|
Ingin merasakan manisnya ukhuwah dengan sesama “akhwat" Uneq-Uneq - Sunday, 18 July 2004
assalamu'alaikum
M' ade, nama saya t. Saya punya masalah yg dari dulu kepikiran terus. Gini mbak, sebenarnya saya kepengen bisa jadi akhwat bener-bener, tapi kok sulit ya mbak. Padahal banyak teman-teman se-kost saya yg jadi akhwat bener-bener. Sering saya iri lihat teman yang punya banyak teman akhwat-ikhwan. Bahkan saat sakit dia banyak yg njenguk. Benar-bener ukhuwah yg manis. Masalahnya saya bingung dan minder untuk memulai tapi alhamdulillah saya udah pake' jilbab.
jazakumullah khairan katsiran atas sarannya.
wassalamu'alaikum
jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Abu Musa Al-Asy’ary, bahwa ada seorang A’raby yang mendatangi Nabi SAW, seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki berperang untuk mendapatkan harta rampasan, seorang laki-laki berperang agar diingat, dan seorang laki-laki berperang agar kedudukannya dilihat, maka manakah yang berada di jalan Allah?”
Beliau menjawab, “Barangsiapa berperang agar kalimat Allah-lah yuang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah.”
Dengan kata lain, setiap peperangan untuk tujuan selain itu tidak termasuk di jalan Allah (dikutip dari “Niat dan Ikhlas”, Yusuf Qaradhawy, penerbit Al Kautsar, hal. 48).
Terus terang, uneg-uneg Ukhti T saya baca beberapa kali (berulang kali) sebelum saya memutuskan untuk memberi tanggapan. Jadi, mohon maaf jika tanggapannya baru bisa saya buat sekarang.
Kata “akhwat” dalam bahasa Arab adalah sebuah panggilan yang berarti “wanita”. Di Indonesia kata akhwat ini kerap digunakan oleh sesama teman muslimah untuk menyebut muslimah dari kelompok tertentu (untuk kaum lelakinya disebut ikhwan). Awalnya sebutan ini bertujuan untuk menumbuhkan perasaan akrab antar teman satu kelompok pengajian, sekaligus mencuatkan perasaan bangga akan identitas mereka sebagai orang Islam yang punya nilai lebih karena telah mengikuti kegiatan pencerahan dalam kelompok pengajian tersebut. Sehingga antar mereka terbit semangat (ghirah) untuk tetap ber-Islam secara kaffah. Dalam perkembangannya hal ini terkadang malah membuat situasi yang “eksklusif” untuk beberapa kelompok tertentu. Padahal, di Indonesia umat Islam adalah bagian dari masyarakat yang menempati jumlah terbanyak. Artinya, saudara Islam kita bukan hanya berasal dari beberapa kelompok tertentu itu saja. Tapi semua orang yang beragama Islam adalah saudara seiman kita. Lebih dari itu, Islam juga menganjurkan pada umatnya untuk berbuat baik pada tetangga, kaum kerabat, teman dan siapa saja yang tidak memusuhi agama Islam. Konsekuensinya, semua orang tersebut terkena perlakuan untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Masing-masing kita wajib untuk menegakkan dan melaksanakan kebajikan dengan cara saling nasehat menasehati dan bantu –membantu, serta nasehat dan menasehati dan bantu membantu untuk memberantas kemunkaran.
Mengapa kerja sama dalam kebersamaan ini perlu? Karena masing-masing kita sebenarnya saling membutuhkan satu sama lain. Artinya, jika kita tidak peduli akan lingkungan sekitar kita (yang mungkin bisa terdiri dari bermacam-macam latar belakang orang), jika terjadi sesuatu pada orang-orang tersebut (yang diakibatkan kemunkaran atau kelalaian mereka sendiri), bisa jadi kita yang ada di dekatnya juga akan terkena imbasnya.
“Takutlah olehmu akan fitnah (cobaan) yang tiada akan menimpa orang-orang yang aniaya saja di antara kamu dan ketahuilah, bahwa Allah amat keras siksaanNya.” (Qs 8: 25)
“Kalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami tumpahkan kepada mereka keberkatan dari langit dan bumi, tetapi mereka itu mendustakan, sebab itu Kami siksa mereka disebabkan usahanya itu.” (Qs 7: 96, dan lihat ayat seterusnya sampai dengan ayat 101)
Inilah Islam yang sesungguhnya. Yaitu Islam yang menebarkan suasana damai pada semua orang, membawa rahmat pada semua orang. Islam agama yang peduli pada lingkungannya karena menghendaki setiap ummatnya memberi manfaat bagi orang lain sebagai bagian dari amal ibadahnya di dunia ini.
Lalu ada sebuah pertanyaan, jika kita sebagai umat Islam dituntut untuk selalu memberi pada orang lalu apa yang akan kita peroleh untuk diri kita sendiri? Jawabnya, Allah-lah yang akan memberi ganjaran pada kita dalam berbagai bentuk nikmat yang tiada duanya. Inilah tujuan besar yang seharusnya dimiliki oleh semua orang Islam dalam melakukan segala sesuatunya. Yaitu memperoleh keridhaan (perkenanan) dari Allah SWT.
Apakah nikmat yang akan kita peroleh tersebut?
Pertama, ada nikmat pahala atas semua amal perbuatan yang kita lakukan. Artinya yang kita lakukan di dunia ini sebenarnya merupakan tabungan untuk kehidupan akhirat kelak. Hidup di dunia ini hanyalah persinggahan sebentar saja. Semua orang akan mati dan setelah kematian, bertemulah kita di kehidupan abadi, kehidupan di akhirat.
Kedua, Allah akan beri kita nikmat kecukupan atas segala kebutuhan kita. Jika sakit, kondisi sakit itu tidak menjadikan kita merasa tersiksa karenanya. Jika miskin kita dihindari dari perasaan melarat. Jika sendiri kita terhindar dari perasaan kesepian. Jika kekurangan kita dihindari dari perasaan kesempitan. Dan jika berlebih-pun kita dihindari dari perasaan sombong. Kondisi serba kecukupan ini kelak akan melahirkan perasaan bahagia dan damai selama menjalani kehidupan di dunia ini.
Nah, jika ingin menjadi “akhwat” yang sebenarnya, sama seperti ilustrasi yang saya sebutkan di atas tentang kondisi hijrah, bukan dengan mengumpulkan teman-teman akhwat saja. Berteman dengan teman-teman akhwat itu perlu, karena lingkungan terbukti sering kali membawa pengaruh pada cakrawala berpikir, pola bertindak dan cara bersikap kita. Tapi ada yang lebih penting lagi dari itu, yaitu, masuklah Islam secara kaffah dahulu.
Bagaimana caranya?
Mengenakan jilbab. Itu memang diwajibkan (bagi muslimah) dalam syariat Islam.
Bergaul dan berteman dengan sesama Muslim(ah), itu baik sekali untuk menjaga kondisi keimanan kita. Terlebih jika ditambah dengan mengadakan kajian-kajian atau obrolan-obrolan yang berguna untuk saling memperkaya ilmu ke-Islaman masing-masing.
Lebih dari itu, pancarkanlah akhlak Islam dalam kehidupan sehari-hari; yaitu dengan menjalankan syariat dan akidah Islam yang dilandasi dengan keimanan (keyakinan/kepercayaan) yang utuh dan pengetahuan tentang Islam itu sendiri.
”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, namun sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”(Qs al Baqarah:177)
Maksud dari ayat di atas menurut Ibnu Katsir dalam Tafsirnya adalah, bahwa menghadap ke arah timur dan barat (berkenaan dengan perintah memindahkan arah kiblat dari semula di Baitul Maqdis ke arah Ka’bah) tidak mengandung kebajikan dan ketaatan jika tidak bersumber dari perintah dan syariat Allah.
Akan halnya keinginan untuk merasakan manisnya suasana dalam sebuah ukhuwah Islamiyah demikian juga. Berteman dengan “akhwat” atau “non akhwat” (nah, inilah warna eksklusif yang saya maksud. Penggunaan istilah ini, pada akhirnya melahirkan sebuah penilaian subjektif antar sesama muslim(ah) dan melupakan persaudaraan Islam yang sesungguhnya. Bandingkan dengan usaha Rasulullah mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin dahulu? Itu sebabnya saya jarang sekali menerapkan penggunaan istilah tersebut dalam keseharian karena bagi saya, semua umat Islam itu sama kedudukannya, yang membedakan mereka adalah kadar ketakwaan, dan hak menilai kadar ketakwaan itu adalah hak prerogatif Allah SWT) itu hanyalah sebuah sarana saja untuk menjalin silaturahim dengan orang lain. Substansi dari ukhuwah Islamiyah itu adalah menjalin silaturahim dengan orang lain sambil beramar ma’ruf nahi munkar.
Berbuat baiklah pada orang lain, maka insya Allah orang lain akan memperlakukan kita seperti halnya kita memperlakukan mereka. Mungkin permisalan yang paling relevan saat ini (menjelang Idul Fitri ini) adalah pada perolehan kartu lebaran. Jika kita tidak pernah mengirimkan satu potongpun kartu ucapan Idul Fitri pada orang lain ditambah selama ini tidak pernah bersikap ramah, rasanya konyol jika kita mengharapkan bahwa akan banyak orang yang akan mengirimi kita kartu ucapan Idul Fitri (terkecuali jika kita berada pada posisi memegang kekuasaan).
Lebih dari itu, berbuat baiklah pada orang lain bukan karena mengharapkan memperoleh teman atau memperoleh keuntungan lain, tapi berbuat baiklah pada orang lain semata karena mengharapkan keridha-an Allah semata.
”Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnyha, akan Kami berikan pada kepadanya kehidupan yang lebih baik.” (An-Nahl: 97)
Jadi, kembali pada point utama seperti ilustrasi di awal tanggapan saya. Perbaikilah niat dalam mengembangkan sayap pergaulan dan berusahalah untuk ikhlas dalam melakukan segala sesuatunya hanya untuk dan demi Allah semata.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita [ 0 komentar]
|
|