[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Mengapa Ada Masjid Yang Menerapkan Pemisahan Tempat Bagi Pria Dan Wanita?
Uneq-Uneq - Wednesday, 03 March 2004

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Mbak Ade, Terimakasih atas jawaban mbak yang bijaksana perihal menggambungkan waktu shalat. Sekarang saya dan suami selalu berusaha stop by di mesjid di jalan yang kami lewati. Sekarang, Ada pertanyaan berkaitan dengan mesjid yang biasa kami mampiri karena letaknya yang strategis, mbak. Di bilangan Jl. Raden Inten sebelah Pom Bensin -- cukup besar dg lahan parkir yang memadai, kenapa kok dipisahkan ya tempat sholat antara ikhwan dan akhwatnya ?

Maksud saya bukan hanya dipisahkan dengan separasi tapi dipisahkan bangunannya.Bangunan utama -- yaitu mesjid -- hanya dipakai untuk ikhwan, sementara akhwatnya disediakan bangunan lain (kesannya darurat dari triplek) terpisah agak jauh disamping mesjidnya. Masing2 pihak ikhwan & akhwat dilarang masuk ke bangunan lawannya. Saya tahu betul bangunan ini bukan untuk sementara krn saya pernah ditegur ketika akan masuk mesjid -- yang ternyata khusus u/ ikhwan.

Saya bingung dg cara yang tidak seperti pada umumnya. Selain itu juga terasa tidak nyaman karena bangunan untuk akhwat itu gelap, kurang terawat dan terutama sepi sekali (jadi agak seram). Mohon penjelasan mBak Ade sekiranya mbak Ade mengerti, kenapa mesjid ini (tampak) berbeda dari mesjid2 pada umumnya ?

Terimakasih atas jawaban mBak.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb. –R

Jawab:

AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dalam menerapkan syariat Islam, khususnya tentang pasal pergaulan pria dan wanita dan hal lain yang terkait pada masalah ini, telah terjadi tiga kutub yang berjauhan pada masyarakat kita. DI satu sisi, ada sebuah pemahaman yang cenderung untuk mengambil sikap hati-hati yang berlebihan sehingga menimbulkan kesan tentang kesempitan, kekerasan dan kepedihan dalam memeluk Islam dan citra yang timbul kemudian (yang sering diangkat oleh masyarakat barat khususnya para musuh islam, dalam usahanya untuk mendeskreditkan Islam) adalah sikap untuk memenjarakan para wanita Muslimah, sikap untuk merendahkan kedudukan para wanita muslimah dan menaruh prasangka buruk pada kaum wanita. Seakan-akan, para wanita muslimah tidak layak pergi dari rumahnya untuk bergaul dan bermasyarakat. DI kutub yang lain, justru muncul sikap yang terlampau permisif (serba membolehkan) sehingga menimbulkan banyak pembolehan, banyak kemudahan yang berlebihan dan cenderung mengabaikan dan mengucilkan nilai, etika dan akidah Islam itu sendiri (dan sekali lagi hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat barat, khususnya para musuh Islam, untuk menarik para kaum muslim/ah agar mereka jauh dari Islam). Sedangkan kutub yang terakhir adalah, kutub yang selalu berusaha mengambil jalan pertengahan, tidak condong ke kiri (berlebihan dalam kesukaran) atau condong ke kanan (berlebihan dalam kemudahan).

Sesungguhnya, Islam sendiri dalam hal ini memperhatikan perihal pergaulan pria dan wanita di berbagai segi kehidupannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus dipenuhinya atau lainnya.

Sebaik-baiknya petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi Muhammad saw, petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus dan sahabat-sahabatnya yang terpimpin. Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam pun dia akan tahu bahwa wanita meski diberi kebebasan tapi tetap dibatasi oleh nilai dan etika Islam yang mencoba menjaga kesucian dan martabat wanita muslimah.

Mengenai masalah pemisahan masjid seperti yang dikemukakan oleh ukhti mungkin kita bisa melihat berbagai literatur yang membahasnya. Sejak zaman Rasulullah saw dahulu, masjid merupakan salah satu sarana yang memberikan kesempatan bagi kaum wanita pada masa kenabian untuk memperdalam agamanya, mengikuti perlaksanaan shalat JumÂ’at dan jamaah serta berkenalan dengan saudara-saudara muslimah mereka yang shalihah.

Pada zaman Rasulullah saw, kaum wanita biasa menghadiri shalat berjamaah dan shalat jumat di masjid. Baliau saw menganjurkan wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris) belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa? Karena, dengan paling belakang mereka lebih terpelihara dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui bahwa zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum mengenal celana dalam. Bahkan ada satu masa dimana untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan antara laki-laki dan wanita yang shalat berjamaah di masjid (yang tiada pemisah itu), maka para wanita diperintahkan untuk menjaga pandangan mata mereka.

“Sahal bin Sa’ad ra, berkata: “Beberapa orang laki-laki shalat bersama Rasulullah saw. Mereka mengikatkan sarung ke lehernya karena pendeknya kain itu. Lalu kepada kaum wanita yang shalat di belakangnya dikatakan, “Janganlah kalian mengangkat kepala sebelum jamaah laki-laki itu duduk dengan sempurna.”” (HR Bukhari dan Muslim)

Pada zaman Rasulullah saw (jarak tempat shalat) antara laki-laki dengan perempuan memang tidak dibatasi dengan tabir sama sekali, baik yang berupa dinding, kain,kayu, maupun lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketka masuk maupun keluar, maka Nabi saw bersabda:“Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita.”

Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan istilah “pintu wanita”.


Kaum wanita pada zaman Nabi saw, juga biasa menghadiri shalat jumat, sehingga salah seorang di antara mereka ada yang hafal surat Qaf. Hal ini karena seringnya mereka mendengar dari lisan Rasulullah ketka berkhutbah Jumat.

Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (hari raya Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil dan bertakbir.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:“Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula wanita-wanita pingintan dan para gadis.”Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:“Rasulullah saw, menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan dakwah bagi umat Islam (khutbah dan sebagainya). Aku (ummu Athiyah) bertanya, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab.” Beliau menjawab, “Hendaklah temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.” (Shahih Muslim, Kitab Shalatul Idain, hadits no. 823)

Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (kebangkitan Islam). Mereka menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw, yang telah dimatikan orang, seperti sunnah IÂ’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita pada shalat Id.

Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw. Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah ra pernah memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid, istihadhah dan sebagainya.

Tidak sampai di situ, hasrat mereka untuk menyaingi kaum laki-laki dalam menimba ilmu dari Rasulullah saw. Mereka juga meminta Rasulullah saw agar menyediakan hari tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari tertentu untuk bertemu denganmu.” Lalu Rasulullah saw, menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan perintah-perintah kepada mereka (hadits riwayat Bukhari dalam shahihnya, “Kitab Al-Ilm”)

Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan, seperti merawat yang sakit dan terluka, di samping memberikan pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air minum.

Berbagai peristiwa di atas menunjukkan keikut-sertaan kaum wanita pada shalat berjamaah dan pertemuannya dengan kaum laki-laki di masjid pada zaman Rasulullah saw didukung oleh banyak dalil,
di antaranya:

a. Ketetapan Rasulullah saw yang membolehkan wanita shalat bersamanya di masjidnya sendiri sejak kedatangannya di Madinah sampai akhir hayatnya.

b. Kesinambungan shalat kaum wanita berjamaah di beberapa masjid di luar kota Madinah menunjukkan bahwa bolehnya kaum wanita shalat di masjid bukan hanya di masjid Rasulullah saw.

“Rasulullah saw bersabda: Izinkanlah kaum wanita untuk pergi ke masjid pada malam hari.” (HR BUKhari)

c. Rasulullah saw melarang kaum laki-laki menghalangi kaum wanita untuk melaksanakan haknya pergi ke masjid.

“Janganlah kamu halangi kaum wanita dari bagiannya di masjid.” (HR Muslim)

d. Kesaksian para sahabat wanita yang mulia tentang bolehnya shalat berjamaah di masjid bagi wanita, seperti Asma binti Abu Bakar, Ummu Darda, Atikah binti Zaid istri Umar Bin Khatab, Fathimah binti Qais, Zainab istri MasÂ’ud dan ar-Rabi bintu Muawwadz, dll.

“Ummu Fadhal berkata, “..Surat ini (surat al-Mursalaat) adalah surat terakhir yang aku dengar dari Rasulullah saw. Beliau membacanya ketika shalat maghrib.” (HR BUKhari Muslim).

e. Banyaknya tujuan yang menyebabkan kaum wanita pergi ke masjid, seperti melaksanakan shalat yang bacaannya lantang (shubuh,maghrib dan isa), shalat JumÂ’at, shalat Sunah (Qiyamullail), shalat gerhana, IÂ’tikaf, mengunjungi orang yang iktikaf, menghadiri pertemuan umum dengan penguasa, menyaksikan permainan orang-orang ethiopia, membersihkan masjid dan mengisi waktu dengan muslimah lainnya.

“Aisyah berkata, “ Rasulullah saw melaksanakan shalat isya waktu ‘atamah (sepertiga malam pertama) sampai Umar berkata kepadanya, “Kaum wanita telah tidur…” (HR BUKhari Muslim), Ibnu Umar berkata, “Istri Umar mengikuti shalat subuh dan isa berjamaah di masjid.” (HR BUKhari).

Meski demikian, ada sebuah penekanan yang diberikan oleh Rasulullah, yaitu bahwa utamanya shalat wanita itu adalah di rumahnya sendiri. Hal ini, dengan sebuah pertimbangan yaitu jika kehadirannya di masjid dapat menimbulkan dampak negatif atau menelantarkan beberapa kepentingan di rumahnya. Dengan kata lain, wanita lebih utama jika shalat di rumah dan kondisi ini sering terjadi. Kekhususan ini mirip dengan kekhususan bahwa kaum wanita harus lebih mengutamakan menjaga anak dan rumahnya daripada pergi berjihad. Hal itu berlaku jika seorang wanita memang diperlukan di rumah dan umumnya kaum wanita berada dalam kondisi diperlukan seperti itu. Akan tetapi, jika memang tenaganya tidak dibutuhkan dan dia tidak mempunyai tanggung jawab di rumah, maka dia boleh diminta uhntuk berjihad secara sukarela untk memperoleh pahala mati syahid dan ganjaran yang besar dari Allah SWT.

“Abu Ya’la dan al-Bazzar merawikan dari Anas bahwa para istri Rasulullah datang dan bertanya, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki pergi mencari keutamaan dan berjihad di jalan Allah. Bagaimana kami kaum wanita, apakah amal kami dapat menandingi pahala jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Profesi kalian di rumah sederajat dengan pahala mujahidin di jalan Allah.”

Jika tujuan wanita pergi ke masjid hanya untuk shalat, lebih baik baginya shalat di rumah saja. Lain halnya jika tujuan ke masjid adalah untuk mendengarkan bacaan Al-Quran yang dibaca imam dengan bagus, mendengar ceramah setelah shalat, mendengarkan khutbah Jum,at, atau menemui wanita-wanita muslimah lainnya agar mereka dapat saling menolong dalam kebaikan. Sebenarnya, kaum wanita jarang sekali mendapatkan kesempatan baik seperti itu karena mereka sering disibukkan oleh kehamilan,melahirkan,menyusui, mengasuh anak, dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. Jadi, jika seorang wanita pergi ke masjid untuk melaksanakan salah satu keperntingan di atas,kepergiaannya itu adalah untuk mendapatkan kebaikan dan keutamaan.

Sungguh benar sabda Rasulullah saw berikut ini, “Siapa yang pergi ke masjid untuk suatu keperluan, maka itulah bagiannya.” (HR Abu Dawud).

Tampaknya, beberapa saudara muslim kita, memandang hal terakhir inilah yang rasanya tepat untuk diterapkan dalam usaha mereka menjaga kesucian masjid sebagai tempat ibadah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak saudara muslimah kita, yang menjalankan syariat keislaman mereka tidak secara kaffah. Artinya, beberapa etika yang seharusnya diperhatikan ketika mereka mendatangi masjid tidak diindahkan. Seperti, menjadikan masjid sebagai tempat untuk istirahat (tidur, duduk-duduk istirahat, berbincang yang tidak bermanfaat), tempat untuk bertemu dengan lawan jenis bukan untuk keperluan ibadah, bahkan ada yang melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan di masjid (berdandan setelah shalat, ganti baju, rebahan/tidur, dll).

Hal ini tentu saja akan mengganggu kekhusyukan mereka yang beribadah (khususnya bagi lawan jenis/laki-laki), mengotori masjid dan mengurangi nilai kesucian dari masjid itu sendiri.

Apa boleh buat, karena ulah sebagian saudara muslimah kita terhadap sarana ibadah yang disediakan buat mereka beribadah tersebut, maka saudara-saudara muslim kita mulai menerapkan aturan demi “mengembalikan fungsi masjid” yang sebenarnya. Maka dibuatlah tempat terpisah bagi para wanita, kalaupun tidak ada tempatnya, maka dibuatlah pemisah baik yang menggunakan pembatas kain, atau pembatas lain yang lazim disebut sekat pemisah shaf laki-laki dan shaf perempuan. Sekat ini, sebenarnya cukup mendatangkan manfaat juga bagi para wanita muslimah, karena mereka memperoleh “sedikit privacy” dari pengadaan sekat ini. Dimana para ibu bisa mendengarkan khutbah sambil menyusukan bayinya, atau para gadis bisa meluruskan kakinya; mereka juga bisa memperbaiki riasan wajah dan pakaiannya setelah shalat, dan sebagainya. Tapi, di sisi lain, terkadang pemisahan ini justru menimbulkan keengganan para wanita muslimah untuk datang ke masjid karena pengadaan ruangan bagi para wanita ini terkadang melupakan “asas keadilan” bagi pria dan wanita (contohnya seperti kondisi bangunan yang seadanya bagi wanita atau ketiadaan fasilitas speaker untuk mendengarkan imam, mendengarkan khutbah atau minimnya fasilitas lain). Hal ini kadang justru menyebabkan kaum wanita kehilangan hak mereka dari berbagai kebaikan kegiatan masjid. Artinya, dengan pertimbangan bahwa kaum wanita adalah kaum yang “sangat jarang meramaikan masjid” maka dibuatlah tempat yang sekedarnya saja bagi mereka dan melupakan hak para muslimah untuk juga memperoleh manfaat dari keberadaan masjid. Wallahua’lam. Anggap ini sebuah teguran bagi kita, kaum muslimah, untuk memperbaiki citra muslimah kita. Lebih dari itu, semoga ini memberi inspirasi bagi kita semua untuk membangkitkan semangat kita dalam menegakkan ISlam itu sendiri secara kaffah.

Semoga bermanfaat.
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita

Narasumber:
- DR Yusuf Qaradhawy, “Fatwa-fatwa Kontemporer” jilid 2, Penerbit PT Gema Insani Press.
- Abdul Halim Abu Syuqqah, “Kebebasan Wanita”, jilid 3, Penerbit PT Gema Insani Press.
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved