[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Seputar Ritual Penyambutan Si Kecil (1)
Oase Ilmu - Wednesday, 03 March 2004

Kafemuslimah.com Bagi banyak pasangan (keluarga) kehadiran anak selalu merupakan sesuatu yang disambut dengan rasa suka cita. Di Indonesia pada khususnya dan di seluruh pelosok penjuru dunia, ada ritual-ritual tertentu untuk menyambut kehadiran seorang anak. Berikut ini adalah pandangan dari sudut syariat Islam dalam memandang ritual-ritual tertentu, khususnya yang lazim diadakan seperti masalah meng-adzankan bayi dan perayaan aqiqah. Tulisan ini saya sadur dari sebuah buku “Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama” yang ditulis oleh Abdul Qadir Hassan (almarhum), seorang ulama terkenal di Indonesia yang kritis melihatnya melalui berbagai macam tinjauan hadits dan riwayat yang terkait dengan masalah yang akan kita bahas.

I. Tentang Mengadzankan anak-anak.
Diriwayatkan:
1. Artinya: Telah berkata Abu Rafi: “Saya lihat Rasulullah saw adzankan sebagaimana adzan sembahyang di telinga Hasan bin Ali di wakatu diperanakkan dia oleh Fathimah.” (R. Tirmidzi).
2. Artinya: Telah Abu Rafi: “Saya lihat Rasulullah adzankan di telinga hassan dan hussain ra.” (R. Hakim, Baihaqi, Thabarani)
3. Artinya: Sabda Nabi saw: “Barang siapa dapat anak, lalu ia adzankan di telinga kanannya dan ia Qamatkan di telinga kirinya, niscaya tidak diganggu dia oleh (jin wanita yang dinamakan) Ummushshibyaan. (HR Ibnu Suni).

Tiga hadits yang tersebut di atas itu, dianggap lemah oleh ahli-ahli hadits sebagaimana tersebut di Nailul-Authar dan Al-JamiÂ’ush-Shaghir.

Sepanjang riwayat, tidak terdapat sahabat-sahabat Nabi saw mengerjakan adzan atau qamat tersebut; begitu juga TabiÂ’in dan imam-imam mujtahidin.
Hanya ada riwayat, bahwa Hasanul-Bahri menyunatkan adzan di telinga anak-anak yang baru lahir, dan Umar Bin Abdul Azis meng-adzankan dan meng-qamatkan anak-anaknya yang baru lahir. Tetapi perbuatan seorang TabiÂ’in saja tidak jadi alasan dan menurut pemeriksaan ahli hadits, bahwa kabar yang diriwayatkan tentang Umar Bin Abdul Aziz itu tidak shah.

Karena itu maka kita tidak boleh mengerjakan pekerjaan meng-adzankan atau meng-qamatkan anak-anak yang baru lahir.

Ringkasnya, tidak ada riwayat yang shah tentang adzan dan qamat, melainkan buat sembahyang fardhu.
Adapun adzankan anak-anak, adzankan mayit, adzan waktu rumah terbakar itu tidak shah riwayat-riwayatnya malahan ada yang palsu.

II. Tentang memberi makan-makanan yang manis kepada anak-anak yang baru lahir.

Diriwayatkan:
4. Artinya: Telah berkata Abu Musa: “Saya dapat seorang anak laki-laki, lalu saya bawa dia kepada Nabi saw, kemudian ia namakan Ibrahim dan ia gosok langit-langit mulutnya dengan kurma dan ia do’akan anak itu supaya berbahagia, lalu ia serahkan kepada saya.” (SR Bukhari)
5. Artinya: Abu Thalhah pernah membawa seorang anaknya yang baru lahir kepada Nabi saw , maka ia ambil anak itu dan bertanya: “Adakah apa-apa (yang kamu bawa) bersama anak ini?” Mereka jawab: “Ada beberapa biji kurma” lalu ia ambil kurma itu dan ia mamah, kemudian ia keluarkan dari mulutnya, dan ia masukkan ke mulut anak itu, lalu ia gosokkan di langit-langit mulutnya dan ia namakan dia Abdullah. (SR Bukhari)

Dengan dua hadits itu, kita dapat mengetahui bahwa satu di antara sunnah Nabi terhadap anak-anak yang baru lahir, ialah menamakan anak yang dibawakan kepadanya dan juga menggosok-gosok langit-langit anak-anak itu dengan benda-benda yang manis seperti kurma dan sebagainya, dan mendoÂ’akan selamat dan bahagia.

Tetapi sekarang, oleh sebab Nabi kita saw sudah tidak ada, maka siapakan yang boleh menggantikannya di dalam hal tersebut?

Kebanyakan ulama memandang bahwa kalau kita dapat anak, sunnat kita bawa kepada seorang alim (atau kita undang orang alim itu ke rumah kita) buat diberinya nama dan digosok-gosokkan benda-benda seperti kurma dan sebagainya.

Pada pandangan saya (A.A. Hassan yang menulis artikel tersebut, penj), tidak lain yang patut menjadi ganti Nabi saw melainkan orang-orang alim yang shaleh dan yang berakhlak sebaik-baiknya.

Orang alim ini kalau dibawakan anak atau diundang ke rumah yang baru melahirkan anak, maka patutnya ia beri nama yang baik dan mendoÂ’akan supaya selamat dan menjadi orang yang baik.

