[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Life Must Go On
Muslimah & Media - Sunday, 18 July 2004

Kafemuslimah.com Kemarin (senin, 14/10/2003), ada sebuah acara TV yang tanpa sengaja aku ikuti dengan rasa sesak di dada karena sedih. Yaitu acara Buka Jendela di TV 7, dengan topik “Jika Ditinggalkan Oleh Yang Kita Kasihi”. Entah mengapa, mungkin karena aku sendirian di rumah, atau mungkin karena cuaca sedikit mendung pagi itu di langit Jakarta, ada sebuah rasa sedih karena kerinduan pada ibuku yang bulan April lalu meninggal dunia. Perasaan sedih itu tiba-tiba saja hadir dan tanpa terasa menerbitkan air mataku mendengar penuturan tiap-tiap orang yang terlibat di acara tersebut. Acara itu menghadirkan dua orang yang dianggap cukup mewakili dua orang yang pernah merasakan kehilangan dua orang yang mereka kasihi. Mieke Wijaya mewakili istri yang kehilangan suami tercintanya, dan Indi Barens yang mewakili sosok yang kehilangan sahabat karibnya, Indra Safera.

Karena format acaranya adalah bincang-bincang santai, maka pembicaraan yang terjadipun bergulir santai. Dimulai dengan perasaan sedih yang menyergap ketika sosok yang kita kasihi itu pergi mendahului kita menghadap Ilahi, lalu kenangan-kenangan yang tetap tersimpan dalam ingatan dan sikap yang masing-masing tokoh lakukan untuk menyikapi perasaan kehilangan itu. Acara terus bergulir dan aku, sebagai penontonnya, tanpa sadar, ikut larut dengan pikiran yang berkembang sendiri dalam kepalaku, dalam diriku.

Kata orang, sesuatu itu akan baru terasa indah dan nikmatnya justru ketika sesuatu itu terlepas dari tangan kita. Bisa jadi, selama hidupnya, ibu ada melakukan beberapa perlakuan keras beliau seperti yang umumnya terjadi dari cara orang tua mendidik dan menegur karena ingin anaknya lebih baik kelak. Dulu, waktu beliau masih hidup, aku sering sekali merajuk karena perlakuan keras beliau ini. Tak jarang malah berkeluh dan menangis tak terima. Tapi kini, justru hal-hal itu yang aku rindukan dari beliau. Hal-hal sepele yang selama hidup beliau terkadang terasa tak pernah aku gubris kini justru seakan menjadi sebuah kenangan yang rasanya sulit aku lupakan. Jika tanpa sengaja aku memutar radio dan terdengar sebuah lagu nostalgia, aku ingat ibuku. Aku ingat ini adalah penggalan lagu yang sering ibuku senandungkan ketika beliau sedang memasak (dan dulu aku menganggapnya sebagai lagu kuno yang tidak enak didengar). Bahkan ada sebuah iklan obat nyamuk yang jika aku tonton saat ini, aku justru ingat ibuku. Karena ibu dahulu begitu senang dengan iklan tersebut dan ngotot untuk mengganti persediaan obat nyamuk di rumah dengan merek tersebut. Dulu aku menganggap keinginannya adalah sebuah kelakuan yang sangat konyol, terpengaruh dengan iklan, tapi sekarang aku tersenyum sendiri penuh keharuan melihat iklan tersebut. Ah. Ternyata selesa humor ibuku jauh lebih baik dari selera humorku. Sebenarnya aku kagum pada beliau, di tengah kesibukan dan kelelahannya menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga (yang sekarang aku rasakan juga betapa sibuk dan lelahnya), ibu masih dapat tersenyum dan menikmati sebuah acara ringan yang bisa membantunya menghilangkan kepenatan dan kejenuhan. Sementara aku? Wah, alhamdulillah keseriusan seseorang itu tidak ditandai dengan munculnya uban dan kerutan di kening. Karena kalau itu terjadi, bisa jadi sudah tidak ada tempat lagi untuk keduanya. ^_^

“Wah, kalau diikutin sedih sih bisa-bisa kita akan sedih terus deh. Padahal yang meninggal itu sebenarnya sudah tenang di alam sana, dan kita sendiri juga harus meneruskan hidup kita di dunia ini, hingga saatnya tiba untuk juga mengalami kematian kan. Jadi, aku pikir yah, life is must go on.” Suara Indi Barens terdengar dari televisi di rumahku dan aku 100% setuju dengan pendapatnya ini. Adalah sebuah kesia-siaan jika karena perasaan kehilangan itu maka kita lalu terus menggantang kabut kesedihan kemanapun kita pergi. Jika ini terjadi, ini artinya kita sudah memasang belenggu atas kaki kita sendiri untuk selalu terikat pada masa lalu dan terus bermandikan kenangan-kenangan. Menolak kenyataan bahwa kenangan itu terjadi di masa lalu dan kenyataan adalah sesuatu yang terjadi di masa sekarang dan inilah sesungguhnya yang harus kita hadapi. Islam sendiri, melarang ummatnya untuk terus berkabung sepanjang masa. Bahkan, syariat memberi batasan waktu tertentu bagi seorang wanita untuk berkabung. Setelah itu, dia terlarang untuk berkabung.

Tapi ada satu pernyataan Mieke Wijaya yang ingin aku tulis disini karena menurutku cukup manis untuk disimak. Ketika itu, ditanyakan padanya bagaimana sarannya untuk mereka yang saat ini belum “kehilangan” mereka yang dikasihinya sehingga ketika saatnya tiba kelak tidak terlalu merasa kehilangan atau terpuruk dalam kesedihan akibat sebuah perpisahan.

“Saya dan suami saya dahulu, sangat menyadari bahwa suatu saat kelak, di antara kami tentu akan berjumpa dengan kematian. Kematian itu adalah sesuatu yang pasti datangnya tapi kita tidak ketahui dengan pasti kapan datangnya. Bisa jadi suatu hari dia yang meninggal lebih dahulu, tapi bisa jadi juga saya yang meninggal lebih dahulu. Karena itulah, dalam segala bentuk perpisahan, kami selalu tak jemu-jemu untuk saling meminta maaf jika ada kesalahan, terutama ketika kami ingin berpisah tidur. Sebelum tidur, kami saling minta maaf. Karena kami sama-sama tidak tahu, apakah besok pagi kami akan bisa bertemu lagi. Ada banyak pasangan yang ketika pagi mendapati pasangannya sudah tiada. Bahkan ada teman saya, yang pasangan suami istri, sedang ngobrol berdua. Istrinya di kamar mandi dan suaminya di kursi. Mereka ngobrol jarak jauh. Hingga istrinya mendapati suaminya tidak memberikan tanggapan lanjutan atas pertanyaan obrolan mereka. Ternyata suaminya sudah meninggal di atas kursi.”

Hmm.
Selama ini kalimat maaf adalah sesuatu yang sesungguhnya ringan untuk dilakukan tapi terkadang terlupakan untuk dilakukan karena dianggap sepele. Padahal, jika prinsip Life Is Must Go On ingin dilakukan oleh diri kita, maka kunci utama untuk membuka pintunya adalah dengan kata maaf. Sepenggal kalimat maaf, akan menerbitkan perasaan ikhlas dalam berbuat. Menerbitkan perasaan ringan dalam melangkah karena terbebasnya hati dari semua biang buruk sangka dan terbebasnya perbuatan dari sebuah niat yang diawali dengan prasangka buruk. Niat yang ikhlas, adalah kunci untuk meraih Hidup yang Sesungguhnya dan kelak, mengantarkan kematian yang Indah. Insya Allah. Dan bagi semua muslim/ah, meraih kebahagiaan hidup di dunia akhirat adalah sebuah cita-cita tertinggi.

----------15 Oktober 2003
Ade Anita ([email protected])

Mengucapkan: "Mohon Maaf dan Lahir Batin... Marhaban Ya Ramadhan"


[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved