|
Ibuku Memperlakukanku Seperti Pembantu Uneq-Uneq - Thursday, 26 February 2004
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Mba' saya merasa selalu di pandang buruk oleh ibu saya. Apalagi kalo temen main ke rumah, saya di bilang males, jorok. Padahal saya berusaha mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan ketika libur semuanya saya atasi dengan senang hati. Saya sungguh kesal, saya merasa tidak ada artinya, tdk di hargai. Bagaimana ya mba' supaya saya bisa lapang dada dan belajar bijak dlm menyikapinya.
O iya apakah lewat gaya menulis dpt menilai karakter seseorang ?
Terima kasih mba' atas perhatiannya.
wassalamu'alaikum wr wb
jawab :
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya punya anak. Tanpa terasa, anak tertua saya kini sudah berusia delapan tahun. Sudah besar rasanya. Kadang, saya surprise sendiri melihat perkembangan yang dia miliki saat ini. Subhanallah alhamdulillah. Rupanya, tahun-tahun sudah berlalu di belakang saya dan si buah hati ini. Sekarang alhamdulillah dia sudah bisa mengerjakan hampir sebagian besar tugas-tugas kesehariannya sendiri. Tapi kadang dia masih membutuhkan bantuan orang lain, termasuk bantuan orang tuanya yaitu saya dan suami saya. ^_^
Hmm.. saya jadi ingat waktu masa dia masih kecil dahulu.
Usianya ketika itu hampir satu tahun. Jalannya masih seperti robot. Tubuhnya gemuk lucu. Suatu hari, saya membawanya ke pusat perbelanjaan. Oh ya, waktu itu kebetulan saya tinggal di kota Sydney, Australia. Di gerbang masuk pusat perbelanjaan itu, anak saya yang memang sedang senang-senangnya belajar berjalan tampak melonjak-lonjak kegirangan melihat hewan-hewan lucu yang dijual di sebuah toko hewan peliharaan. Karena melihat dia sangat senang mengintip hewan-hewan yang dijual di etalase toko itu, maka saya memutuskan untuk membiarkannya bersenang-senang dahulu melihat etalase hewan itu dan menunggunya di sebuah bangku tidak jauh dari tempatnya berdiri. Di sebelah saya duduk ada seorang ibu tua yang peranakan eropa/australia, bule.
Dari bangku saya, saya lihat anak saya melonjak kegirangan, berteriak dan tertawa riang terlebih ketika anak-anak anjing yang dilihatnya di etalase toko tampak mendekatinya dengan wajah lucu. Mungkin karena terlalu semangat, maka anak saya berjalan terhuyung-huyung maju mundur mendekati kaca etalase sambil tak henti tertawa kegirangan. Hingga, entah tersangkut apa, dia jatuh terjerembab. BUKK !!!!! Badannya tertelungkup, alhamdulillah kepalanya tidak membentur lantai marmer. Saya segera spontan bangkit berdiri untuk membantu anak saya bangkit tapi ibu tua di samping saya memegang tangan saya dengan maksud menahan.
“Jangan Nak, jangan dibantu jika dia jatuh. Biarkan saja.”
Ibu tua itu berkata sambil tersenyum ramah. Saya tidak mengerti tapi herannya menurut begitu saja. Anak saya terlihat mulai melihat sekeliling dengan wajah ingin menangis. Beberapa detik kemudian anak saya mulai menangis tanpa merubah posisi jatuhnya sama sekali. Masih tetap tertelungkup. Saya kembali ingin membantunya. Tapi kembali ibu tua bule itu menahan saya. Meski sudah cukup tua, tapi karena tubuhnya seperti pada umumnya tubuh orang barat, tinggi besar, jadi tenaganya lebih besar dari saya. “Nanti dia nangis kian keras bu, saya harus menolongnya dia masih kecil. Dia memang baru belajar berjalan.”
