|
Menyanggah penafsiran yang Merendahkan Wanita Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Wednesday, 03 March 2004
Pertanyaan:
Siapakah yang dimaksud dengan sufaha dalam firman Allah:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (sufaha) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa:5)
Majalah Al-Ummah nomor 49 memuat artikel Saudara Hanan Ilham, yang mengutip keterangan Ibnu Katsir dari pakar umat dan penerjemah Al Quran, Abdullah Ibnu Abbas, bahwa as-sufaha (orang-orang yang belum sempurna akalnya) itu ialah “wanita dan anak-anak”.
Penulis tersebut menyangkal penafsiran itu, meskipun diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Menurutnya, penafsiran tersebut jauh dari kebenaran, sebab wanita secara umum disifati sebagai tidak sempurna akalnya/bodoh (safah), padahal di antara kaum wanita itu terdapat orang-orang seperti Khadijah, Ummu Salamah, dan Aisyah dari kalangan istri Nabi dan wanita-wanita salihah lalinnya.
Sebagian teman ada yang mengirim surat kepada saya untuk menanyakan penafsiran yang disebutkan Ibnu Katsir tersebut. Apakah itu benar? Bagaimana komentar Ustadz terhadap hal itu?
Jawaban:
Penafsiran kata sufaha dalam ayat tersebut dengan pengertian yang dimaksud adalah kaum wanita secara khusus, atau wanita dan anak-anak, adalah penafsiran yang lemah, meskipun diriwayatkan daripakar umat, yaitu Ibnu Abbas r.a; walaupun sahih penisbatan kepadanya atau kepada penafsiran-penafsiran salaf lainnya.
Kebenaran yang menjadi pegangan mayoritas umat ialah bahwa penafsiran sahabat terhadap Al-Quranul Karim itu tidak secara otomatis menjadi hujjah bagi dirinya danmengikat terhadap yang lain. Ia tidak dihukumi sebagai hadits marfuÂ’, walaupun sebagian ahli pikiran ada yang beranggapan demikian. Ia hanya merupakan buah pikiran dan ijtihad pelakunya, yang kelak akan mendapatkan pahala meskipun keliru.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sendiri dan dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa “Tiap-tiap orang boleh diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw.(yang wajib diterima perkataannya).”
Doa Nabi saw untuk Ibnu Abbas agar Allah mengajarinya takwil, tidak berarti bahwa Allah memberinya kemaksumam (terpelihara dari kesalahan) dalam takwil yang dilakukannya, tetapi makna doa itu ialah Allah memberinya taufik untuk memperoleh kebenaran dalam sebagian besar takwilnya, bukan seluruhnya.
Karena itu, tidak mengherankan kalau ada beberapa pendapat dari ijtihad Ibnu Abbas mengenai tafsir dan fiqih yang tidak disetujui oleh mayoritas sahabat dan ummat sesudah mereka.
Kelemahan takwil yang dikemukakan Ibnu Abbas dan orang yang mengikutinya bahwa yang dimaksud dengan as-sufaha (orang-orang yang belum sempurna akalnya) adalah wanita atau wanita dan anak-anak, tampak nyata dari beberapa segi.
Pertama, bahwa lafal sufaha adalah bentuk jamak taksir untuk isim mudzakkar (laki-laki), mufratnya (bentuk tunggalnya) adalah safihu, bukan safiihati yang merupakan isim muannats (perempuan). Kalau mufradnya safiihatu, maka bentuk jamaknya adalah mengikuti jamak muannats, sehingga bentuk jamak lafal tersebut adalah safiihaatu atau safaaÂ’ihu.
Kedua, bahwa kata sufaha adalah isim zaman (kata untuk mencela), karena arati kekurangsempurnaan akal dan buruk tindakannya. Karena itu, kata-kata ini tidak disebutkan dalam Al Quran melainkan untuk menunjukkah celaan, seperti dalam firman Allah:
“Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman,” mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?”. Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (Al-Baqarah:13)
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (Al-Baqarah:142)
Apabila lafal sufaha itu untuk mencela, maka bagaimanakah manusia akan dicela karena sesuatu yang tidak ia usahakan? Bagaiman seorang perempuan akan dicela karena semata-mata ia perempuan, padahal ia bukan yang menciptakan dirinya, melainkan ia diciptakan oleh Penciptanya? Allah berfirman:
“…sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…” (Ali Imran:195)
Dan disebutkan dalam suatu hadits:
“Sesungguhnya wanita adalah belahan (mitra) laki-laki.” (HR Ahmad bin Hanbal 6:256 dan Baihaqi I:168. Disebutkan pula dalam kanzul ‘Ummal nomor 45559)
Demikian pula halnya anak-anak. Allah menciptakan manusia dari kondisi yang lemah dan dijadikan-Nya kehidupan itu bertahap, dari bayi berkembang menjadi kanak-kanak, kemudian meningkat remaja lalu dewasa. Sebab itu, bagaimana mungkin seorang anak akan dicela karena ia masih kanak-kanak padahal ia tidak pernah berusaha untuk menjadi kanak-kanak (melainkan sudah merupakan proses yang ditetapkan Allah)?
Kalau kita kembali kepada tafsir-tafsir modern, akan kita dapati semuanya menguatkan pendapat Syekhul Mufassirin, Imam ath-Thabari. Dalam tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid Ridha disebutkan:
“yang dimaksud dengan as-sufaha di sini ialah orang-orang yang pemboros yang menghambur-hamburkan hartanya untuk sesuatu yang tidak perlu dan tidak seyogyanya, dan membelanjakannya dengan cara yang buruk dan tidak berusaha mengembangkannya.”
Beliau (Rasyid Ridha) juga mengemukakan perbedaan pendapat di kalangan salaf mengenai maksud lafal sufaha. Kemudian beliau menguatkan pendapat yagn dipilih Ibnu Jarir (ath-Thabari) bahwa ayat itu bersifat umum, meliputi semua orang yang kurang akal, baik masih kanak-kanak maupun sudah dewasa,laki-laki maupun perempuan.
Ustadz al-Imam (Muhammad Abdud) berkata, “Dalam ayat-ayat terdahulu Allah menyuruh kita memberikan kepada anak-anak yatim harta-harta mereka dan memberikan kepada orang-orang perempuan akan mahar mereka. Dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kebiasanmu)…” (an-Nisa:5)
Al-Imam mensyaratkan kedua hal di atas. Artinya, berikanlah kepada setiap anak yatim akan hartanya bisa telah dewasa, dan berikan pada tiap-tiap perempuan akan maharnya, kecuali apabila salah satunya belum sempurna akalnya sehingga tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik. Pada kondisi demikian kamu dilarang memberikan harta kepadanya agar tidak disia-siakannya, dan kamu wajib memelihara hartanya itu sehingga ia dewasa.
Perkataan amwaalakum (hartamu) bukan amwaalahum (harta mereka), yang berarti firman itu ditujukan kepada para wali,se dangkan harta itu milik as-sufaha yang ada di dalam kekuasaana mereka, menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa apabila harta itu habis dan tidak ada sisanya bagi si safih (anak yang belum/kurang sempurna akalnya) untuk memenuhi kebutuhannya, maka wajib bagi si wali untuk memberinya nafkah dari hartanya sendiri. Dengan demikian, habisnya harta si safih menyebabkan ikut habis (berkurang) pula harta si wali. Alhasil, harta si safih itu seakan-akan haratanya sendiri.
Kedua, bahwa apabila as-sufaha itu telah dewasa dan harta mereka masih terpelihara, lantas mereka dapat menggunakannya sebagaimana layaknya orang dewasa (normal), dan dapat menginfakkannya sesuai dengan tuntunan syariat untuk kemaslahatan umum atau khusus, maka para walit itu juga mendapatkan bagian pahalanya.
Ketiga, kesetiakawanan sosial dan menjadikan kemaslahatan dari masing-masing pribagi bagi yang lain, sebagaimana telah kami katakan dalam membicarakan ayat-ayat yang lain.” (Tafsir al-Manar4: 379-380)
Sumber: DR Yusuf Qardhawi, “Fatwa-Fatwa Kontemporer” jilid 2, Penerbit: Gema Insasi Press.
[ 0 komentar]
|
|