahwa dia hidup berkelompok (keluarga) sehingga keberhasilan yang utama itu adalah keberhasilan kelompok (keluarga).

Hal menarik lain adalah proses pembagian tugas yang mereka lakukan berdua. Seperti, siapa yang mengepel lantai, siapa yang menyapu; siapa yang mencuci pakaian siapa yang menyetrika; siapa yang meracik bumbu, siapa yang menanak nasi; dll. Semua tugas-tugas ini memang remeh tapi adanya proses pembagian tugas ini mengisyaratkan bahwa dalam hal ini, suami istri punya kedudukan yang sama dan seimbang. Tidak ada yang punya kelebihan dan kekurangan. Semua sejajar. Hikmah lain dari kerja sama ini adalah, adanya kebutuhan bahwa mereka berdua saling membutuhkan satu sama lain dan inilah yang rasanya menjadi kunci dari semuanya. Yaitu menyuburkan perasaan saling membutuhkan satu sama lain. Jika saja ada satu pihak merasa bisa “mandiri” (karena memang kondisi memungkinkan untuk berbuat seperti itu) maka hampir bisa dipastikan bahwa akan ada pihak lain yang perlahan menarik diri karena merasa kehadirannya tidak dibutuhkan.

Itulah sekelumit kisah tentang teman muslimah saya. Semoga bisa diambil hikmah dan manfaatnya.

“Maka sesungguhnya beserta kesukaran ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesukaran ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), maka kerjakanlah (urusan yang lain) dengan sungguh-sungguh dan hanya kepada Tuhanmu hendaknya engkau berharap.” (Qs Al Insyiraah [94]: 5-8).

Semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ade Anita

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved