|
Jamak Maghrib dengan Isya Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004
Assalamu'alaikum Mbak Ade.
Saya ingin bertanya mengenai menjama'kan sholat. Begini, setiap hari saya dan suami bekerja pulang-pergi bersama dengan kendaraan pribadi. Rumah kami di Jatibening-Bekasi, sementara saya bekerja di daerah Karet Tengsin-Jakarta Selatan sedangkan suami di Matraman-Jakarta Timur. Dengan alasan untuk menghemat waktu (kantor suami lebih dekat dari rumah) maka suami didrop di kantornya dan saya terus menyetir sendiri ke kantor sehingga jarak dari rumah-kantor otomatis jadi lebih jauh karena agak memutar (kira2 25-30 KM). Demikian pula pulangnya saya memutar lagi untuk menjemput suami dulu ke kantornya baru pulang sama2.
Masalahnya kami jadi sering melewatkan waktu sholat magrib. Selain karena jarak tempuhnya, juga karena macetnya yang nggak ketulungan. Rata2 kami baru sampai rumah jam 19:15. Kadang2 kalau masih sempat biarpun sudah mepet sekali kami memaksa sholat magrib, kalau begitu bagaimana hukumnya ? Tetapi hal ini juga sulit dilakukan mengingat kami punya batita (16,5 bulan) yang langsung minta perhatian begitu kami pulang.
Terus-terang sebenarnya kami bisa saja berhenti sejenak ditengah jalan, mencari masjid untuk menunaikan sholat magrib. Tapi rasanya kami selalu ingin cepat2 pulang rindu bertemu si kecil.... (Wah!). Yah, habis bagaimana ya Mbak, kami kan sudah harus berangkat pagi2 sekali dan pulang juga sudah malam, jadi waktu untuk bertemu si kecil (jam tidur malamnya 20:00-06:00) juga minim banget paling2 hanya 1/2-1 jam sebelum berangkat & pulang kerja.
Bagaimana ya mBak Ade, apakah boleh kami menjama'-takhir-kan sholat magrib dg sholat Isya' setiap hari ? Atau bolehkah saya bertayamum dan sholat magrib di mobil saja ?
Kami sangat mengharapkan jawaban dari mBak Ade untuk menghilangkan keragu-raguan kami. Sebelumnya terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb
Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dalam bukunya, “fatwa-fatwa kontemporer” jilid 1, Qardhawy mengatakan bahwa para ulama Hanabilah memperbolehkan kaum muslimin menjama’ shalat zhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya karena suatu udzur.
Ini merupakan kemudahan. Diriwayatkan bahwa Nabi saw pernah menjama’ shalat padahal beliau tidak sedang bepergian dan tidak pula karena hujan. Lalu Ibnu Abbas ditanya oleh seseorang mengenai hal ini, “apa yang dikehendaki Rasulullah saw, dengan perbuatan menjama’ itu?” Dia menjawab, “karena beliau tidak ingin memberatkan umat beliau.” (HR Muslim dalam sahihnya).
Apabila suatu saat seorang muslim menemui kesulitan untuk melakukan shalat fardhu pada waktunya –seperti menghadiri suatu acara yang memerlukan waktu yang lama—maka ia diperbolehkan menjama’nya. Hanya saja hal ini tidak boleh dijadikan kebiasaan. (ibid).
Sesungguhnya kebolehan menjamaÂ’ itu jarang dan kemungkinannya sangat kecil, hanya dalam rangka menghilangkan masyaqqah serta kesulitan yang kadang-kadang dihadapi manusia. Sebagai contoh, seorang polisi lalu lintas yang mendapat giliran tugas pada waktu menjelang maghrib sampai setelah isya. Maka ia boleh menjamaÂ’ shalat maghrib dan isya, baik dengan jamaÂ’ taqdim maupun jamaÂ’ taÂ’khir, sesuai dengan kemampuannya. Atau seorang dokter yang sedang mengobati pasien yang tidak dapat ditinggalkan (misalnya operasi dan sebagainya), maka dalam keadaan seperti ini dia boleh menjamaÂ’ shalat dengan jamaÂ’ taqdim atau jamaÂ’ taÂ’khir. Ini termasuk kemudahan yang diberikan syariat islam kepada pemeluknya untuk menghilangkan kesulitan mereka.
Selanjutnya Qardhawy mengatakan bahwa: Adapun mengikuti pesta atau upacara atau acara-acra lain saya tidak memandang hal ini sebagai darurat atau sebagai alasan untuk menjamaÂ’ shalat selama dia masih mempunyai kesempatan untuk menunaikannya di sela-sela acara tersebut. Dan seorang muslim hendaklah tidak merasa malu untuk melaksanakan shalat, karena malu yang berhubungan dengan melaksanakan shalat sama sekali tidak dibenarkan, dimanaoun tempatnya. Bahkan wajib baginya menjadikan dirinya sebagai teladan yang baik bagi orang lain dalam hal melaksanakan shalat. Dengan demikian, orang lain menjadi mengerti dan sadar akan keewajiban melakukan shalat sebagai syiar Allah yang harus ditampakkan dan diagungkan.
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al Haji:32)
Kebetulan, saya sendiri (Ade Anita) tinggal di Jakarta juga dan punya sepupu di daerah Cikunir sana. Saya paham dengan kondisi yang ukhti hadapi bersama suami. Tapi, dalam pengamatan saya, sebenarnya kesulitan yang ukhti paparkan itu bukan kendala tanpa jalan keluar. Ada beberapa mesjid besar yang letaknya di pinggir jalan yang bisa ukhti mampiri. Untuk menghemat waktu., ukhti bisa mengambil wudhu dahulu sebelum keluar dari gedung kantor, lalu menjemput suami dan di perjalanan ketika waktu shalat tiba mampirlah ke masjid terdekat yang ada di pinggir jalan dan langsung dirikan shalat. Hanya sebentar kok ukhti, mungkin lebih lama jika harus mengantri di gerbang bayar tiket tol Jati Bening. Barulah kemudian ukhti melaju pulang.
Tentang kerinduan pada si kecil yang baru berusia 16,5 bulan, saya mengerti sekali kerinduan tersebut. Tapi harus diingat bahwa sesungguhnya si kecil itu adalah amanah Allah yang dititipkan untuk ukhti didik dia agar menjadi seorang muslim(ah) yang memiliki kecintaan untuk mengagungkan syiÂ’ar-syiÂ’ar Allah di muka bumi ini, yang kelak diharapkan akan mampu meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Artinya, dengan mendahulukan kewajiban shalat maka ukhti secara otomatis sedang memberi contoh pada si kecil bahwa bagaimanapun keadaannya, shalat itu haruslah diutamakan. Kelak si kecil akan mengerti bahwa keterlambatan ibu dan ayahnya pulang bukan karena jalan-jalan tak berguna tapi karena orang tuanya melakukan shalat dahulu di masjid terdekat di pinggir jalan. Jika si kecil besar nanti maka contoh yang telah tertanam sejak dini ini insya Allah akan ditirunya.
Demikian semoga bermanfaat
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|