[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Perlukah Ijin Suami Pada Penggunaan Gaji Saya Sendiri
Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004

Assalamu'alaikum wr.wb Mbak Ade Anita

Saya seorang wanita yg bekerja si sebuah BUMN di Denpasar, begitu juga suami, hanya di BUMN yg berbeda. Kebetulan penghasilan saya sedikit lebih besar dari penghasilan suami. Suami tetap memberikan nafkah keluarga, sedangkan penghasilan saya ditabung. Tiap bulannya saya masih mengirim uang untuk bantu orangtua saya yg jumlahnya tiap bulan tidak sama, kadang saya bilang ke suami, kadang juga ngga bilang soal jumlahnya.

Saya anak tertua di keluarga, maka sering diminta bantuan materi oleh keluarga (orangtua ataupun saudara). Utk bantu mereka kadang saya ngga bilang suami karena takut suami nggak setuju dan marah. Mbak Ade, benar ngga sikap saya ini yg ngga bilang sama suami, trus terang saya kadang merasa tidak jujur terhadap suami.

Perlu diketahui, suami saya itu sifatnya sangat keras (bukan bermaksud menjelekkan suami). Kalau sudah benci seseorang walaupun hanya anak kecil umur 3 thn, dia sulit berubah. Agustus nanti InsyaAllah adik saya menikah di Depok-Jkt (rumah ortu saya), tapi saya tidak boleh datang hanya krn anak kami masih terlalu kecil (4,5 bln agustus nanti). Saya boleh datang asalkan tidak bawa anak kami, menurut saya itu ngga mungkin krn saya menyusui. Menurut Mbak Ade saya harus bersikap gimana ? Adik saya sangat mengharapkan saya hadir krn saya kakak satu-satunya. Trus kalo boleh saya juga ingin tau doa melembutkan hati. Mohon dijawab ya Mbak 2 pertanyaan saya tadi. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu'alaikum wr.wb.


Jawab:

AssaamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Untuk urusan gender (peranan pria dan wanita), dibanding agama lain, Islam sangat menghargai kedudukan wanita dan menjunjung tinggi martabat wanita dengan cara memberikan batasan tegas pada hak-hak dan kewajibannya, juga memberikan perlindungan pada wanita dalam menjalankan hak dan kewajibannya.

Islam dengan tegas mengatakan bahwa lelaki itu adalah adalah pemimpin dalam keluarganya dan mempunyai kewajiban untuk memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarganya. Mulai dari makan hingga acara rekreasi. Sebaliknya, kaum wanita, tidak diberikan kewajiban ini. Kaum wanita diberi kewajiban untuk menjaga dan mengatur rumah tangganya. Mulai dari pengasuhan anak hingga pengaturan harta suaminya. Lebih dari itu, wanita (baca=ibu rumah tangga) masih memiliki hak (bagian) atas harta suaminya. Dimana dia berhak atas sebagian kecil harta tersebut yang dapat dia gunakan untuk keperluan pribadinya (dan ini tetap berlaku meski dalam keadaan si istri lebih kaya daripada si suami).

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa: 34)

Karenanya, tidak ada kewajiban bagi seorang istri untuk membiayai rumah tangganya, bahkan tidak ada kewajiban bagi seorang istri untuk membiayai dirinya sendiri, sebagaimana telah menjadi ketetapan di dalam syariat Islam.

Jadi, seorang istri boleh saja membantu suaminya dalam membiayai kehidupan rumah tangga mereka atas dasar sukarela dan sudah barang tentu hal itu termasuk bagian dari moral memberi manfaat bersama; tapi bukan kewajiban dan atas dasar paksaan sekalipun wanita tersebut kaya dengan warisan atau usahanya. Jadi wanita yang bekerja dan ikut andil dalam membiayai rumah tangganya, dianggap baik, terutama apabila tugas dan pekerjaannya di luar rumah mampu membiayai rumah tangga untuk mengambil pembantu, baby sitter serta biaya-biaya tambahan lainnya untuk kepentingan keluarnya istri, transportasi dan sebagainya. Termasuk untuk keperluan sosial dan sedekah dalam rangka menambah tabungan akhirat bagi dirinya sendiri kelak.

Termasuk disini adalah jika si istri berkeinginan untuk memberikan sedekah sekedarnya bagi keluarganya dari hartanya sendiri tersebut. Dia boleh saja memberikan sedikit atau sebagian hartanya untuk sedekah bagi keluarga dan kaum kerabatnya, dengan atau tanpa izin suaminya, karena itu memang haknya. Hanya saja, untuk menghindari fitnah dikemudian hari dan untuk menjaga keharmonisan (rasa saling percaya) hendaknya istri memberitahu suaminya apa yang dia lakukan. Bisa dengan cara mengatakannya satu kali untuk kegiatan beberapa bulan yang rutin (misalnya, “Mas, aku tiap bulan insya Allah menyisihkan uang dari gajiku sendiri sebesar Rp 150.000 untuk ayah dan ibuku guna memenuhi kebutuhan bulanan mereka, karena mereka sudah pensiun dan tua”)… bisa juga dengan cara mengatakannya tiap-tiap kali akan menyisihkan uang, (misalnya: “Mas, bulan ini mungkin insya Allah aku akan memberikan uang sebesar Rp 150.000 dari gajiku sendiri untuk adik-adikku sekolah karena bulan ini mereka memasuki tahun ajaran baru jadi memerlukan pengeluaran ekstra lebih banyak.”).

Kalimat yang saya utarakan diatas, mengandung beberapa penekanan.
Pertama, penting untuk mengatakan besarnya uang yang akan diberikan/disedekahkan (sebesar p 150.000Â…). Sehingga menjadi jelas berapa bagian yang keluar.
Kedua, penting untuk mengatakan sumber uang itu berasal (“..dari gajiku sendiri..). Sehingga tidak ada kecurigaan dari pihak manapun tentang asal muasal uang tersebut dan karenanya sangat penting bagi para istri yang bekerja untuk membuka rekening yang terpisah dengan suami dimana rekening tersebut khusus untuk hartanya pribadi (sedangkan rekening suami berasal dari harta yang diperoleh oleh suami dimana dua pertiganya adalah hak istri dan anaknya).
Ketiga, penting untuk mengatakan keperluan uang tersebut dikeluarkan (“… untuk adikku sekolah karena bulan ini mereka …”. Hal ini mengandung beberapa manfaat, pertama suami menjadi tahu bagaimana kondisi sesungguhnya dari keluarga istrinya sehingga diharapkan bisa membantu suami untuk memperbesar kecintaan pada keluarga istrinya; kedua untuk memberikan gambaran bagi suami bahwa pekerjaan istrinya memberi manfaat bukan saja bagi istrinya tapi juga kaum kerabatnya; ketiga sebagai himbauan bagi suami untuk ikut tergugah menyumbangkan hartanya bagi mereka yang memang membutuhkan. Bukankah surga diperuntukkan bagi mereka yang beriman dan berbuat kebajikan? (lihat Al Baqarah:25).

Selanjutnya, dalam kasus ukhti, ada sebuah kehati-hatian lain yang juga harus dipikirkan dalam menghadapi larangan bagi ukhti untuk menghadiri pernikahan adik ukhti.
Pertama, anak ukhti yang masih bayi. Dengan apa ukhti akan menghadiri pernikahan tersebut (yang ada di Jakarta). Dengan pesawat terbangkah? Ada orang yang beranggapan bahwa bayi tidak bagus dibawa naik pesawat terbang. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Tapi kondisi di atas udara itu memang sangat tidak nyaman bagi seorang bayi, begitu juga dengan kondisi selama di perjalanan. Untuk itu, coba minta keterangan dokter dan konsultasi kesehatan dari dokter apa yang sebaiknya dilakukan jika bepergian membawa bayi. Ajak suami turut serta ke dokter anak dalam hal ini juga membantu guna memberikan gambaran pada suami tentang aman (atau tidaknya) bepergian dengan bayi. Hal ini juga berlaku jika ukhti melakukan perjalanan dengan jalan darat atau laut.

Begitu juga dengan pengasuhan si kecil selama di perjalanan dan acara berlangsung. Pada siapa si kecil akan diasuh jika acara pernikahan itu berlangsung (biasanya, di acara akad nikah, suasana hening dan hikmat sangat diinginkan oleh kedua mempelai dan orang tuanya, jadi sedini mungkin sudah harus dipikirkan antisipasi jika si kecil tiba-tiba rewel dan menangis keras). Lalu bagaimana antisipasi dalam menghadapi banyaknya tamu dan kerabat yang bertemu, karena tentu kehadiran si kecil merupakan kejutan bahagia tersendiri bagi mereka sehingga akan banyak tangan yang akan berebut untuk menggendongnya. Penting juga untuk memikirkan pemenuhan kebutuhan si kecil selama berlangsungnya keramaian dan kondisi berpindah-pindah tempat yang cepat sebagaimana lazimnya jika kita sedang berkunjung ke sanak famili di daerah lain. Hal ini bisa menyebabkan si kecil kelelahan dan mudah jatuh sakit.

Mungkin disinilah letak kekhawatiran suami ukhti jika si kecil dibawa turut serta menghadiri pernikahan adik ukhti. Untuk itu, mungkin ada baiknya ditanya dan dikomunikasikan lebih lanjut hal-hal tersebut dengan suami mengapa dia keberatan dan bicarakan juga bagaimana solusi dari kekhawatiran atas keberatannya tersebut. Untuk adik ukhti sendiri, bisa diberi pengertian tentang kondisi yang ukhti hadapi saat ini. Semata bukan hanya izin suami tapi juga kondisi si kecil. Bukahkah semua keadaan yang tidak diinginkan ini bukanlah disengaja adanya? Semoga adik ukhti bisa mengerti. Selain itu, jika ada kesempatan yang “tepat” tanyakan (coba cari tahu) apakah ada alasan lain dari keberatan suami ukhti, karena mengingat sifat suami ukhti seperti yang ukhti ceritakan, manatah tahu beliau ada mempunyai sebuah kesan (prasangka) yang sebenarnya bisa diklarifikasi oleh ukhti.

Doa untuk melembutkan hati:

“Rabbisyrah lil shadrii, wa yassir lii amrii, Wahlul’uqdatam mil lisaanii, yafqahuu qaulii”
artinya: Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah segala urusanku. Lepaskanlah halangan dari lidahku, agar mereka memahami ucapanku.” (Qs Thaaha 20: 25-28).
Doa ini berasal dari Al Quran, jika ingin tahu penjelasan lebih lanjut dari doa tersebut silahkan baca artikel islami yang berjudul “Mohon Kelapangan Dada, Kemudahan Menyelesaikan Urusan dan Kemudahan Berbicara” di rubrik lain situs kafe muslimah ini.

Semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita





[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved