[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Jika Hati Yang Bicara
Muslimah & Media - Sunday, 18 July 2004

Kafemuslimah.com “Tahun ini, memang saya hanya puasa makan dan minum saja. Mudah-mudahan tahun depan, mata dan hati saya bisa ikut puasa. Aamiin.” Seorang pemuda menutup pengharapannya dengan menyapu seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya ceria, khas wajah seorang pemuda masa kini lengkap dengan janggut tipis di dagunya yang memang sekarang sedang menjadi tren pada pemuda dan bukan lagi menjadi monopoli dan ciri khas pemuda Mushalla. Setelah itu muncul tulisan di layar televisi,
”Indahnya Hidup Jika Hati yang Bicara”

Itulah iklan dari Bank BNI. Secara berseloroh, aku katakan pada suamiku, “Wah, tahun ini Bank BNI hanya puasa makan dan minum saja toh, pantas ada kasus Penggelapan uang hingga 1, 7 Triliyun Rupiah.”. Fuih.

Di taksi, suatu hari di tengah bulan puasa Ramadhan tahun ini, Pak Tono bercerita tentang isi obrolannya dengan supir taksi. Supir taksi ini sejak awal masuk bulan Ramadhan hingga Ramadhan hampir berakhir hari ini, memutuskan untuk tidak menjalankan ibadah puasa.
“Kenapa Pak?” tanya pak TOno padanya.

“Yah, karna saya seorang yang darah tinggian. Cepat marah. Padahal dalam Islam dikatakan bahwa ada banyak orang yang berpuasa tapi pada akhirnya hanya memperoleh lapar dan haus saja, akibat mereka tidak dapat mengendalikan emosiya. Akibat hatinya tidak ikut berpuasa. Daripada usaha saya mengikuti puasa Ramadhan hanya menghasilkan lapar dan haus saja, tidak ada imbalan pahalanya saja, lebih baik saya tidak berpuasa. Dengan begitu saya lebih ikhlas dalam berIslam, lebih jujur.”

“Wah, kok alasannya hanya karena merasa punya penyakit darah tinggi saja. Padahal kalau cepat marah itu, bukan karena penyakit tapi karena kebiasaan. Seharusnya dengan berpuasa, kita melatih diri kita untuk meninggalkan kebiasaan yang buruk Pak.” Pak Tono mengimbuhi.

“Susah pak untuk seorang supir taksi seperti saya mengendalikan hal-hal tersebut. Kehidupan sehari-hari saya sudah cukup rumit jadi rasanya lebih ringan jika saya seperti ini saja. Islam itu kan agama yang banyak memberi kemudahan bagi pemeluknya. “ Si supir taksi masih memberi tanggapan dengan sangat bijak. Suamiku hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dulu saya sebenarnya bukan seorang supir taksi. Tapi seorang supir bis Solo Jakarta Solo. Menikah dengan istri saya tujuh tahun yang lalu dan dikaruniai 6 orang anak, akhirnya saya berhenti bekerja sebagai supir bis. Istri saya seorang Betawi jadi yah sudah sekalian saja saya hijrah tinggal disini. “ Tanpa diminta rangkaian cerita meluncur dari mulut si supir taksi ini. Mungkin karena jalan yang macet dimana-mana sehingga kejenuhan mulai muncul sehingga tanpa diminta si supir taksi kembali menceritakan jalan hidupnya pada Pak Tono.

“Tapi saya saata ini sedang mengajukan lamaran untuk bekerja sebagai supir Bus Way. Lebih tinggi pak gajinya sebulan, lumayan untuk saya yang punya dua istri dan 8 orang anak.”

“Dua istri?” Pak TOno heran. Kok ujug-ujug dia bilang punya 2 istri padahal dari tadi dia hanya menceritakan tentang istrinya yang Betawi.

“Ya. Saya punya dua orang istri pak. Istri pertama saya orang Betawi. Dia memberi saya 6 orang anak. Terus saya nikah lagi, dengan istri muda ini saya dikaruniai 2 orang anak.” Si supir taksi memberi penjelasan.

“Oo….”
“Cuma istri kedua saya ini agamanya nasrani pak. Kristen Protestan., jadi saya dan istri saya sama-sama tidak menjalankan puasa.” Kejutan demi kejutan terus mengalir dari bibir si supir taksi. Dan itu rasanya bukan yang terakhir. Sehingga kata-kata yang keluar dari mulut Pak Tono kebanyakan adalah oo, aa, dan oo.

“Sebelum menikah dengan istri muda ini, saya sudah konsultasi dengan ustadz saya. Beliau mengatakan bahwa Islam memang membolehkan poligami, malah boleh sampai 4 jika memang mampu. Yah daripada berzina. Poligami itu indah, karena bisa mengusir kejenuhan kita pada sebuah kerutinan. Apalagi istri pertama saya masih tinggal sama mertua. Yah, pegawai kecil seperti saya mana mampu membeli rumah sendiri. Kalau ngontrak malah makin boros karena tiap tahun dikejar-kejar uang kontrakan. Cuma yah itulah kendalanya kalau masih menumpang. Kita tidak bisa 100 % mandiri dan bebas. Jadi, saya hanya sesekali saja menemui dia. Dengan begitu perkawinan saya tetap adem-adem saja. Sekarang saya lebih banyak tinggal dengan istri muda. Karena istri muda saya ini seorang wanita karir pak, kerja di daerah Kemang sana. Jadi dia sudah punya rumah sendiri. Tapi alhamdulillah, kedua anak saya dari istri kedua ini semuanya Islam.”

“Yah, alhamdulillah.”
“Yang besar sudah 7 tahun sedang yang kecil sudah 4 tahun. Belum ikutan puasa sih. Yah, karena memang di rumah tidak ada yang menjalankan puasa. Saya tidak puasa sedangkan ibunya agamanya kristen.” Si supir taksi tersenyum.

“Tidak mau memperkenalkan Islam pada istrinya pak?”
“Hmm, terserah dia pak. Bebas sajalah. Jadi orang Islam juga nggak ringan kok. Harus shalat, harus puasa, harus bisa baca Quran, agak repot malah. Kayak saya ini, manah bisa saya tertib menjalankan shalat kalau sedang bekerja gini, apalagi untuk berpuasa. Yah, Allah Maha Tahu dan Maha Penyayang. Dia tentu tahu kondisi tiap-tiap hambaNya. Jadi, yah terserah sajalah. Islam itu kan tidak memberikan kesempitan jadi bebas sajalah. Mau masuk Islam syukur nggak juga nggak papah. Kan tidak wajib seorang istri beragama sama dengan suaminya. Kata ustadz saya, suami boleh menikahi wanita ahli kitab, nah kalau wanita tidak boleh menikahi laki-laki non muslim. Yah, berarti saya kan tidak punya kewajiban untuk mengIslamkan istri saya pak. “

“Wah, non comment deh pak. Tapi terus terang, saya kok banyak kurang sepahamnya dengan apa ayng bapak sudah utarakan. Alhamdulillah anak-anak bapak dipilih untuk Islam, tapi saya tidak habis pikir bagaimana untuk mengajarkan Islam itu sendiri pada anak-anak bapak jika orang tuanya saja tidak punya kebanggaan pada Islam?” Pak Tono sudah mulai hilang sabar.

“Loh, kan sekarang sudah banyak sekolah Islam pak. Tempat belajar mengaji juga banyak loh sekarang, di kampung-kampung saja ada. Mulai dari yang mahal sampai yang murah.”

“Betul. Satu lagi, Islam memang memberi banyak kemudahan bagi pemeluknya. Tapi bukan berarti bahwa umatnya boleh mengambil yang menguntungkan dirinya sendiri saja. Ada paket-paket yang juga harus dilihat dalam menjalankan Islam. Seperti setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, paket berikutnya yang harus dijalankan itu yah shalat, lalu puasa dan bayar zakat. Jangan Cuma ambil kalimat syahadatnya saja, tapi terus disuruh shalat dan puasa keberatan. Tapi begitu ada fasilitas boleh berpoligami langsung diambil.” Hati-hati Pak TOno mencoba menjelaskan.

“Yah, penafsiran kita kan beda-beda yah pak. Ustadz saya sih tidak keberatan dengan apa yang saya lakukan sekarang dan saya sendiri juga merasa bahagia tuh berIslam selama ini. Yah. Bebas saja deh pak. Bapak dengan keyakinan bapak, saya dengan keyakinan saya.” Akhirnya rumah Pak TOno telah terlihat. Alhamdulillah, mau tidak mau pembicaraan ini akan segera berakhir. Meski masih meninggalkan satu ganjalan tentang perbedaan yang dimaksud. Tampaknya pada banyak hal, kalimat tentang perbedaan ini menjadi kalimat pamungkas bagi siapa saja yang ingin mempertahankan pendapat dan apa yang diyakininya. Pada satu sisi, perbedaan itu adalah rahmat. Karena dengan begitu kita jadi belajar untuk mencari dan mempelajari dimana dan yang mana kebenaran yang sesungguhnya itu. Tapi di sisi lain, perbedaan ini terkadang merupakan sebuah pintu tertutup yang sudah terkunci dan kuncinya sudah hancur termakan oleh perubahan kimiawi dalam ruang dan waktu. Tak ada yang bisa membukanya dan akibatnya tak bisa ditawar lagi. Yang berbeda akan tetap berbeda dan tidak bisa dikompromi agar berbaur dengan yang lain.
Satu kalimat indah yang sering terucap untuk menjernihkan sebuah kondisi yang tersimpul akibat perbedaan yang tidak bisa ditawar lagi tersebut.
Just Folloo Your Heart”” atau Ikuti kata hatimu.

Mungkin itu sebabnya iklan Bank BNI di bulan Ramadhan kali ini mengusung tema, “Indahnya hidup jika hati yang bicara”. Tapi satu hal yang tampaknya terlupakan. Bagaimana kondisi hati yang berbicara tersebut? Siapa yang terwakili dalam hal ini? Bukankah hati yang putih akan menyiratkan cahaya terang dalam pancaran jawabannya sedangkan hati yang kelam tidak lain hanya menyampaikan kekelaman sebagai cerminan jawabannya?
Bukankah hati yang putih bisa jadi berkarat jika kita tidak pernah membersihkannya dari kehadiran noktah-noktah godaan duniawi yang terus berdatangan tiap saat?
Bukankah hati yang tidak pernah terasah untuk mencari hikmah kebesaran Allah pada akhirnya akan menjadi mati dan keras seperti batu?
Jadi, hati yang mana yang akan diikuti?

Akhirnya, taksi itu berlalu dari hadapan pak TOno. Pergi membawa hikmah baru. Sungguh Islam itu indah dan membawa kemudahan bagi pemeluknya. Tapi dia bukan permainan dan perlengkapan yang bisa sesuka hati kita ambil bagian-bagian yang enaknya dan membuang bagian yang sulitnya.
Pak TOno masuk ke dalam rumah.
Beduk maghrib hampir berbunyi.
Waktu berbuka hampir tiba.
Dan sebelum azan dari televisi berkumandang, kembali muncul pemuda ceria berjanggut tipis dengan kaus merah dan tas ransel di televisi untuk mengisi jeda iklan.

“Tahun ini mungkin saya hanya bisa berpuasa makan dan minum saja. Mudah-mudahan tahun depan, mata dan hati saya bisa ikut berpuasa. Aamiin.”

(saya jadi ingat ibu saya, tahun ini untuk pertama kalinya kami berpuasa tanpa kehadiran beliau. Bulan April lalu beliau meninggal dunia. Jika saja tahun lalu dia tahu bahwa puasa Ramadhan tahun ini beliau tidak bisa mengikutinya, tentu tahun lalu dia akan melakukan yang terbaik bagi ramadhannya. Tapi tak seorangpun yang bisa tahu apa yang terjadi di hari esok. Juga tak seorangpun tahu kapan sang maut akan datang menjemput? Akankah tahun ini menjadi Ramadhan terakhir saya? )

Dan sebelum saya menyudahi tulisan ini, SMS saya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari seorang teman.
Sebelum Adzan Maghrib,
Sebelum Ramadhan selesai,
Sebelum Jaringan penuh,
Sebelum operator sibuk,
Sebelum Pulsaku habis,
Sebelum Ajal datang,
Aku pingin minta maaf sepenuh hati. Taqabbalallahu minna wa minkum”


--------------Jakarta, 23 November 2003
Ade Anita ([email protected])
Untuk semua pembaca Kafemuslimah, mohon maaf lahir dan batin. Taqabbalallahu minna wa minkum.

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved