|
Apa Saja Yang Boleh Dikerjakan Oleh Wanita? Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Wednesday, 03 March 2004
Kafemuslimah.com Pertanyaan: Bagaimana hukum wanita bekerja menurut syara`? Maksudnya: bekerja di luar rumah seperti laki-laki. Apakah dia boleh bekerja dan ikut andil dalam produksi, pembangunan dan kegiatan kemasyarakatan? Ataukah dia harus terus-menerus menjadi tawanan dalam rumah, tidak boleh melakukan aktivitas apapun? Sementara kami sering mendengar bahwa agama Islam memuliakan wanita dan memberikan hak-hak kemanusiaan kepadanya jauh beberapa abad sebelumbangsa barat mengenalnya. Apakah aktivitas yang ia lakukan itu tidak dapat dianggap sebagai haknya yang akan menjernihkan air mukanya, sekaligus dapat menjaga kehormatannya agar ketika menjadi barang dagangan yang diperjual-belikan seenaknya ketika dibutuhkan atau dikurbankan ketika darurat?
Mengapa wanita (muslimah) tidak boleh terjun ke kancah kehidupan sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita barat, untuk menjernihkan kepribadiannya dan memperoleh hak-haknya, agar dapat mengurus dirinya sendiri dan ikut andil dalam memajukan masyarakat?
Kami ingin mengetahui batas-batas syariah terhadap aktivitas yang diperbolehkan bagi wanita muslimah, yang bekerja untuk dunianya tanpa merugikan agamanya, lepas dari kekolotan orang-orang ekstreem yang atidak menghendaki kaum wanita belajar dan ikut bekerja serta keluar rumah walau ke masjid sekalipun. Juga jnauh dari orang-orang yang menghendaki agar wanita muslimah lepas bebas dari segala ikatan sehingga menjadi barang murahan di pasar-pasar.
Kami ingin mengetahui hukum syaraÂ’ yang benar mengenai masalah ii dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurang-ngurangkan.
Jawaban dari Qardhawy:
Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al Quran:
“… sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain….” (Ali Imran: 195)
Manusia merupakan makhluk hidup yang di antara tabiatnya ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak demikian, maka bukanlah dia manusia.
Sesungguhnya Allah ta’ala menjadikan manusia agar mereka beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk menguji siapa di antara mereka yang paling baik amalannya. Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal sebagaimana laki-laki –dan dengan amal yang lebih baik secara khusus— untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman) ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan…. “ (Ali Imran: 195)
Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Selain itu, wanita –sebagaimana biasa dikatakan—juga merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya dan tidak diberi sesuatu pun.
Hanya saja tigas wanita yang pertama dan utama yang tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik secara fisik maupun mental dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorangpun yang dapat menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini, yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannyalah pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan yang berupa manusia (sumberdaya manusia).
Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:
Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan
Jika Anda mempersiapkannya dengan baik,
Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.
Di antara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya, membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga terkenal dalam peribahasa, “ Bagusnya pelayanan seorang wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fisabilillah”.
Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan syaraÂ’. Karena tidak ada seorang pun yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syaraÂ’ yang shahih periwatannya dan sharih (jelas) petunjuknya. Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.
Berdasarkan prinsip ini, maka saya katakan bahwa wanita bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya dan dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.
Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita untuk bekerja, seprti membantu suaminya, mengasuh anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil, atau membantu ayahnya yang sudah tua –sebagaimana kisah dua orang putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al Quran surat Al- Qashash:
“… Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumi (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” (al-Qashash: 23)
Diriwayatkan pula bahwa Asma’ binti Abu Bakar –yang mempunyai dua ikat pinggang—biasa membantu suaminya Zuabir bin Awwam dalammengurus kudanya,menumbuk biji-bijian untuk dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas kepalanya dari kebun yang jauh di Madinah.
Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan laki-laki.
Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam kondisi darurat seyogyanya dibatasi sesuai dnegan kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.
Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib diikat dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan.Artinya, pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram seperti wanita bekerja untuk melayani laki-laki bujang atau wanita menjadi sekretaris khusus seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering berkhalwat (berduaan), atau karena menjadi penari yang merangsang nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras –padahal Rasulullah saw telah melaknat orang-orang yang menuangkannya, membawa dan menjualnya. Atau pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa mahram, bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.
2. Memenuhi adaab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam berpakaian, berjalan, dan melakukan gerak-gerik.
”Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya….”(An-Nur:31)
“..dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan….” (An-Nur: 31)
“..Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al Ahzab: 32)
3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikannya kewajiban-kewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti kewajiban terhadap suaminya atau anaknya yang merupakan kewajiban pertama dan tugas utamanya.
Wabillahi taufiq.
Diambill dari buku: Dr. Yusuf Qardhawi, “Fatwa-Fatwa Kontemporer”, jilid 2, Penerbit: PT Gema Insani Press, hal. 420.
[ 0 komentar]
|
|