|
Merasa Teman Sekerja Iri, Sehingga Ingin Mundur Dari Pekerjaaan Uneq-Uneq - Sunday, 18 July 2004
Tanya: Assalamu'alaikum
Aku mo tanya tentang pendapat mba Ade atas masalahku. Boleh kan mba? Begini mba. Saya kerja di sebuah kantor akuntan publik selama 6 tahun yang sebenarnya suasananya lumayan enak dan kita bisa menjalankan ibadah dengan bebas. Namun akhir-akhir ini saya berpikiran hendak mengundurkan diri (resign) dari kantor karena saya merasa atmosphere-nya sudah sangat tidak enak.
Memang dari semula saya masuk kantor tersebut langsung mendapat fasilitas kendaraan dan saya merasa bahwa teman2 saya merasa iri dan tidak suka atas apa yang saya terima. Akhir2 ini rasa iri dan tidak suka mereka semakin jelas terutama dalam 1 ruangan tempat saya bekerja termasuk supervisor saya dan genknya. Saya ingin keluar dari perusahaan ini namun saya belum mendapat pekerjaan baru sebagai penggantinya walaupun saya sudah mengirimkan lamaran ke sana kemari dan sudah banyak mengikuti tes dan interview namun tetap saja tidak diterima. Saya hanya berpikir memang mungkin bukan rezeki saya namun saya sudah sangat tidak tahan dengan suasana kantor dan apabila saya harus menunggu sampai dapat pekerjaan baru wah saya bisa-bisa tiap hari mual2 dan sakit kepala apalagi saat ini jumlah pekerjaan sangat2 sedikit bahkan hampir tidak ada sehingga setiap hari saya hanya surfing dan chatting saja.
Saya sudah membicarakan kepada suami saya dan suami menyerahkan kepada saya segala keputusannya dan saya juga shalat isthikaroh dan hati makin mantap ingin resign hanya saja karena saya masih ada tanggungan beban kartu kredit maka saya bimbang untuk istirahat di rumah karena saya takut penghasilan suami tidak mencukupi untuk menutupi tagihan2 tersebut.
Memang lebih sreg kalo saya keluar dan mendapat pekerjaan baru karena all problem solved tapi saya sudah tidak tahan nih mba sudah klimaksnya deh....Tolong ya mba bantu saya menemukan jalan keluarnya.
Wassalam
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ukhti, sebelumnya, tampaknya yang harus ukhti lakukan saat ini adalah bersyukur. Tempat ukhti bekerja itu sesungguhnya adalah dambaan semua orang. Fasilitas memadai (bahkan kantor menyediakan mobil), gaji yang memadai (sehingga bisa memiliki kartu kredit), diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah (banyak teman-teman muslimah yang mengeluh di tempat bekerjanya ada kesulitan untuk melakukan ibadah loh), disediakan fasilitas “gratis” surfing dan chatting internet (wah, subhanallah, banyak teman chatting saya mengeluh kantornya mencabut fasilitas chatting dan surfing di komputer mereka), dan yang lebih nikmat lagi, gaji jalan terus tapi pekerjaannya “kurang”.
Tapi, kata orang, hidup jika adem-adem saja, tentrem-tentrem saja akan sangat membosankan. Semua orang yang mengalami hidup yang “tiada rintangan” ini akan cepat sekali merasa bahwa ritme hidupnya datar-datar saja dan mulai merasa bahwa kemudahan yang dia miliki itu ternyata membawa kerutinan yang menjadi biasa dan akhirnya keluar satu kata ajaib: bosan. Lebih dari itu, “bahaya” lain dari sebuah kerutinan yang mulai “biasa” adalah kita lengah untuk meningkatkan kapasitas kemampuan diri sendiri; diri jadi malas dan kemampuan yang sesungguhnya “bisa lebih dari yang tampak” tetap terkubur dalam kemapanan yang ada saat ini.
Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui kondisi tiap-tiap makhluk yang bernama manusia yang lemah dan serba tidak pernah puas tersebut. Itu sebabnya, pada titik tertentu Allah mengaruniai manusia sebuah “permainan seru di tiap-tiap level hidup” yang berujud “cobaan dan ujian”. Siapa saja yang berhasil melewati ujian dengan baik maka dia berhak untuk masuk ke “level berikutnya”. Dan itulah obat mujarab dari kebosanan. Obat mujarab untuk membangunkan “macan kreativitas” yang masih tidur di dalam diri kita. Barang siapa yang tetap bisa bertahan untuk menjaga stamina agar tetap jadi hamba yang pandai bersyukur dan bersabar di berbagai tantangan level kehidupan maka dia berhak untuk mendapatkan “high score” dan insya Allah, Allah memberinya ganjaran yang baik dan kelak mendapat posisi sebagai kekasih-Nya.
Ukhti, jangan lelah jika hanya memperoleh sedikit tantangan seperti yang ukhti alami saat ini. Dibandingkan dengan apa yang ukhti telah peroleh, tantangan tersebut hanyalah sedikit sekali. Rasanya sayang jika hanya tantangan sedikit tersebut lalu ukhti menyerah dan mundur. Saya dukung ukhti jika ukhti mau melihat masalah ini sebagai bekal untuk memperoleh tambahan ibadah dalam rangka menjadi hamba yang pandai bersyukur dan bersabar.
Sesekali, coba dekati teman-teman ukhti yang tampaknya iri pada ukhti. Usahakan untuk menghilangkan prasangka bahwa “dia iri pada saya”, karena ini adalah prasangka buruk pada orang lain yang belum tentu benar adanya. Al Quran meminta kita untuk menjauhkan diri dari prasangka buruk karena itu adalah sebuah dosa. Sesuatu yang diperoleh dengan persangkaan sama sekali tidak bisa menggantikan sesuatu yang diperoleh dengan keyakinan. Dan sesungguhnya, berprasangka itu hanya menduga-duga (lihat Qs 10: 35-36; 6: 116).
”Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa….” (Qs 049:12)
Cobalah untuk berbaur dengan mereka dan ajak mereka diskusi tentang banyak hal termasuk tentang pekerjaan. Barangkali saja teman-teman merasa iri karena mereka sebal ukhti punya ilmu tapi tidak mau memberi sedikit ilmu itu pada mereka. Atau mereka merasa ada dinding pembatas antara ukhti dan mereka sehingga mereka menyangka ukhti seorang yang sombong karena tidak mau berbaur dengan mereka. Jika sudah begitu, mungkin ada baiknya ukhti beri mereka petunjuk. Setidaknya, ukhti menunjukkan pada mereka bahwa semua perolehan yang ukhti dapat saat ini bukan karena adanya pilih kasih dari “bos” yang bersifat subjektif (nepotisme) tapi karena memang ukhti punya kemampuan untuk itu. Begitu juga pada supervisor ukhti.
Jangan terlalu menunjukkan “hawa” persaingan dengan mereka karena itu hanya akan meruncingkan prasangka buruk mereka, tapi dekati mereka dengan tetap berbuat baik pada mereka. Agar lebih “ikhlas”, maka berbuat baiklah bukan untuk “mencari muka atau mengambil hati” tapi berbuat baik hanya untuk mendapatkan kridhaan Allah semata. Siapa saja yang butuh bantuan, kapan saja dan dimana saja, bantulah. Berlaku ramah pada siapa saja dan kapan saja serta terus berusaha menciptakan suasana yang akrab tanpa kenal lelah ( untuk itu, kuncinya hati kita haruslah bersih dari berbagai macam prasangka buruk).
Jika ternyata ukhti memiliki kendala sulit untuk melakukan hal-hal tersebut diatas, dan suami juga merestui ukhti untuk tinggal diam di rumah, dan ukhti punya kemantapan untuk itu, ide untuk tinggal diam di rumah juga bisa ukhti ambil. Tapi sekali lagi. Itu bukan berarti semua persoalan selesai sampai disini. Selama hidup masih dimiliki oleh seorang manusia, maka ujian hidup akan selalu menyertainya. Di masa-masa yang akan datang, bisa jadi akan datang persoalan lain yang sama rumitnya. Entah itu ukhti merasa bosan dengan kehidupan rumah tangga ukhti (hal mana sering dialami oleh para wanita pekerja yang mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan jadi ibu rumah tangga), atau menghadapi kesulitan keuangan dan mulai menyesali keputusan berhenti bekerja (duhhh, jangan sampai deh. Itu artinya masih harus banyak berlatih bersyukur), atau mengalami friksi dengan tetangga yang kurang lebih mungkin punya karakteristik sama dengan lingkungan kerja (jika dahulu waktu kita sekolah dahulu dikatakan bahwa pada pelajar, maka sekolah adalah gambaran lingkungan masyarakat sebenarnya; sedangkan pada seorang yang bekerja, lingkungan pekerjaan adalah gambaran dari lingkungan masyarakat sebenarnya juga) dan masalah lain.
Sekali lagi, keputusan apapun, tidak akan pernah bisa menyelesaikan sebuah persoalan begitu saja jika kita tidak pernah belajar untuk menjadi hamba yang pandai bersyukur dan bersabar. Dan kunci dari semua itu adalah, berusahalah untuk ikhlas dalam beramal dan melakukan segala sesuatunya. Jadi, daripada maju terus lelah tapi ingin mundur juga gamang, jadikan saja masalah yang ada sekarang sebagai usaha untuk meng-introspeksi diri apakah selama ini kita memang “fine-fine saja”. Jika memang ada kekurangan, belum terlambat untuk memperbaiki diri. Karena sebuah reaksi dari luar yang kita tangkap sebenarnya merupakan refleksi dari apa yang kita berikan keluar.
Selamat berusaha. Semoga Allah menjadikan kita semua hamba yang pandai bersyukur dan bersabar.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|