Saya mencoba menjelaskan pada ibu tua itu, tapi dia menggeleng menolak alasan saya. Anak sya belum berubah dari posisi jatuhnya. Dia masih kaku tertelungkup di lantai dan mulai menangis memelas mohon bantuan.
“Biarkan saja dia nangis, nanti juga dia diam sendiri. Saya lihat anak kamu dari tadi dan tahu dia masih sangat kecil; itu sebabnya saya menahan kamu. Percayalah nak, dari sejak usia dini, kita harus jujur pada anak. Beritahu dia bahwa hidup ini tidak selalu indah dan manis, tapi juga bisa terasa pahit dan menyakitkan. Hidup ini tidak selalu berisi kemudahan tapi kadang bisa menemui kesulitan dan jika sampai jatuh akan terasa sakit. Jika dia tidak pernah tahu apa kepahitan hidup dan kesulitannya, dia tidak akan pernah belajar untuk mandiri dan bangkit dari kesulitan dengan tangannya sendiri.” Dari bangku, saya melihat anak saya akhirnya berhenti menangis. Mungkin karena dia merasa bahwa tangisannya ternyata tidak mendatangkan iba sama sekali dari sekeliling. Dia hapus air matanya lalu HOPLA... Dia bangkit berdiri lalu kembali melihat etalase hewan dan berdiri menikmati hewan-hewan itu kembali. Tapi kali ini dengan sebuah perubahan. Tidak lagi terlalu melonjak-lonjak kegirangan seperti semula. Juga lebih awas pada apa yang dia injak di bawahnya. Mungkin anak saya sudah mendapatkan satu tambahan pelajaran hidup yang baru, seperti halnya saya sendiri kala itu.
Ukhti X yang dirahmati Allah SWT
Pada umumnya setiap orang itu digolongkan kedalam dua kategori kepribadian. Kepribadian terbuka (ekstropet) dan kepribadian tertutup (intropet). Pada kelompok yang pertama, mereka biasanya memiliki kemudahan untuk mengungkapkan apa yang menjadi kehendak dirinya. Apa yang ada di hatinya biasanya bisa mereka ungkapkan dengan mudah. “Saya suka kamu.” Atau “saya benci kamu”… atau “Saya marah karena tidak setuju!” atau .. “Saya senang dan saya setuju”… Supel dan sering kali mereka juga aktif untuk menyampaikan gagasan atau mewujudkan sebuah perubahan tertentu. Sebaliknya yang berkepribadian tertutup, mereka sering kali mengalami kesulitan untuk mengungkapkan apa yang menjadi kehendak dirinya. Mereka lebih merasa aman jika segala sesuatunya itu tidak diungkapkan secara terang-terangan. Kalau senang mereka mungkin akan tersenyum dan menunjukkan mimik wajah segar. Jika marah mereka biasanya diam saja seribu basa. Orang sering menemui mereka sebagai sosok yang pendiam dan kadang kaku atau bahkan sebaliknya, sosok yang penurut (penurut ini lebih karena mereka sulit mengatakan bahwa mereka berlainan pendapat dengan orang lain dan karena tidak bisa mengatakannya maka mereka ikut saja kehendak orang lain).
Kepribadian ini terbentuk sejak usia dini (beberapa ahli ada yang berpendapat bahwa terbentuk sejak masih di kandungan). Sayangnya, tidak ada yang bisa memprediksikan bahwa bayi A akan ekstropert dan bayi B sebaliknya. Karena proses pembentukan kepribadian ini berlangsung terus hingga usia dewasa dan dipengaruhi banyak sekali faktor. Kepribadian yang sudah terbentuk ini sulit untuk berubah. Misalnya dari introvert menjadi ekstrovert atau sebaliknya. Meski begitu mereka bisa memodifikasi diri (mengadakan sebuah perubahan penyesuaian pada lingkungan sekitarnya).
Lalu apa hubungannya pembagian kepribadian ini dengan kasus ukhti ?
Saya menduga, ada sebuah kesalahan berkomunikasi yang terjadi antara ukhti dan ibu ukhti. Kesalahana komunikasi ini mungkin terjadi karena bertemunya dua kepribadian yang berbeda dan saling bertolak belakang. Bisa jadi, dari kecil ibu ukhti menerima sebuah didikan tertentu dari keluarganya yang menyebabkan dia memandang bahwa cara mendidik seperti yang dia terapkan pada ukhtilah yang tepat dan terbaik untuk menjadikan anak lebih tegar, lebih mandiri dan lebih siap menghadapi badai kehidupan.
Semua orang tua, rasanya bisa dipastikan sayang pada anaknya (kecuali kasus luar biasa yang terjadi dimana orangtua dan anak saling membenci satu sama lain hingga bisa saling menghancurkan. Naudzubillahmindzaliik,, semoga kita semua dijauhkan dari hal demikian). Saya pernah menghadapi seorang ibu yang menangis sedih setelah dia habis-habisan menghajar anaknya yang bandel. Ibu itu menangis karena dia menyesal telah memukul, mencubit, menyiksa si anak yang bandel di luar kendali dirinya sendiri; karena sesungguhnya dia sangat sayang pada si anak dan ingin si anak tidak bandel lagi. Tapi ketika saya minta ibu itu untuk mengatakan pada si anak bahwa dia sebenarnya sayang pada si anak, ibu itu menolak. Alasanya, dia tidak terbiasa mengatakan apa yang ada di dalam hatinya pada orang lain, termasuk anak dan suaminya sendiri. Ini terkait dengan kerpibadian yang dia miliki yang sudah terbentuk sejak sekian lama dan dari kecil. Terlebih budaya timur kita sangat menekankan agar wanita memiliki sikap anggun dan penuh misteri (wanita kita sering dididik untuk memiliki kepribadian introvert atau kalaupun dia ekstrovert maka dimodifikasi agar tampil introvert). Sulit rasanya untuk sekedar menyapa si anak dengan kalimat “sayang, maafkan ibu yah, Tadi ibu lakukan itu karena ibu sayang banget ke kamu dan ibu ingin kamu tidak bandel lagi”. Bagi ibu itu, pengungkapkan kalimat kasih sayang hanya akan membuat dirinya tidak berwibawa di mata anak dan anak akan ngelunjak (besar kepala) padanya. Sebaliknya sikap ‘kejam’, penuh kekerasan dan aturan ketat adalah cara jitu untuk membuat anak lebih disiplin dan mau bekerja keras (mitos ini sudah meresap di kepala sang ibu sejak turun temurun dari keluarganya). Akhirnya, komunikasi di antara keduanya jadi tidak berjalan. Anak menaruh prasangka bahwa ibunya tidak menyayangi dia sedangkan ibu berkeyakinan bahwa anak akan mengerti semua tindakannya suatu hari kelak.
Suatu hari kelak.
Suatu hari kelak.
Kalimat ini sering kali saya dengar meluncur keluar dari mulut orang tua kita.
“Nak, suatu hari kelak, kamu akan tahu kenapa kami melakukan hal ini padamu.”
“Nak, suatu hari kelak, kamu akan sadar bahwa apa yang kami lakukan ini benar adanya.”
“Nak, suatu hari kelak, kamu akan menyesal karena tahu bahwa apa yang kamu lakukan hari ini salah besar.”
Mengapa bisa demikian. Karena sesungguhnya kehidupan itu seperti sebuah roda yang terus menggelinding. Sisi atas bila tiba saatnya nanti akan merasakan di bawah dan begitu juga sisi bawah kelak akan berada di atas. Sering kali kejadian berputar ini memuat juga pengulangan kejadian yang sama meski dalam dimensi waktu dan suasana yang berbeda. Bukankah dari dulu hingga kini seorang bayi kala pertama kali akan menyusu lalu dilanjutkan dengan memakan bubur ? Kejadiannya sama. Bedanya, orang tua kita merasakan pengalaman itu semua lebih dahulu dari kita dan mereka memprediksikan bahwa kelak kita akan mengalami pengalaman yang sama. Karena prediksi itu maka mereka berusaha menurunkan pengalaman mereka pada kita sebagai anaknya. Itu sebabnya mereka sering menggunakan kalimat “suatu hari nanti”. Hanya saja, karena kita belum tahu apa sih sebenarnya yang akan kita lewati dalam mengarungi pengalaman hidup itu, kita jadi tidak bisa mengerti apa yang orang tua kita inginkan pada kita. Kita tidak mengerti apa yang ingin orang tua kita harapkan akan kita peroleh dari pengalaman yang sedang mereka ajarkan pada kita.
Sama seperti jika kita melarang anak usia tiga tahun untuk tidak lagi bermain terlalu akrab (yang disertai peluk, cium dan gandeng meski karena gemas/lucu sekalipun) dengan temannya yang berbeda jenis kelamin, walaupun mereka sangat akrab sebelumnya dan sudah seperti adik kakak. Mereka akan protes dan tidak suka dengan larangan ini. Karena itu artinya mereka jadi hilang kesenangan. Sulit untuk menerangkan pada anak usia tiga tahun itu bahwa kebiasaan itu tidak boleh karena menyangkut pembiasaan akan hubungan pria dan wanita bukan muhrim. Apa itu muhrim ? Apa itu aturan dan batasan pria dan wanita ? Mengapa tidak boleh ? Sama sekali belum ada dalam memori otak mereka dan mereka juga masih buta sama sekali tentang gambaran kenyataan hidup yang ternyata lebih luas dari permainan yang biasa mereka lakukan sehari-hari. Kalau sudah begitu, mungkin ada baiknya kita betul-betul mengingat nasehat dari Ali ra, “Bimbinglah anakmu, karena sesungguhnya mereka akan hidup pada zaman yang berbeda denganmu”. Artinya, jika kita jadi orang tua kelak, ada baiknya kita menyesuaikan diri dalam membimbing anak-anak kita agar mereka tidak terbawa kesesatan kejahilan yang beredar di zaman mereka besar nanti tapi sekaligus kita tidak membuat diri kita berubah jadi monster yang asing bagi anak-anak kita hanya karena kita tidak mau tahu perubahan apa yang sudah terjadi di masa mereka besar nanti (lihat juga qs 31 : 17-19).
Lalu bagaimana penyelesaian kasus ukhti ?
Kepribadian ibu ukhti sudah jelas lebih kuat tertanam dalam segala perilakunya. Ini, karena beliau lebih lama merasakan “asam garam kehidupan”. Untuk mengajaknya berubah tentu memerlukan waktu. Tapi bukan berarti tidak bisa. Ingat, hidayah Allah bisa datang pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Jadi, mungkin ukhti yang masih bisa mengimbanginya dengan penyesuaian tersendiri yang diimbangi dengan doa bagi beliau. Yaitu jalinlah sebuah komunikasi yang lebih terbuka dengan ibu. Komunkasi kadang bisa mencairkan hubungan yang kaku. Mungkin, ada baiknya ukhti mengatakan pada ibu dengan terus terang dan sopan bahwa ukhti kurang suka jika dibeberkan kesalahan ukhti di depan teman-teman ukhti. Pilih moment yang tepat untuk mengatakannya. Terus tanyakan sambil lalu apa yang ibu ukhti inginkan pada ukhti untuk dikerjakan lebih lanjut jika terlihat beliau masih kurang puas dengan hasil pekerjaan ukhti; sambil katakan bahwa sebenarnya selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ukhti sendiri sebenarnya juga punya tugas sekolah lain yang juga harus diperhatikan.
Sesekali tunjukkan bahwa ukhti tetap seorang anak yang butuh bantuan beliau. Mesti ukhti bisa melakukan segalanya, tapi ketika ukhti meminta bantuan dan bimbingan beliau untuk mengerjakan sebuah tugas, beliau akan diingatkan bahwa bagaimanapun ukhti adalah anak yang tidak serba bisa dan masih butuh kehadiran beliau (kadang orang tua yang melihat anaknya serba bisa sering merasa bahwa kehadirannya sudah tidak dibutuhkan lagi dan mereka mengalami ketakutan sendiri akan sebuah perasaan tersingkirkan yang akhirnya muncul dalam sikap over akting; seperti yang ibu tunjukkan pada ukhti misalnya. Jadi, kadang menunjukkan diri ini butuh bantuan itu bukan selalu berarti kita lemah dan tidak berdaya kok, tapi bisa jadi menghargai kehadiran orang lain di samping kita).
Sambil menunggu perubahan, ukhti bersabar yah. Anggap saja ini sebagai ujian dari Allah untuk menguji kesabaran ukhti. Segala sesuatunya itu tentu ada hikmahnya. Jika cobaan datang dan ukhti menjalaninya dengan penuh keikhlasan serta tak berputus asa dari rahmat Allah, insya Allah ada ganjaran kebaikan di masa yang akan datang. WallahuaÂ’lam.
Ada sebuah email di sebuah milis yang saya baca. Isinya tentang curhat tentang masa lalu dan masa kini seorang ukhti. Si penulis email mengatakan bahwa dulu dia sering diperlakukan seperti pembantu oleh ibunya. Bekerja dari pagi hingga malam tiada henti padahal dia sendiri mesti harus menuntut ilmu juga. Setelah dia menikah dan punya anak, dia baru tahu mengapa ibunya memperlakukan dia seperti itu. Karena ternyata kehidupan berumah tangga itu menghadapi banyak sekali cobaan hidup. Mesti membagi waktu untuk banyak bidang, mulai dari mendampingi dan melayani suami, mengasuh dan mendidik anak, merawat rumah dan isinya, bertetangga kiri kanan, dan tetap menjaga diri sendiri agar tidak jadi berpenampilan seperti pembantu dan pengasuh anak beneran (hehehe). Nah, karena dia sudah terbiasa untuk kerja keras dari kecil maka semua kesulitan itu bisa dia lewati dengan sedikit lebih mudah ketimbang teman yang dari kecil berlimpah kemudahan dari orang tuanya. Subhanallah alhamdulillah.
Untuk tambahan, tidak ada seorangpun yang tahu apakah perekonomian dan kondisi rumah tangganya kelak akan lebih makmur ataukah kurang makmur daripada rumah tangga orang tuanya; apakah lebih ringan tugasnya ataukah lebih berat daripada rumah tangga orang tuanya. Latihan dan kerja keras sejak sejak belum berumah tangga insya Allah akan menjadikan seseorang lebih siap untuk menghadapi semua kemungkinan kondisi di masa yang akan datang. Semoga kita semua diberi kemudahan untuk menghadapi berbagai cobaan hidup di dunia ini dan selalu istiqamah berpegang pada tali agama Allah, Islam. Aamiin.
Terakhir, pertanyaan soal karakter apakah bisa dilihat dari gaya menulis seseorang. Jawabnya bisa iya bisa tidak. Fifty fifty deh. HeheheÂ… Ada orang yang sangat pandai menulis. Tulisannya selalu menyenangkan dibaca dan asyik pula. Tapi, ternyata begitu ketemu langsung sungguh jauh berbeda. Dia tidak asyik diajak bicara dan sangat membosankan. Ada juga yang begitu ketemu langsung ternyata orangnya memang menyenangkan, asyik pula diajak bicara. Itu karena ada berbagai faktor, peranan dan kondisi yang mempengaruhi tulisan seseorang. WallahuaÂ’lam.
Hhm.. kirim pertanyaan baru ajah. Nanti kita bahas lagi kapan-kapan, jadi topik bahasan kali ini tidak melenceng jauh. Okeh ? ^_^
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita [ 0 komentar]
|
|