|
STPDN:Satu Sisi Lain Jurnal Muslimah - Sunday, 18 July 2004
Kafemuslimah.comKemarin pagi di liputan 6 pagi sctv dibahas lagi tentang kekerasan di STPDN. Dalam berita sepagi itu dibahas pula berbagai tanggapan publik lewat fax dan sms tentang tayangan tindak kekerasan yang ditayangkan di hari sebelumnya. Ada banyak kecaman, ada banyak cercaan, ada kemarahan, ada keprihatinan. Semua lapisan masyarakat bergolak dan dunia pendidikan pun tercoreng, seolah dunia muram oleh keprihatinan.
Beberapa minggu lalu dalam sebuah tayangan kriminalitas di sebuah stasiun TV diungkap pula kasus ini, mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan, kesaksian-kesaksian, kecaman-kecaman, dan kesedihan-kesedihan. Masyarakat pada umumnya begitu saja menyalahkan “tersangka”, mencap dia sebagai pelaku yang tidak berperikemanusiaan dan sejuta tuduhan lain. Namun, ada satu sisi yang kadang tidak masyarakat sadari, yg waktu itu diungkap tayangan ini, satu sisi kedukalaraan dari keluarga tersangka. Tidak hanya keluarga korban yang merasakan kedukaan itu, keluarga tersangka pun ikut larut di dalamnya, pernahkah hal ini kita pikirkan…?
Dalam setiap peristiwa akan selalu ada 2 pihak yang terluka baik dari tersangka ataupun korban. Mereka punya orang tua, mereka punya keluarga. Orang tua manakah yang tidak akan teriris tatkala putra kesayangan mereka, yang semasa dulu berada dalam gendongan kasih sayangnya, kini mendekam dalam sebuah tempat sempit penuh kegelapan di sel. Orang tua manakah yang tidak akan berlarut dalam air mata, mendengar cercaan demi cercaan dan kecaman demi kecaman yang terus datang bertubi-tubi kepada putra kesayangan mereka, yang semasa kecil ia suapi, yang semasa kecil ia laksana mutiara zamrud kesayangan, tetapi semasa dewasa laksana arang yang mencoreng kelam.
Waktu itu betapa terlukis kegundahan yang dalam dari orang tua tersangka, beliau orang yang sederhana dan bersahaja, ada air mata yang hendak tercurah, permintaan maaf, dan doa panjang kepada almarhum dan keluarga. Orang tua tiada akan berkehendak putranya mendapat kesusahan di dunia ini, bahkan jika ia mampu pun semua akan ditanggung dalam pundaknya. Namun, mungkin semua akan kembali kepada kita, sebagai putra kesayangan mereka, bisakah kita menjadi sebuah perhiasan ataukan menjadi fitnah bagi mereka.
Sejak tayangan itu dan seiring kecaman-kecaman dan pemberitaan demi pemberitaan sampai hari ini, mengertikah betapa kalbu kedua orang tua tersangka itu akan terus tersiksa (Semoga Alloh memberikan kesabaran kepada keluarga korban dan keluarga tersangka..). Akan ada air mata yang terus mengalir, entah sampai kapan, sedangkan kini seolah-olah hal yg berbau hukum pun terasa meragukan. Yang salah bisa saja dibebaskan dan yang jujur pun , dengan sedikit trik, bisa dengan mudah dihukum. Saat ada praja lain yang bersedia bersaksi “dengan jujur” kemungkinan malah ia dikecam dan bisa dikeluarkan dari STPDN. Yang diam saja dan “nrimo” malah mungkin akan jadi pihak yang paling aman, tapi pernahkah mendengar ungkapan ini “setan yg bisu adalah manusia yg diam saja tatkala melihat kemungkaran terjadi di hadapannya”
Dunia pendidikan mungkin memang telah terwarnai dengan kekerasan. Ini barulah dari sebuah sekolah bernama STPDN yang sungguh, dari namanya, jauh dari kemiliteran lalu bagaimana ya keadaan di sekolah kemiliteran semisal SMU Taruna atau Akabri. Akankah sekolah2 itu memainkan peran yang wajar dlm hal tindak kekerasan untuk kedisiplinan, lebih baik, atau lebih buruk, hanya belum pernah diungkap. Demikian juga di almamater tercinta kita, masih ingatkah semasa Orientasi Siswa Baru akan selalu ada juga tindak “kekerasan”, seperti bentakan-bentakan, marahan-marahan karena kesalahan yg sungguh mungkin hanya dibuat-buat oleh kakak kelas, tidak mau tunduk berarti menentang senior dan selanjutnya akan “dikarantina” di ruangan khusus yang penuh dengan marahan dan teriakan untuk menjatuhkan mental. Lalu semasa waktu itu berlalu apakah kedisiplinan yang didapatkan, atau justru rasa benci kepada kakak kelas yg pernah memarahi dan dendam kesumat yang mendalam.
Untuk membentuk kedisiplinan bisakah kita melakukannya dengan kelembutan dan kasih sayang. Kita ingin yunior disiplin, kita ingin mereka patuh, tapi apakah dengan kemarahan dan kekerasan jalan keluarnya. Lihatlah Nabi kita, beliau selalu berkata lembut, beliau penuh dengan kasih sayang, beliau jarang marah, beliau sopan santun, beliau menghormati orang (bahkan kepada anak kecil sekalipun) dan lihatlah hasil semua itu, subhanalloh, para sahabat yang disiplin dan penuh dengan kasih sayang. Umar bin Khatab dijuluki “singa padang pasir”, beliau keras, tapi beliau adalah manusia yang penuh kelembutan dan perhatian kepada umatnya. Semua itu dari sebuah contoh yg baik, semua itu dari suri tauladan yang baik.
Bukankah kedisiplinan tidak akan bisa didapat secara instant. Masyarakat kita sekarang cenderung menjadi “manusia instant”. Segala sesuatunya ingin berjalan cepat dan mendapatkan sesegera mungkin dan kebudayaan kita mendukungnya. Ingin kaya, tidak usah bekerja keras, ada banyak undian yg menjanjikan hadiah yg menggiurkan. Ingin mendapat gelar sarjana tidak usah kuliah yang penting membayar sekian juta lalu dapat ijazahnya, tdk usah susah ikut UTS, UAS, dan berbagai tetek bengek lainnya. Kita jadi tdk menikmati proses tapi lebih banyak berpikir egois “pokoknya aku pingin dapat cepat tanpa mesti susah-susah”…lalu dimanakah kenikmatan berjuang itu …
Kawan, 15 tahun lagi bagaimanakah keadaan masyarakat kita? Berpikir ke arah itu memang menimbulkan kekhawatiran. Karena saat itu di samping kita akan ada sesosok manusia mungil kesayangan yang sedang berkembang. Apakah ia akan merasakan kehidupan yang lebih baik dari masa ini ataukah lebih penuh kekerasan dan ketidakpastian. Semoga segalanya lebih baik…..(dik Asik)
--- bdg, 24 Sept 2003 ----
[ 0 komentar]
|
|