[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Ucapkan Kalimat La Ilaha Illallah dan Beristiqamah
Oase Ilmu - Wednesday, 03 March 2004

Kafemuslimah.comSering kali kita merasa yakin bahwa apa yang kita lakukan sudah benar adanya. Karena keyakinan itu, lalu kita mulai merasa dan mengharapkan bahwa ganjaran yang akan kita terima tentu akan diberikan. Setidaknya mudah diraih. Satu hal yang tampaknya luput dari penilaian kita adalah, bahwa apa yang kita anggap benar itu masih bersifat subjekti atau sepihak, yaitu diri kita sendiri yang menilainya. Bisa jadi, penilaian yang kita berikan pada diri kita sendiri itu, belum tentu sebagus yang kita berikan. Cerita yang penuh hikmah berikut ini insya Allah berusaha memberi gambaran seperti tentang betapa bersifat subjektifnya penilaian yang diberikan oleh seseorang pada dirinya sendiri. Cerita ini aslinya dikarang oleh Dr. Musthafa Mahmoud dalam bukunya Lika-Liku Kehidupan. Selamat menikmati.

Orang itu tampak seperti mengidap suatu penyakit. Setiap kali ia duduk di tengah orang banyak, semua orang akan berkata kepadanya, “Busuk sekali baumu. Apakah kau tak pernah mandi?”

Sebenarnya ia telah berulang kali memeriksakan masalah yang dihadapinya. Semua anggota tubuhnya telah diperiksa oleh para dokter spesialis. Hidung, telinga, gigi, tenggorokan, lidah, jantung, lever, hingga rongga perutnya telah diperiksa, tetapi tak satupun mempunyai kelainan. Semua dokter mengatakan negatif. Setiap hari ia mandi beberapa kali. Seluruh badannya ia beri parfum yang mahal, tetapi tidak juga memberikan hasil. Bahkan baunya semakin menguat seperti bau bangkai. Semua kawan menjauhinyha, terlebih lagi lawannya.

Akhirnya ia menangis mengadukan nasibnya kepada orang saleh. Ia menceritakan apa yang dialaminya. Orang saleh itu kemudian menanggapi keluahannya dengan mengatakan, “Sebenarnya bau itu tidak berasal dari dalam tubuhmu, tetapi dari amal perbuatanmu.”

“Adakah amal perbuatan seseorang itu mengeluarkan bau?” tanya orang itu terkejut.

“Ini merupakan rahasia yang diungkap oleh Allah, sebagai tanda bahwa Allah sayang kepadamu dan menginginkan sesuatu yang baik bagi dirimu. Telah dibuka suatu jalan menuju pintu tobat bagimu.” Kata orang saleh itu.

“Sesungguhnya memang hidupku bergelimang dengan berbagai kejahatan. Mencuri, menipu, membungakan uang, berzina, mabuk, cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji.” Kata orang itu sejujurnya.

“Telah kuduga sejak semula, semua itu adalah bau tingkah lakumu.” Orang saleh itu menanggapi.

“Lalu, apa jalan keluarnya, Pak?”

“Perbaiki tingkah lakumu dan bertobatlah dengan sungguh-sungguh.”

Mendengar hal itu, orang tersebut melangkah pulang dengan penuh kesadaran dan kemantapan akan segala penyebab yang dideritanya. Sejak saat itu ia mulai bertobat. Ditinggalkannya semuya perbuatan yang terlarang. Namun, bau busuk belum juga lenyap dari badannya. Sambil menangis, ia kembali mengadukan nasibnya kepada orang saleh tersebut.

“Ketahuilah, sebenarnya yang kau lakukan baru pada tahap memperbaiki tingkah lakumu yang sekarang, tetapi amalanmu yang lampau bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Perbuatanmu yang lalu tak mungkin lepas dari perbuatanmu yang sekarang, kecuali karena suatu pengampunan yang datang dari Tuhan.”

“Lalu, cara apa yang harus kutempuh agar bisa mencapai pengampunan itu?”

“Perbanyaklah berbuat kebaikan karena hal itu bisa menghapus dosa-dosa masa lalu. Bersedekahlah, lakukan haji agar kau bisa menjadi haji mabrur yang terampuni seluruh dosamu, bagaikan seorang bayi suci yhang baru lahir dari perut ibunya. Perbanyak sujud kepada Tuhanmu. Sesalilah segala perbuatanmu yang lalu dan perbanyak istigfar.” Nasihat orang saleh itu.

Orang itu kemudian menyedekahkan hartanya. Ia melakukan ibadah haji. Ia bersujud di setiap sudut KaÂ’bah. Ia menangis terus-menerus menyesali perbuatannya dan melakukan semuanya tanpa henti. Namun, bau busuk badannya belum juga sirna, hingga ia terpaksa menyepi di sebuah kuburan lama. Ia bertekad tinggal di situ sampai datangnya ampunan dan kurnia Tuhan atas dirinya.

Pada malam pertama tidur di tempat itu, ia melihat semua mayat bangkit dan kabur beserta kain kafan mereka karena tak tahan bau busuk badannya. Lalu ia tersentak bangun dari tidur, matanya terbelalak ketika melihat semua liang lahat kosong ditinggal mayat-mayat yang dilihat dalam mimpinya. Ia segera bersujud, merintih, dan menangis hingga fajar. Ia baru sadar ketika orang saleh itu datang menegurnya.

“Tiada manfaat semua tangis dan rintihanmu, selama hatimu masih penuh dengan konflik. Kau menangis bukan menuduh dirimu, tetapi menuduh ketidak adilan Ilahi terhadapmu.” Kata orang saleh itu.

“Aku belum paham maksudmu, pak.”

“Sadarkah kau bahwa Tuhan tidak pernah berbuat tidak adil terhadap dirimu?”

“Hal ini belum kusadari.”

“Kalau begitu jelas sekali, kau telah meragukan keadilan Tuhan.” Orang saleh itu melanjutkan, “Kau telah menjungkirbalilkkan persoalan. Tuhan telah kau letakkan sebagai terdakwa dan dirimu sebagai orang yang diperkosa hak asasinya. Dengan demikian segala perbuatan baik yang selama ini kau lakukan bukannya mengurangi dosa-dosamu, tetapi menambah dosa baru.”

“Tapi aku merasa dizalimi!”

“Seandainya penglihatanku bisa menembus dinding gaib, wajar jika kau ditimpa siksa yang lebih mengerikan. Aku yakin Tuhan sangat mengasihanimu. Tapi, kau tidak menyadari kebodohanmu, bahkan berbalik menuduh Tuhan telah berbaut kejam terhadap dirimu. Beristighfarlah kau, mohonlah ampunan-Nya. Bersihkan hatimu dari prasangka terhadap Tuhan. Serahkan dirimu kepada-Nya. Sesungguhnya, segala amal ibadah hajimu, salatmu, puasamu dan tobatmu selama ini tidak mencerminkan dirimu sebagai seorang muslim.”

“Aku bukan seorang muslim, katamu?”

“Benar. Kau belum menjadi seorang muslim yang sejati selama kau belum berserah diri sepenuhnya terhadap Yang Maha Kuasa. Seseorang yang berserah diri tidak boleh menerima sebagian dan menolak sebagian lainnya dari setiap takdir Tuhan. Kita harus menempatkan sejajar antara permohonan kita yang tertolak dan yaung diterima oleh Tuhan. Setiap kenikmatan yang diberikan harus dipandang sama beratnya dengan keinginan yang tidak dikabulkan. Apabila kita dilimpahi nikmat, janganlah terlampau gembira, dan apabila keinginan kita tertolak, janganlah cepat-cepat mengumpat. Sifat diri Tuhan tidak pernah mengalami krisis. Ia selalu bersikap adil dalam segala situasi dan kondisi. Rahmat-Nya selalu berada pada setiap takdir. Katakan dengan penuh khidmat dan kejujuran, “La Ilaha Illallah. Tiada Tuhan selain Allah.” Setelah itu beristiqamahlah. Kerjakanlah segala perintah-Nya dengan penuh kejujuran. Demikianlah yang disebut Islam.”

“Tapi … setiap saat aku selalu mengucap La Ilaha Illallah,” sahutnya.

“Benar, tetapi semua itu hanya kau ucapkan di ujung lidahmu, tidak masuk ke hatimu. Tidak pula kau ungkap dalam sikap dan perbuatanmu.” Tegas orang saleh itu.

“Lalu, yang bagaimana lagi, Pak?”

“Kau suka membantah Tuhanmu, seakan kedudukanmu sejajar dengan-Nya. Kau berkata, ‘Aku sudah memohon ampunan, tetapi tidak disambut-Nya. Aku merintih dan menangis, tetapi tidak dikasihani-Nya. Di mana letak keadilan-Mu, ya Tuhan?’ Bukankah demikian perasaanmu?” kata orang saleh itu. Kemudian ditepuk-tepuknya bahu orang itu dan berkata dengan lirih tetapi mantap, “Hal seperti itu tidak bisa disebut bertauhid, Kawan. Mengesakan Allah adalah menjadikan iradat Allah sesuai dengan kehendak dan seleramu, dan segala apa yang dilakukan-Nya menjadi kecintaanmu, seakan tanganmu adalah tangan-Nya, lidahmu adalah lidah-Nya. Tauhid menyuruhmu berkata, ‘Ya’, melakukan segala perintah tanpa bertanya sebagaimana yang dilakukan para malaikat. Tiada Tuhan selain Allah. Tiada yang lebih adil, lebih rahim, dan lebih benar selain Dia. Dia senantiasa wujud, sedangkan kau musnah. Bagaimana mungkin yang musnah membantah Yang Wujud? Yang benar adalah semua yang musnah menerima segala macam uluran dari Yang Wujud agar bersujud, berterima kasih, serta bersyukur. Tiada lagi yang berwujude dan kekal kecuali Dia sendiri. Dia positif, selain-Nya negatif. Kebenaran-Nya mutlak, sedangkan selain-Nya salah.”

Orang tersebut menangis terisak-isak setelah mendengar kalimat yang bermakna dalam itu. Selama ini ia merasa belum pernah benar-benar hidup dan mengabdi kepada Tuhannya. Sekali lagi orang saleh ituberbisik kepadanya dengan mantap.

“Kini,kau telah menyadari semuanya. Bersiaplah dan katakan dengan penuh kesungguhnan dari lubuk hatimu yang paling dalam, La Ilaha Illallah … dan beristiqamahlah. Katakan, walau hanya sekali, tetapi dari lubuk hatimu yagn jernih.”

Seketika itu juga bau paling harum menyebar, seakan kebun dari surga turun ke bumi. Semua orang yang berpapasan dengan orang itu sangat terpukau.

“Sebenarnya siapakah orang itu? Dari mana datangnya malaikat yang menyebarkan bau yang teramat harum itu?”

Orang saleh itu kemudian menjawab, “Sesungguhnya, ia adalah orang yang telah mengenal kembali Tuhannya.”


---sekian---
Ditulis kembali oleh Ade Anita, mengutip dari buku: “Titik Jenuh Liku Liku Kehidupan” oleh Dr. Musthafa Mahmoud, penerjemah: Mustafa Mahdami, penerbit: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo.

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved