|
Ustadzku Kuper Uneq-Uneq - Wednesday, 18 February 2004
Assalamualaikum wr.wb
hi semuanya.. saya monanya nih tapi aga2 aneh nanyanya gpp yah. Gini lo.. saya kadang suka aneh ngliat cowo2 muslim pada ga jumaatan. Trus yg menarik buat saya ampe ngebelain nanya2 kesini karena ada satu temen yg bilang bahwa kadang mo ke mesjid ustadznya ga asyiik katanya.
Kenapa..? saya bertanya, abis kadang ngejelasinya ga logis TERLALU DOGMATIS dan UNSUR PEMAKSAAN. Yang sangat terasa adalah doktrinisasi yang konservatif katanya...hihihi..Saya bingung, trus waktu saya ikut pengajian (saya baru sadar ) bahwa kadang2 si ustadz yg memberi pengajian terkadang tidak terlihat memiliki wacana yg cukup
(saya rasa ) karena terlalu mengandalkan pada Qur'an yg ada (bahasa tuhan ) yg saya sendiri merasa bahwa explanasi yg di berikan oleh sang ustad terlalu absurd dan mengambang (walau tdk semua ) dlm artian yg saya tangkep bahwa kebanyakan para ulama / ustadz yg turun gunung :)
dari pesantren mestinya juga memiliki penalaran yg moderat dan memiliki wawasan historis islam yg kuat.. dan memiliki kekuatan logika yg bisa di pertanggung jawabkan secara ilmiah , karena saya percaya islam adalah scientific religion bukan hanya kekuatan sebuah dogma yg absurd namun juga jelass!! gitu loo ... temen2. Kalo salah saya mohon ampun pada allah tapi aku rasa allah juga sedih kalau pembawa berita agamanya adalah orang yg tdk moderat dan kaku. Betapa sayang nya islam bila terjadi seperti itu ...
Wassalamualaikum wr wb
LADYSCULPTOR
segitu dulu
Jawaban :
AssalamuÂ’alaikum wr wb
Ukhti yang dirahmati Allah SWT
Maaf sebelumnya, karena tulisan kamu sudah saya edit dan perbaiki dulu. Hal ini mungkin disebabkan waktu kamu menulis kritik kamu di atas (itu kritik kan yah ? kritik merangkap pertanyaan..^_^), kamu lalai memperhatikan tanda baca (terutama tiga hal utama: titik, koma dan huruf besar) sehingga saya harus mengkira-kira dulu dimana jeda dan fokus utama kalimat kamu yang mengalir terus. Semoga edit yang saya lakukan tidak merusak maksud yang ingin kamu sampaikan.
HmmÂ… ngomong-ngomong soal edit-mengeditÂ… saya punya satu cerita (intermezzo sebentar yah). Sudah beberapa kali saya berusaha mengirim artikel ke sebuah media massa yang cukup terkenal. Kata orang, kalau kita mengirim ke sana dan dimuat, itu artinya tulisan kita bagus dan Te- O- Pe (alias top buanget deh). Teman-teman banyak yang memberi dukungan buat saya.
“Ayo Mbak Ade, kirim, tulisan mbak Ade lumayan deh rasanya.”
Wah, saya tentu saja makin semangat. Tapi, yang terjadi adalah, tulisan yang saya buat selalu ditolak dengan berbagai alasan (paling banyak alasan tata bahasa Indonesia). Pertamanya sih tentu saja sedih dan kecewa. Kedua dan ketiganya juga sedih dan kecewa. Keempat dan kelimanya, loh, kapan tidak sedih dan kecewanya yah ? Hehehe, memang sedih dan kecewa terus kok, habis ditolak terus sih. Hik..hik..hik.
Tapi ada satu pelajaran yang saya ambil dari peristiwa penolakan tersebut. Ternyata, dalam hidup ini cara seseorang memandang sesuatu itu dan cara dia memikirkan sesuatu itu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Saya sehari-harinya bergaul dengan teman-teman yang “bukan penulis”. Ada yang suster, calon bidan, programmer komputer, web designer, guru, dokter, notaris, akuntan dan bidang pekerjaan lain, kecuali penulis atau sastrawan. Dalam lingkungan seperti itu tentu saja semua artikel yang saya kirimkan pada mereka selalu dianggap bagus dan menarik. Otomatis saya merasa bahwa saya paling unggul dibandingkan yang lain (dan mulai sedikit GR bahwa saya termasuk berbakat dalam bidang tulis menulis).
Tapi, ternyata hal ini salah besar. Terbukti ketika saya masuk ke lingkungan dimana profesi penulis berkumpul di sana, apa yang saya miliki ini sama sekali tidak ada artinya. Jangankan bakat, wong menyusun kalimat saja masih dianggap lebih buruk dari para murid SMP yang belajar Tata Bahasa Indonesia (ada redaksi yang mengirim kritik atas tulisan saya dengan mengatakan: “Tulisan kamu lumayan hanya saja penggunaan tanda bacanya benar-benar harus diperhatikan. Tidak boleh titik lebih dari empat. Tidak boleh tanda seru dijajar lebih dari satu …dst.” Wah itu kan asli pelajaran tata bahasa waktu kita SMP yah? Duh, sampai malu sendiri, otomatis ketahuan kan bahwa waktu SMP suka tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar di muka kelas…ssttt, malu deh ).
Saya jadi teringat dengan kisah Nabi Musa as. Pada suatu hari Nabi Musa berdakwah di hadapan kaumnya dari Bani Israil. Nabi Musa berdakwah kepada mereka untuk mensyukuri nikmat dan karunia Allah. Mengerjakan perintah-Nya. Ungkapan-ungkapan kalimat yang disampaikannya begitu memukau hati mereka, sehingga mereka merasakan kesejukan siraman rohani di tengah-tengah jalan hidup masyarakat Israil yang sesat itu.
Sehabis pidato itu Nabi Musa ditanyai oleh salah seorang yang turut berkumpul bersama hadirin. Dia berkata:
“Wahai Musa,, siapakah yang paling pintar diantara hamba-hamba Allah di muka bumi ini?”
Nabi Musa menjawab: “Akulah orangnya!”
Memang, pada saat itu, hanya Nabi Musa yang berhasil membawa kaum Bani Israil kepada hidayah Ilahi. Dia pula yang telah menaklukkan FirÂ’aun dengan segala kekuasaan dan kesombongannya. Dia juga telah menaklukkan para tukang sihir istana sehingga mereka mengikuti agama Nabi Musa dan segala macam kelebihan lain.
Nabi Musa tidak sadar mengenangkan kalebihan dirinya dibandingkan dengan kaumnya itu. Dan tanpa sadar pula telah mengucapkan kata-kata sombong yang tidak sepantasnya diucapkan di hadapan orang banyak sebagai seorang Nabi. Maka datanglah wahyu Allah yang berupa teguran atas kekeliruan Nabi Musa tersebut.
Tuhan memperingatkan bahwa seluas apa pun ilmu pengetahuan Nabi Musa itu hanyalah karunia yang diberikan Tuhan kepada rasul-Nya. Tidak mustahil masih ada hamba-hamba Allah yang melebihi ilmu Nabi Musa. Untuk menyadarkan Nabi Musa dari kesalahannya maka Allah memerintahkan Nabi Musa untuk menemui hamba-Nya yang shaleh di tempat bertemunya dua lautan. Nabi Musa bertanya:
“Ya Allah, siapakah hamba-Mu itu? Dan di mana tempatnya? Lalu bagaimana aku dapat menemuinya?” (lihat quran al Kahfi/18: 60-82, juga lihat hadits Bukhari buku III no. 1485)
Singkat kata, akhirnya nabi Musa bertemu dengan orang shaleh yang tidak lain adalah nabi Khidir dan menyatakan keinginannya untuk berguru pada nabi Khidir. Nabi Khidir berkata pada nabi Musa:
“Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup bersabar diri bersamaku. Wahai Musa, sesungguhnya Allah telah mengajariku ilmu pengetahuan yang ghaib yang engkau sendiri belum diajari oleh-Nya. Sebaliknya, Allah juga telah mengajarimu ilmu-ilmu yang aku sendiri tidak diajari oleh-Nya.” Mendengar itu, nabi Musa berkata bahwa dia akan berusaha untuk bersabar dan tidak akan menentang dalam sesuatu persoalan apapun.
Lalu Nabi Khidir mengajukan syarat:
“Jika engkau ingin mengikuti aku maka janganlah sekali-kali engkau menanyakan sesuatu apapun, sampai aku sendiri menjelaskannya kepadamu.” Mereka pun naik perahu. Di dalam perahu Nabi Khidir bertanya pada Musa apakah dia melihat kakinya basah oelh air laut ketika naik perahu tadi? Nabi Musa menjawab bahwa benar kakinya basah sebatas mata kaki tapi kini sudah kering kembali. Mendengar itu, Nabi Khidirpun menjelaskan:
“Wahai Musa, ketahuilah bahwa perbandingan antara ilmu manusia dengan ilmu Allah Yang Maha Luas tidak terjajaki sebagaimana air laut itu. Sedangkan ilmu manusia hanyalah sebatas air yang membasahi kulit kakimu sebagaimana karunia-Nya kepada manusia. Dan oelh karena air laut yang menempel dikakimu itu kering kembali maka bersiap-siaplah dengan pertannggung jawabanmu kelak, sebab dia bakal meminta ilmu-Nya yang ada padamu sekarang (lihat Qur’an, al Kahfi/18: 109).
Setelah itu, ditengah perjalanan tiba-tiba nabi Khidir mengambil kampak dan merusak dinding perahu sehingga perahu yang bagus dan indah kini menjadi cacat dan jelek dipandang manusia. Nabi Musa kaget dan menegur tapi nabi Khidir mengingatkan Nabi Musa bahwa dia sudah sanggup untuk mau bersabar mengikutinya. Ternyata, Nabi Khidir merusak perahu itu karena di tengah laut ada perompak. Semula perahu itu akan dirampas dan dirampok oleh para bajak laut. Tindakan Nabi Khidir itu dimaksudkan untuk menyelamatkan perahu dan para awaknya hingga mereka akhirnya berhasil berlabuh di tepi pantai.
Kejadian aneh akan tindakan nabi Khidir tidak berhenti sampai disitu saja. Di tengah jalan, dia mencekik mati seorang anak kecil yang sedang bermain dengan temannya. Dia juga memperbaiki dinding rumah yang yang hampir roboh hingga tegak kembali tanpa meminta upah pada siapapun. Nabi Musa tidak sabar lagi dan bertanya. Maka diputuskanlah oleh Nabi Musa untuk bertanya. Pertanyaan ini juga menandai akhir perjumpaannya dengan Nabi Khidir karena Nabi Musa tidak sanggup bersabar mengikuti beliau.
Maka dijelaskanlah oleh Nabi Khidir tujuan-tujuan dari perbuatannya dan inilah yang membedakan antara Nabi Khidir dan Nabi Musa, yaitu ilmu yang dimiliki masing-masing memang berbeda. Sebelum berpisah, Nabi Khidir berpesan pada Nabi Musa untuk yang terakhir kalinya:
1. “Wahai Musa, pelajarilah ilmu-ilmu kebenaran agar kamu dapat mengerti apa yang belum kamu fahami, tetapi jangan sampai kamu jadikan ilmu-ilmu itu hanya sebagai bahan omongan.”
2. “Wahai Musa, jadilah kamu orang yang berguna bagi orang lain. Janganlah sekali-kali kamu menjadi orang yang hanya menimbulkan kecemasan diantara mereka hingga kamu dibenci oleh mereka. Jadilah kamu orang yang senantiasa menampakkan wajah ceria dan janganlah sampai mengerutkan dahimu kepada mereka. Janganlah kamu berkeras kepala, atau bekerja tanpa tujuan. Apabila kamu mencela seseorang hanya karena kekeliruannya saja, kemudian tangisilah dosa-dosamu, wahai Ibnu Imron.”
Titik. Itulah kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir (semoga bisa bermanfaat).
Selesai intermezzonya yahÂ…Maaf kepanjangan.
HmÂ… sekarang kita balik ke surat Ukhti yah. Tentang tidak shalat jumatnya teman ukhti karena ustadz yang tidak asyik kalau memberikan ceramah. Saya sama sekali tidak membenarkan perilaku tersebut. Ada berapa banyak mesjid di negara kita ? Di kota tempat kamu tinggal? Ada banyak bukan? Jika memang di masjid A, ustadznya tidak enak, carilah masjid lain. Shalat itu kan wajib, jadi tidak boleh ditinggalkan karena alasan apapun kecuali alasan darurat yang memang bisa ditoleransi dalam koridor syariat islam.
Setiap manusia itu punya karakter kepribadian yang berbeda-beda juga punya latar belakang ilmu yang berbeda-beda. Tapi justru keunikan yang berbeda-beda inilah yang memperkaya penyebaran ilmu pada tiap-tiap orang. Mungkin Ustadz A memilliki karakter serius, pilihan kalimatnya tidak banyak, tapi untuk suatu kelompok masyarakat tertentu, justru keunikan ustadz A inilah yang cocok bagi mereka dan kecocokan ini membuat pesan moral yang disampaikan oleh Ustadz A pada masyarakat yang didakwahinya bisa diterima. Sebaliknya, jika suatu hari didatangkan karakter yang berbeda dengan ustadz A (didatangkan ustadz B yang suka melucu, senang berbicara panjang lebar tentang kehidupan sehari-hari, dan sedikit menggunakan ayat dan hadits), meski ilmunya mungkin sebenarnya lebih banyak daripada ustadz A, bisa jadi pesan moral yang disampaikan oleh si Ustadz B tidak sampai ke benak dan pikiran masyarakat di daerah itu. Jadi semuanya itu sebenarnya terjadi atas perhitungan Allah yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap hambaNya.
Ilmu itu bisa kita peroleh darimana saja tapi jika ternyata kita sulit menerima suatu ilmu, bukan berarti penyampai pesannya yang kuper atau tidak pandai. Bisa jadi, ternyata kitanya mungkin yang belum bisa memahami apa yang dia ajarkan pada kita karena adanya keterbatasan kita yang tanpa sadar kita miliki karena perbedaan latar belakang ilmu, pengalaman dan pemahaman akan hikmah keseharian masing-masing. Atau bisa jadi juga terjadi hal lain yang memerlukan tindakan selanjutnya. Pindah tempat misalnya. Sama seperti anak usia 8 tahun yang sudah bisa membaca dan menulis. Jika saja tiap tahun dia ditempatkan di kelas satu SD terus, tentu dia merasa bahwa ilmu yang diberikan oleh gurunya di kelas tidak lagi memadai. Gurunya bukan orang bodoh tapi si anaklah yang sudah bertambah kepintarannya. Dalam hal ini anak tersebut harus pindah ke kelas dua SD dan mempelajari ilmu lain seperti berhitung dan ilmu lain.
Tapi saya juga setuju dengan kamu bahwa setiap kita hendaknya terus mengembangkan diri untuk maju dan berprestasi di segala bidang karena kita semua adalah duta Islam. Jika tiap-tiap duta Islam bodoh, maka dunia akan melihat bahwa agama Islam itu tidak menganjurkan ummatnya untuk pandai dan mereka punya kesempatan lebih banyak untuk menghina agama kita. Bukankah tugas sorang duta itu adalah memberikan citra dari apa yang diwakilinya, agar masyarakat luas menyadari keberadaan nama besar yang disandang oleh apa yang diwakili oleh dirinya ?
WassalamuÂ’alaikum wr wb [ 0 komentar]
|
|