Adapun tentang memasukkan barang yang manis ke mulut anak-anak dan menggosokkan ke langit-langit itu, kalau mau juga dikerjakan, hendaklah dengan barang yang lembek-lembek seperti pisang dan sebagainya, dan hendaklah tangannya dicuci bersih-bersih lebih dahulu, dan janganlah ia mamah atau kunyah lebih dahulu makanan yang hendak digosokkannya dan dimasukkan ke mulut anak-anak itu karena mulutnya dan air mulutnya tidak sama dengan mulut dan air mulut Nabi yang suci yang dipimpin oleh wahyu.

Disini bisa jadi timbul pertanyaan, apa guna menggosok-gosokkan dan memasukkan makanan manis ke mulut anak-anak yang baru lahir.

Untuk menjawabnya, saya berkata, bahwa perbuatan itu mungkin berhubungan dengan kesehatan yang bisa diketahui dengan ilmu kedokteran, dan mungkin berhubungan dnegan kesehatan ruhani yang tidak dapat diketahui melainkan oleh utusan Allah, dan mungkin juga berhubungan dengan kedua hadits tersebut.

Sekiranya ilmu kedokteran belum mendapatkan kebaikan dari perbuatan itu, maka yaitu tidak berarti perbuatan itu salah, tetapiu berarti ilmu kedokteran belum sampai disitu.

Misalnya, babi sebelum ilmu kedokteran mempunyai teropong-teropong halus dan ilmu-ilmu yang tinggi sepreti sekarang, tentu tidak diketahui sebab-sebah haramnya, tetapi sekarang ilmu-ilmu itu mengakui bahaya-bahayanya daging babi itu untuk dimakan. Begitu juga bekas mulut anjing, dengan perantaraan teropong-teropong halus, mereka dapat mengetahui bahaya-bahaya air bekas anjing bagi yang meminumnya dan ada beberapa banyak lagi hal-hal dahulunya tidak diakui oleh ilmu yang berhubungan dengan hal itu, tetapi sekarang diakuinya.

Ringkasnya, buat kita orang Muslimin, kalau sudah ada keterangan dari Quran dan Hadits yang shahih, maka kita kerjakan apa yang perlu dikerjakan dan kita jauhi apa yang perlu kita jauhi, maupun yang cocok dengan ilmu keduniaan ataupun tidak, karena agama kita ini dari Tuhan yang membuat semua ilmu-ilmu itu.

III. Tentang Hukum Aqiqah

Diriwayatkan:
6. Artinya: Beserta anak laki-laki itu ada aqiqahnya. Karena itu sembelihlah untuk dia. (HSR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi dan lain-lainnya).
7. Artinya: Tiap-tiap anak laki-laki tergadai dengan aqiqahnya. (HSR Tirmidzi, NasaÂ’I dan Ibnu Majah).
8. Artinya: Barang siapa suka hendak beraqiqah untuk anaknya, bolehlah ia perbuat. Untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk anak putri satu kambing. (HSR Ahmad, Abud Dawud, dan NasaÂ’I)
9. Artinya: Telah berkata Anas: “Sesungguhnya Rasulullah saw telah beraqiqah untuk dirinya sesudah dirinya jadi Rasul.” (R. Baihaqi)

Menurut keterangan yang ke 6, kelihatan bahwa aqiqah itu wajib, karena ada perintah dengan perkataan “Sembelihan” dan keterangan yang ke 7 itu hampir menunjukkan kepada wajib, karena anak tergadai itu sepatutnya ditebus, dan tebusannya itu ialah aqiqahnya, tetapi karena keterangan yang ke 8 itu itu berkata, siapa suka boleh perbuat, maka terpalinglah arti wajib dari keterangan ke 6 dan ke 7 itu, kepada arti mustahab (sunnat).

Hadits yang ke 8 itu, di antara rawi-rawinya sungguhpun ada seorang yang bernama Amr bin Syu’aib yang dipandang lemah oleh sebahagian ulama hadits, tetapi kita pakai disini hanay sebagai penerangan bagi dua hadits yang bisa diartikan dengan arti wajib dan dengan arti mustahab (sunnat), meskipun beratnya ada kepada wajib; tambah pula, sepanjang pemeriksaan saya (AA Hassan, sang penulis artikel, penj) tidak terdapat sahabat yang mewajibkannya, hanya terdapat satu riwayat, bahwa Hasanul-Basri menganggap aqiqah itu wajib, sedang ulama dari zaman dahulu sampai sekarang menganggap aqiqah itu hanya sunnat, malah ada yang berkata: “Tidak sunnat dan tidak wajib” seperti Abu Hanifah dan lainnya.

Menguatkan tidak wajibnya aqiqah, ada satu hadits yang mashur, yaitu tatkala seorang Arab bertanya kepada Rasulullah adakah lain-lain kewajiban atas mengeluarkan harta untuk saya selain zakat itu? Maka sabda Rasulullah: Tidak ada!

Jadi, ringkasnya, aqiqah itu hukumnya tidak wajib, tetapi sunnat yang kuat atas orang yang mampu.

Adapun keterangan yang ke 9 itu lemah, tidak shah, malah ada ulama yang mengatakan hadits itu palsu.

Bersambung ke bagian kedua seputar ritual penyambutan si kecil.

Penyadur: Ade Anita
Disadur dari buku: A.A. Hassan, “Soal Jawab tentang berbagai masalah agama”, Penerbit: CV. Diponegoro, Bandung.

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved