|
Prinsip-Prinsip Islam tentang Halal dan Haram (bag 1) Oase Ilmu - Sunday, 18 July 2004
Kafemuslimah.com Masyarakat kita sudah banyak perubahannya dibandingkan ketika zaman Rasulullah dan para sahabat r.a serta generasi sesudahnya. Pada saat ini, ummat Islam semakin terbuka menerima berbagai arus informasi dengan adanya kecepatan perkembangan teknologi. Akibat yang paling terasa bagi ummat Islam adalah disukai atau tidak, adanya usaha atau pengaruh dari berbagai pendapat yang ingin memberi kontribusi bagi pemahaman agama Islam. Lebih lanjut, pada akhirnya telah terjadi kekaburan terhadap pemahaman arti halal dan haram pada segala sesuatu yang kita temui di kehidupan sehari-hari. Padahal, pemikiran Islam tentang halal dan haram itu sangat simpel dan jelas; ia merupakan bagian dari amanat besar di mana langit, bumi dan gunung-gunung enggan untuk memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan kemudian amanat itu dipikul oleh manusia.
Amanat berupa taklif ilahi dan memikul tanggung jawab khilafah di muka bumi itulah tanggung jawab yang atas dasar ini manusia diberi pahala dan dikenakan sanksi. Untuk itulah akal dan kehendak diberikan kepada mereka, dan untuk itu pula para rasul diutus dari kitab-kitab suci diturunkan. Oleh karena itu dia tidak akan ditanya: Mengapa ada halal dan haram? Mengapa saya tidak membiarkan kendali itu terlepas?
Agama Islam datang sebagai rahmat Ilahi yang meliputi seluruh hamba Allah sampai akhir perkembangan kemanusiaan. Allah mengumumkan hal itu kepada Rasul-Nya dengan firman-Nya:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmata bagi semesta alam.” (al-anbiya:107)
”Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyruh mereka mengerjakan yanga ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan menghalalkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (al-A’raf:156-157)
DR. Yusuf Qardhawy, mengemukakan pandangannya dalam melihat permasalahan halal dan haram berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang terkandung di dalam Al Quran. Prinsip-prinsip Islam tentang halal dan haram ini tergambar dalam dua buah ayat, yaitu:
”Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Al-A’raf:32)
”Katankanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan segala sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (al-A’raf:33)
Tulisan berikut ini (yang akan ditulis dalam beberapa bagian) berusaha untuk memaparkan pemikiran Yusuf Qaradhawy tentang Prinsip-prinsip halal dan haram dalam Islam tersebut. Tulisan ini sendiri merupakan suntingan dari buku “Halal dan Haram” yang dikarang oleh Qaradhawy, diterbitkan oleh Robbani Press.
Beberapa Definisi:
Halal: Ialah segala sesuatu yang mubah (diperkenankan), yang terlepas dari ikatan larangan, dan diizinkan oleh Pembuat Syari’at untuk dilakukan.
Haram: Ialah sesuatu yang dilarang oleh Pembuat Syari’at dengan larangan yang pasti, di mana orang yang melanggarnya akan dikenal hukuman (siksa) di akhirat, dan adakalanya dikenal hukuman juga di dunia.
Makruh: Ialah sesuatu yang dilarang oleh Pembuat Syari’at tetapi larangan itu tidak begitu ditekankan. Maka sesuatu yang “makruh” lebih rendah tingkatannya daripada haram, dan pelakunya tidak dikenakan sanksi sebagaimana sanksi yang dikenakan terhadap yang haram. Hanya saja apabila yang bersangkutan terus-menerus melakukannya dan memperturutkan keinginannya saja, maka akan menjadikan yang bersangkutan berani melakukan yang haram.
Prinsip-Prinsip Islam tentang Halal dan Haram menurut Qaradhawy meliputi sebagai berikut:
1. “Segala sesuatu pada asalnya mubah.”
2. “Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah semata-mata.”
3. “Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan syirik.”
4. “Mengharamkan yang halal akan mengakibatkan timbulnya keburukan dan bahaya.”
5. “Pada yang halal terdapat sesuatu yang bisa menghindarkan yang haram.”
6. “Apa saja yang membawa kepada haram adalah haram.”
7. “Bersiasat atas yang haram adalah haram.”
8. “Niat yang baik tidak dapat membenarkan yang haram.”
9. “Menjauhkan diri dari syubhat kareana takut terjatuh ke dalam yang haram.”
10. “Tidak ada pilih kasih dan pemilah-milahan terhadap segala sesuatu yang haram.”
Berikut ini penjelasan-penjelasan dari prinsip-prinsip tersebut.
I. Prinsip Pertama dalam Islam berkenaan dengan penentuan Halal dan Haram:
“Segala sesuatu pada asalnya mubah.”
Prinsip pertama yang ditetapkan Islam ialah bahwa asal segala sesuatu dan kemanfaatan yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang disebutkan oleh nash yang shahih dan tegas dari Pembuat Syari’at yang mengahramkannya. Apabila tidak terdapat nash yang shahih, seperti sebagian hadits dhaif, atau tidak tegas penunjukkannya kepada yang haram, maka tetaplah sesuatu itu pada hukum asalnya, yaitu mubah. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
”Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (al Baqarah:29)
“Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya.” (al-Jatsiyah:13)
“Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin.” (Luqman:20)
Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu ini dan menundukkannya untuk kepentingan manusia dan memberikannya sebgai nikmat bagi mereka, kemudian mengharamkan semuanya bagi mereka. Sesungguhnya, Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja karena suatu sebab dan hikmah tertentu. Dengan demikian wilayah haram dalam Syari’at Islam sangat sempit, sedang wilayah halal sangat luas. Hal itu terlihat dari nash-nash yang secara shahih dan tegas mengharamkan itu jumlahnya amat sedikit, sedangkan mengenai sesuatu yang tidak terdapat nash yang menghalalkan atau mengharamkannya berarti tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah dan termasuk dalam wilayah yang dimaafkan oleh Allah.
Rasulullah saw bersabda: ”Apa yangt dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram; sedang apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan (diperkenankan). Oleh karena itu terimalah perkenan dari Allah itu,karena sesungguhnya Allah tidak akan pernah lupa sama sekali.” Kemudian Rasulullah saw membaca ayat: “Dan tidaklah Tuhanmu lupa.”(Maryam:64) Diriwayatkan oleh al-Hakim serta di-shahihkannya, dan diriwayatkan pula oleh Bazzar.
Kaidah “asal segala sesuatu adalah mubah” tidak terbatas pada masalah benda, tetapi mencakup perbuatan dan aktivitas-aktivitas yang tidak termasuk dalam urusan ibadah, yaitu apa yang kita sebut adat kebiasaan (tradisi) atau muamalah. Pada asalnya semua itu tidak haram dan tidak terikat, kecuali apa yang diharamkan dan ditegaskan oleh Pembuat Syari’at.
Dan Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (al-An’am:119)
Ayat ini bersifat umum, meliputi benda-benda dan perbuatan. Berbeda halnya dengan masalah ibadah, karena ia merupakan masalah agama semata-mata yang tidak ditetapkan kecuali dengan jalan Wahyu.
”Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami, sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka ia tertolak.” (HR BUKhari-Muslim)
Dengan demikian, manusia dapat melakukan jual beli dan sewa-menyewa sebagaimana yang mereka inginkan, selama tidak diharanmkan oleh syari’at, seperti halnya mereka boleh makan dan minum sesuka hati mereka asalkan tidak diharamkan oleh syari’at, meskipun ada sebagian yang mustahab atau makruh, dan selama syair’at tidak memberikan batasan tertentu. Jadi, mereka tetap berada dalam kemutalkan hukum asal.
Di antara masalah yang didasarkan pada priinsip ini ialah apa yang diriwayatkan dalam hadits shahih dari Jabir bin Abdullah, dia berkata:
”Kami biasa melakukan azl (mengeluarkan sprema di luar kemaluan wanita sewaktu melakukan hubungan biologis) sednagkan al-Quran masih turun. Seandainya hal tersebut dilarang., sudah tentu al-Quran melarangnya.”
Ini menunjukkan bahwa apa yang didiamkan oleh wahyu adalah tidak terlarang, dan mereka halal melakukannya sehingga ada nash yang melarangnya. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya pemahaman para sahabat ra.
Dengan demikian, ditetapkan kaidah yang agung beritkut ini:
Tidak boleh dilakukan suatu ibadat kecuali yang disyari’atkan oleh Allah, dan tidak dilarang suatu adat kecuali yang diharamkan oleh Allah.
2. Prinsip Kedua dalam Islam berkenaan dengan Prinsip Halal dan Haram:
“Menghalalkan dan Mengharamkan adalah hak Allah semata.”
Islam telah membatasi wewenang untuk menghalalkan dan mengharamkan, karena itu wewenang tersebut dilepaskan dari tangan semua makhluk, bagaimanapun kedudukannya dalam urusan dunia dan agama dan menjadikan wewenang itu hanya milik Allah saja. Tidak ada pendeta atau rahib, raja ataupun penguasa yang mempunyai wewenang untuk mengharamkan sesuatu dengan pengharaman yang abadi bagi hamba-hamba Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka dia telah melampaui batas dan melanggar hak Rububiyyah di dalam membuat syariat untuk makhluk. Barangsiapa meridhai perbuatan orang tersebut dan mengikutinya, berarti dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dan perbuatannya itu adalah syirik.
”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” (Asy-Syura:21)
Dari beberapa ayat Al Quran yang secara tegas menjelaskan larangan bagi manusia atau siapa saja memberi hukum menghalalkan atau mengharamkan sesuatu (lihat Yunus:59; An-Nahl:116; al-An’am:119) para Fuqaha Islam secara pasti menegaskan bahwa hanya Allah sajalah yang berhak menghalalkan dan mengharamkan, baik melalui kitab-Nya maupun melalui lisan Rasul-Nya, sedangkan tugas mereka tidak lebih dari menjelaskan hukum Allah terhadap apa yang dihalalkan dan diharamkan-Nya. Tugas mereka bukan mensyariatkan agama buat manusia untuk memperbolehkan dan tidak memperbolehkan sesuatu bagi mereka. Mereka –dalam kedudukannya sebagai imam dan mujtahid—menghindari memberi fatwa. Satu sama lain berusaha untuk tidak terjatuh kepada kesalahan di dalam menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Imam Syafi’I meriwayatkan di dalam kitabnya al-Umm dari al-Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, dia berkata, “Saya mendapati guru-guru kami dari para ahli ilmu tidak menyukai memberi fatwa dengan mengatakan, “Ini halal dan ini haram.”, kecuali jika terdapat nash secara jelas dalam kitab Allah Azza wa Jalla, bukan penafsiran.
Ibnu Saib menceritakan kepada kami dari ar-Rabi’ bin Khaitsam –salah seorang tokoh Tabi’in—bahwa dia berkata, “Jauhkanlah dirimu dari menjadi orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, tetapi kemudian Allah berkata kepadanya, “Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya.” Atau menjadi orang yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan ini, “ tetapi kemudian Allah menjawab, “Engkau telah berdusta, Aku tidak mengharamkan dan tidak melarangnya.”
Sebagian sahabat kami menceritakan kepada kami dari Ibrahim an-Nakha’I –salah seorang Fuqaha besar dari kalangan Tabi’in di Kufah—dia menceritakan dari para sahabatnya,bahwasanya mereka apabila memfatwakan sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata, “Ini makruh (tidak disukai) dan ini tidak apa-apa.”. Adapun untuk mengatakan: “Ini halal dan ini haram”, maka ini merupakan persoalan yang amat besar.!”
Demikianlah yang dikutip dari Abu Yusuf dari para Salaf yang saleh, dan Imam Syafi’I menukilnya kembali dan mengakuinya, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa para Ulama Salaf tidak pernah mengatakan haram atas sesuatu kecuali jika telah diketahui pengharamannya secara qath’i.
Demikian pula kita dapati Imam Ahmad ketika ditanya tentang suatu masalah, lalu beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya, atau aku tidak tertarik kepadanya, atau aku tidak menyukainya, atau aku tidak menganggapnya baik.” Hal seperti ini juga diriwayatkan dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan imam lainnya radhiyal-Lahu’anhum.
-----------bersambung ke bagian kedua------
disunting oleh Ade Anita, dari buku DR. Yusuf Qaradhawy, “Halal dan Haram dalam Islam”, penerbit: Robbani Press.
[ 0 komentar]
|
|