|
Bagaimana Menggugah Suami Agar Giat Shalat Uneq-Uneq - Sunday, 18 July 2004
Tanya: Assalamu’alaikum wr wb.
mBak Ade saya mau menanyakan bagaimana caranya menyadarkan dan membuka hati suami kita untuk mendekatkan dirinya pada Allah SWT.
Saya sudah menikah 3 tahun lamanya. Pendalaman agama kami biasa2 saja. Dulu sebenarnya saya selalu bercita-cita nantinya kalo sudah menikah ingin diimami suami dan dibimbing oleh suami dlm berumahtangga khususnya dlm hal beribadah. Tapi ternyata keadaannya tidak begitu yang saya hadapi.
Bulan2 pertama perkawinan saya masih bisa memintanya mengimami sholat, yah walopun kelihatannya dia nggak PD dan agak2 terpaksa tapi masih mau sih. Mungkin krn waktu itu kami masih menumpang dirumah ortu. Sejak tinggal dirumah sendiri dan kebetulan pas saya mulai hamil justru dia nggak mau lagi sholat jama'ah. Lebih parahnya justru lebih sering meninggalkan sholat 5 waktu.
Terus-terang saya sendiri juga belum disiplin benar... maunya sih suami yang ngajak2 sholat gitu tapi setiap kali saya ajak dia berjama'ah dia nggak mau lagi. Disuruh sholat saja selalu bilang, "iya, ntar..." kalo didesek bisa marah dia. Kalo sudah begitu ya sudah saya diam aja, kadang akhirnya sholat juga tapi seringan bener2 lupa atau ketiduran.
Bbrp waktu yg lalu saya menemui masalah yang sama disebuah majalah muslim dan dijawab bahwa justru saya-lah yang harus membenahi diri dulu supaya bisa mjd contoh baginya. Nah, Insyaallah di bulan Ramadhan ini saya benar2 mencoba semua amalan2 yang bisa dikerjakan baik yang fardhu maupun yang sunnah. Dan kalopun sedang dirumah ya sebisa mungkin saya kerjakan dekat/sepengetahuan dia supaya dia tergugah gitu maksudnya. Kalo begini apa saya termasuk riya' mbak ? Sedihnya meskipun sudah berbuat begini pun belum banyak kelihatan hasilnya.
Apakah ada cara lain untuk membuka hatinya ? Pada dasarnya saya perhatikan sebenarnya dia malu karena pengetahuan agamanya masih dibawah saya. Hal ini pernah diungkapkannya sendiri. Katanya malu kalo mengimami sholat cuma' baca "Qulhu" terusss dan baca Al-Qur'an juga belum bisa. Padahal saya selalu berusaha support dia dan tidak pernah merendahkan/mempermalukan dia. Justru saya bilang nggak apa2 baca "Qulhu" terus asal bacaannya bener.
Selain dari masalah sholat dan baca Al-Qur'an sebenarnya moralnya cukup baik. Dia tidak pernah perhitungan dalam memberikan sedekah, suka baca2 buku agama dan suka mendengar ceramah terutama MQ-nya Aa' Gym. Anak kami sudah semakin besar (skrg 20 bln) dan saya ingin sekali mewujudkan rumahtangga yang bernuansa islami. Rumah tangga yang sakinah.
Tolongin saya ya mbak.... maaf kalo suratnya kepanjangan...
Terimakasih sebelumnya,
Wassalamu'alaikum
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ukhti yang bercita-cita mulia. Bagaimana kabar usaha untuk mewujudkan cita-cita mulia ukhti di bulan penuh rahmat dan hidayah, bulan Ramadhan ini?
Layaknya sebuah cita-cita, pada setiap cita-cita, apapun bentuk cita-cita tersebut, siapapun yang memiliki cita-cita tersebut, tiada peduli tua atau muda, kaya atau miskin, berkuasa ataupun hanya seoranga hamba biasa, cantik atau tidak cantik, beriman ataupun tidak beriman, cita-cita yang dimilikinya itu tidak akan pernah terwujud jika dia tidak pernah men giringinya dengan sebuah usaha. Karena cita-cita hanyalah sebuah wacana yang hidup di alam pikiran dan bersemayam di benak kalbu. Tak akan terwujud jika tidak ada realisasi di alam nyata dalam bentuk usaha.
Usaha manusia untuk melakukan perubahan pada seseorang di luar dirinya sendiri, akan lebih mudah dilakukan jika terlebih dahulu kita menerapkannya pada diri sendiri. Jadi, meski dalam hal ini mungkin ukhti berusaha untuk mencari alternatif jawaban yang berbeda dengan yang ukhti peroleh dari majalah muslim yang ukhti baca, rasanya saya pun akan memberikan masukan yang serupa. Rasul kita, Nabi Muhammad SAW pun memberikan contoh pada penerapan ajakan untuk melakukan sebuah kebajikan yang harus dimulai dari diri sendiri.
Seperti kita semua ketahui, di jaman Kepemimpinan Rasulullah SAW, hampir semua umat Muslim berusaha untuk mengikuti semua yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Hal ini karena begitu besar rasa cinta mereka pada pribadi Nabi SAW. Bahkan, ada tersebut beberapa di antara mereka memungut helai rambut beliau SAW yang rontok dan tertinggal di bantal; berebutan menyentuh tetesan air bekas wudhu beliau dan senantiasa berjubel untuk mendatangi majelis tempat beliau memberikan nasehat dan pendidikan. Hingga sampai waktu ketika melakukan ibadah haji, dimana turun perintah untuk menyembelih kambing dan memotong rambut dari Allah SWT. Ketika perintah ini beliau sampaikan pada para sahabat dan umat Muslim ketika itu, ternyata, tak seorang pun yang mau melakukannya karena mereka tidak mengerti hikmah di balik perintah tersebut. Ini sungguh hal yang sangat tidak biasa. Lebih dari itu, hal ini tentu saja membuat Rasulullah bersedih hati karena tak seorang pun yang mengikuti perintahnya. Kemudian Rasulullah masuk ke dalam tandu dan menemui istrinya, Ummu Salamah ra. Ummu Salamah memberikan masukan pada Beliau SAW, agar beliau tidak hanya menyuruh dan memerintah tapi mencontohkannya dengan cara menerapkan perintah tersebut pada dirinya sendiri terlebih dahulu. Rasulullah mengikuti saran dari Ummu Salamah. Beliau keluar dari tenda dan melakukan apa yang tadi Beliau SAW perintahkan pada pengikutnya agar dilakukan. Segera setelah Beliau selesai mencukur rambut beliau, para sahabat berebutan mengikuti apa yang Beliau SAW lakukan tersebut. Inilah contoh bagaimana seharusnya sebuah nasehat atau perintah diberlakukan. Lakukanlah dan terapkanlah dahulu pada diri sendiri sebelum kita meminta orang lain untuk melakukan dan menerapkannya.
Dari contoh tersebut, jika kita melakukan sebuah perbuatan di depan orang lain dengan maksud untuk memberi contoh dan bermaksud untuk menggugah orang lain agar (minimal) melakukan apa yang kita lakukan, insya Allah bukan sebuah perbuatan Riya, jika (ada kata “jika” nya), kita melakukannya itu tidak dimaksudkan untuk pamer dan jika kita melakukannya itu disertai dengan ketulusan untuk beramal shaleh ikhlas karena Allah semata. Karena segala sesuatu itu, dinilai berdasarkan niat.
Untuk kasus ukhti, yang masih tergolong baru membina perkawinan secara mandiri (terpisah dari ortu atau mertua), tentu ada penyesuaian-penyesuaian yang terus berlangsung.
Hmm.
Pernah dengar istilah “pacaran setelah menikah” ukhti?
Rasanya belum terlambat untuk menghidupkan suasana “pacaran” di biduk perkawinan ukhti tersebut.
Tahukah ukhti, apa keistimewaan “berpacaran” dalam istilah anak-anak muda? Keistimewaannya, karena dalam suasana pacaran, masing-masing pihak hanya memperlihatkan suasana “mesra” dan “manis” saja. Kegembiraan diperoleh karena usaha memperlihatkan kedua suasana tersebut. Seperti saling memberikan penampilan termanis pada pasangan, saling memberikan hadiah menarik pada pasangan dan saling memberikan kesan manis dan hangat pada pasangan sehingga suasana ketika berpisah yang tertinggal adalah suasana rindu untuk berjumpa dan ketika bertemu tak ingin berpisah lagi. Cinta benar-benar buta, karena dalam masa pacaran ini tak ada kekurangan yang terlihat, yang ada adalah kelebihan dan kelebihan, kalaupun mencuat kekurangan, segera muncul permakluman.
N ah.
Suasana berpacaran inilah yang hendak saya sarankan untuk diterapkan dalam perkawinan ukhti, sehingga masing-masing pihak tidak segera merasakan kelelahan dan kejenuhan dalam menjalani perkawinan yang baru dimulai dan ternyata membutuhkan banyak penyesuaian dari kedua belah pihak.
Sekarang kita lihat kelebihan suami.
Dia pada dasarnya senang melakukan kebajikan seperti bersedekah, dan sebagainya. Juga senang mendapatkan siraman rohani berupa ceramah agama dan bacaan religius.
Lalu kita lihat kekurangan suami.
Dia tidak pandai mengaji dan pengetahuan agamanya ternyata “kurang” dari ukhti. Dia juga minder dengan “kekurangan” tersebut. Tidak mengapa. Segala sesuatu itu berproses dan jika kita tidak mengenal kata putus asa untuk meraih kemajuan maka proses akan terus bergerak maju (sebaliknya jika kita putus asa dan berhenti berusaha maka proses akan berhenti dan mulai secara perlahan bergerak mundur. Proses pertambahan kualitas diri manusia itu memang bergerak dalam sebuah landasan yang menanjak vertikal ke atas, sehingga perlu usaha lebih giat untuk bisa maju ke atas dan tidak boleh ada kevakuman karena berdiam diri akan mengakibatkan roda berputar menurun).
Sekarang mari kita bangun suasana “berpacaran setelah menikah”.
Jika ukhti punya hp dan begitu juga dengan suami ukhti, sesekali, beri dia untaian kalimat bijak yang mengandung tausiyah keagamaan. Selang seling dengan untaian kalimat untuk menunjukkan bagaimana perasaan ukhti padanya sehingga dia tahu betapa berarti dia bagi ukhti.
Jika sedang ada rezeki, beri dia hadiah kaset ceramah kegemarannya, atau buku-buku keagamaan. Tidak usah yang terlalu berat materi isinya. Tapi pilih yang bahasa dan materinya ringan dulu dan membangkitkan semangat untuk melakukan ibadah karena “fasilitas” akan janji kemudahan dalam Islam. Kenapa? Karena jika seseorang yang baru belajar diberikan materi yang berat, maka selain akan menimbulkan kejenuhan karena bayangan kelelahan yang terbentang untuk menjalaninya, juga menimbulkan suasana prasangka buruk bahwa Allah itu egois karena hanya bisa membebani hambaNya saja dengan melulu perintah dan larangan. Jadi beri dia bahan bacaan yang selain berisi perintah dan larangan dalam Islam juga memaparkan tentang hikmah dibalik perintah dan larangan dan ganjaran hadiah yang akan kita terima jika kita melakukannya.
Saya punya saran beberapa buku yang bagus untuk dibaca oleh pemula.
Yaitu (bukan promosi loh), Ibnu Qayyim Al jauziyah dengan “10 Kekasih Allah” (penuturannya ringan tapi menimbulkan semangat untuk melakukan ibadah wajib dan sunnat); M. Quraish Shihab dengan “Secercah Cahaya Ilahi” (bahasa khas Quraish Shihab yang ringan membantu kita untuk melihat berbagai hikmah dibalik fenomena sehari-hari); Dr. Yusuf Al Qardhawy dengan “Al Quran berbicara tentang akal dan Ilmu Pengetahuan” dan “As Sunnah sebagai sumber IPTEK dan Peradaban” (kedua buku ini mengajak kita untuk menyadari bahwa Islam itu tidak pernah “basi” sekaligus mendorong umatnya untuk berpacu demi kemajuan Islam); M.Quraish Shihab dengan “Perjalanan menuju Keabadian” (Ingat mati itu membuat kita ingat akan akhirat, buku ini sangat ringan dan tidak “seram” jadi, bikin kita rindu untuk bisa mati syahid). Selain itu, bisa juga dipilih buku yang membahas tentang Sifat shalat Rasulullah (ada banyak buku yang menulis tentang ini) atau buku-buku lain yang sesuai dengan kebutuhan. Yang utama ketika membeli buku adalah, lihat isinya. Cari buku yang jika penulis mengutip penggalan hadits atau ayat Al Quran, penulis tersebut menuliskan sumber haditsnya, juga status hadits tersebut (biasanya ada di catatan kakinya, siapa perawinya dan apakah sanadnya disebutkan shahih ataukah tidak). Hindari membeli buku yang lebih banyak mengutarakan pendapat penulisnya saja, meski penulis itu sangat terkenal sekalipun.
Selain itu, buat jadwal untuk bisa belajar berdua. Lupakan siapa yang lebih pandai mengaji atau lebih rajin shalat. Dalam hal ini anggap ukhti dan suami ukhti sejajar dan saling membutuhkan. Coba pilih satu surat pendek untuk ukhti hapalkan dan minta suami sebagai seorang yang bertugas untuk menguji bacaan hapalan ukhti. Usahakan jika menghapal bukan hanya bisa melafalkannya tapi bisa juga menuliskan tulisan Arabnya di papan tulis secara luar kepala surat yang ingin ukhti hapalkan itu. Dan minta suami untuk memeriksa hapalan ukhti. Sebaliknya, suami juga melakukan hal yang sama. Dia menghapal satu surat pendek dan ukhti yang jadi penguji hapalannya. Suasana belajar berdua ini bisa ditentukan misalnya, beri waktu satu minggu untuk menghapal surat pendek ini, nanti, setiap hari Ahad pagi, jam 07.00 misalnya, kalian saling memeriksa hapalan masing-masing. Permainan ini jangan dibuat serius tapi lakukan dengan penuh kemesraan dan suasana saling membutuhkan yang santai meski tetap harus mengejar target hapalan yang sudah disepakati. Selain bacaan dalam bahasa Arab, usahakan juga untuk menghapal artinya. Kelak, jika sudah tamat Juz Amma atau setidaknya hapal bacaan Juz Amma tiga perempatnya saja, ajak suami untuk mencari tafsir Juz Amma.
Ukhti dan suami juga bisa memanggil guru mengaji privat ke rumah (sekarang ada banyak lembaga yang menyediakan layanan ini dengan harga yang tidak terlalu mahal). Jika belum bisa baca minta diajarkan baca Al Quran, jika sudah bisa baca minta diajarkan cara melagukannya agar gemar membacanya. Jika sudah pandai melagukannya, minta diajarkan untuk memahami ayat per ayat, dan begitu seterusnya. Proses belajar itu tidak pernah bisa terpuaskan jika kita mau belajar karena ilmu itu sesungguhnya sesuatu yang tidak punya batas.
Lebih dari itu, ukhti sendiri harus memulai dengan disiplin menegakkan shalat yang wajib. Dia mau lihat atau tidak lihat, tetap dirikan shalat dan usahakan untuk membangun ketergantungan bahwa shalat yang ukhti dirikan itu adalah bentuk hubungan ukhti dengan Allah yang tidak boleh terhenti. Shalat itu do’a, juga pagar untuk mendisiplinkan diri sendiri agar menghargai waktu, menghargai Tuhan dan membangkitkan kesadaran bahwa sebagai manusia kita tidak punya kemampuan apa-apa jika tidak ada Kuasa Allah dan Kasih Sayang-Nya.
Jika ukhti tidak pernah bisa meninggalkan shalat, kapan dan dimana saja, dan ketergantungan ini keluar dari ketulusan bukan karena niatan lain, maka sikap ini akan menular pada lingkungan sekitar ukhti. Orang lain yang melihatnya jadi malu jika tidak ikut shalat atau setidaknya orang lain yang tidak begitu tergugah untuk rajin shalat bersedia mengingatkan ukhti untuk shalat dan menciptakan kondisi yang kondusif agar ukhti bisa melakukan shalat (misalnya tidak menimbulkan suasana berisik jika ukhti sedang shalat, atau berusaha agar ukhti tidak terganggu dengan shalat ukhti, dsb). Dan shalat yang dilakukan dengan khusyu akan memancar dari perilaku yang selalu terjaga agar tidak terjerumus untuk melakukan kemunkaran sebaliknya ada semangat untuk mengerjakan kebajikan dimana saja. Nah, inilah dakwah yang sesungguhnya, yaitu bukan hanya dakwah yang keluar dari mulut saja tapi juga melalui perbuatan.
Jadi, mulailah dari diri sendiri dan ingat bahwa segala sesuatunya itu berproses.
Ini ada beberapa doa yang saya kumpulkan dan diambil dari buku kumpulan doa (Abu Naufal al-Mahalli, “Doa yang didengar Allah”, penerbit Firdausi):
Rabbij’alnii muqiimash shalaati wa min dzurriyyatii, Rabbanaa wa taqabbal du’aa”
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.” (Qs Ibrahim (14): 40)
Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana, wahab lana min ladunka rahmatan, innaka antal wahhab
“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau memalingkan hati kami sesudah Engkau memberi petunjukan kepada kami, dan anugerahkan kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Rahmat.” (Qs Ali Imran (3): 8)
Ya muqallibal qulubi tsabit qalbi’ala dinika
“Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku untuk senantiasa berpegang pada agama-Mu.” (HR Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Allahumma anta rabbi la ilaha illa anta khalaqtani wa ana’abduka wa ana’ala’ahdika wa wa’dika mastatha’tu, a’udzubika min syarri ma shana’tu, abu-u laka bi ni’matika’alayya wa abu-u bidzanbi faghfirli fa-innahu la yaghfirudz dzunubu illa anta
“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, yang tiada Tuhan pantas disembah melainkan Engkau yang telah menciptakan diriku. Aku adalah hamba-Mu, dan aku berada dalam perintah dan perjanjian-Mu, yang dengan segala kemampuanku perintah-Mu aku laksanakan. Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejelekan yang aku perbuat terhadap-Mu. Engkau telah mencurhakan nikmat-Mu kepadaku, sementara aku senantiasa berbuat dosa. Maka ampunilah dosa-dosaku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” (HR Bukhari Muslim dari Syadad bin Aus, diterangkan bahwa Rasulullah membiasakan diri membaca doa di atas dan beliau menyebutnya sebagai Sayidul Istighfar, puncak dari istighfar.)
Demikian semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|