|
SMS Hujan Muslimah & Media - Sunday, 18 July 2004
kafemuslimah.com Tiiitttt… HP-ku berbunyi. Hm. Sudah beberapa hari ini HP-ku rajin berbunyi karena alhamdulillah banyak sms yang masuk untuk mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mungkin kali ini ada sms serupa yang masuk lagi. Entah dari siapa. Kali ini, aku tidak langsung membukanya, karena tanganku penuh dengan sabun untuk mencuci pakaian. Sementara air dari kran terus mengalir memenuhi ember penampung air. Suara air yang bergericik mengisi ember tampak bersaing dengan suara rintik hujan di atas genteng. Tik. Tik. Tik.
Alhamdulillah musim hujan telah tiba sejak beberapa minggu ini. Dimulai sejak awal Ramadhan. Senangnya menghabiskan waktu siang di musim ramadhan lalu dalam suasana yang tidak terlalu terik seperti di musim kemarau yang sudah lewat. Kala itu matahari terasa seperti bisa menembus pakaian. Perih dan sangat kering. Tapi lihatlah beberapa hari ini. Hujan sangat rajin datang. Aku tidak perlu lagi berhitung kapan harus mengisi persediaan air di bak dan kapan harus menyiram tanaman. Hujan sudah menggantikan tugasku menyiram tanaman di halaman. Genteng-genteng di atas rumah mulai menampakkan warna aslinya yang kecoklatan. Debu-debu di atas daun pun sudah hilang dan berganti dengan segarnya hijau dedaunan. Bunga-bunga tampak menari-nari di pucuk-pucuk tanaman. Beberapa hari yang lalu, aku sengaja menanam beberapa tanaman Kalianda di halaman rumahku yang mungil. Ada warna kuning, merah muda dan putih. Ketika kesemuanya berbunga, bukan main sejuknya hati ini melihatnya. Subhanallah. Begitu besar kekayaan warna-warni yang Allah berikan untuk memberi cita rasa pada beraneka ragam tanaman. Belum lagi rumpun kemuning yang setelah rajin aku cangkok kini tampak memenuhi sepanjang pagar tanaman halaman miniku. DI musim hujan ini mereka rajin sekali berbunga. Wangi bunga kemuning jika senja mulai muncul, terbawa angin terus hingga ke beberapa rumah di gang belakang rumahku. Semua orang merasa tentram mencium wanginya. Alhamdulillah. Hujan memang sering membawa banyak kesenangan. Beberapa bulan yang lalu, saudara-saudaraku yang berasal dari Palembang mengeluh bahwa di Palembang sudah beberapa bulan tidak turun hujan. Pasokan air sudah sangat menipis dan krisis air melanda semua warga. Bahkan ketika di Pulau Jawa sudah mulai turun hujan, di Palembang tetap masih harus menanti dan berdoa agar hujan segera turun. Sudah terlalu banyak materi dan energi yang keluar untuk mengatasi krisis air di kota yang dulu pernah dijuluki Kota Air di Sumatra.
Setelah semua pekerjaan rumah tangga selesai, aku segera membuka sms.
”Mbak. Hujan sudah mulai turun. Tapi yang ada adalah kesedihan karena banjir sekarang melanda.”. Bersamaan dengan selesainya aku membaca sms itu, suara pembaca berita di televisi terdengar memberitakan tentang banjir yang melanda Kota Palembang dan Pontianak. DI Televisi, banjir di kota Palembang terutama melanda daerah-daerah yang dekat dengan aliran sungai. Ketinggian air sudah sampai sepaha orang dewasa. Barang-barang seperti kasur, karpet, kulkas, kursi, baju-baju dan sebagainya tampak sudah mulai dinaikkan di atas meja, atau di atas dipan, atau di atas apa saja yang tinggi. Sementara penghuni rumah tampak mondar-mandir di dalam rumah sambil mengangkat pakaian mereka hingga di atas lutut agar tidak basah tersapu air. Kondisi sama juga terlihat di Kota Pontianak. Hanya saja di kota ini banjir tidak separah di Palembang. Dari berita, diperoleh keterangan bahwa banjir di Kota Palembang terjadi setelah hujan turun selama empat (4) hari berturut-turut tanpa henti.
Aku termangu menatap layar televisi.
Rasanya sulit dipercaya bahwa pada akhirnya doa semua orang terjawab dengan hadirnya hujan guna mengusir kekumuhan kemarau. Tapi ketika hujan yang ditunggu-tunggu kedatangannya itu ternyata membawa bencana, yang hadir seharusnya bukanlah penyesalan. Tapi introspeksi diri. Begitu banyak kerusakan alam yang diakibatkan oleh tangan manusia. Hingga ketika musim panas tiba, terjadi gejala kekeringan yang menyebabkan krisis air dimana-mana dan ketika musim hujan tiba, ternyata berganti dengan kedatangan air bah yang tak dapat dikendalikan lagi. Apa lagi yang bisa disalahkan selain sistem pengaliran air yang tidak berfungsi dengan baik, apa yang harus diperhatikan seharusnya adalah kebobrokan sistem pembuangan yang semrawut. Juga kebersihan kota, kedisiplinan penduduk dan sebagainya. Yang salah bukan hanya pemerintah tapi juga seluruh warga masyarakat. Bukankah yang hidup di sana bukan hanya pemerintah saja tapi juga bersisian dengan anggota masyarakat yang lain? Pemerintah bersalah karena di tangannya seharusnya sistem tata kota, sistem hukum dan peraturan ditegakkan demi keserasian warga masyarakatnya, tapi warga masyarakat juga dituntut untuk disiplin mematuhi peraturan dan menghargai keberadaan bersama guna saling membantu. Sehingga ada hubungan saling membutuhkan bukan saling menyalahkan seperti yang kerap terjadi jika terjadi bencana.
Sesungguhnya segala sesuatunya itu sudah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan manusia. Itulah karunia Ilahi untuk semesta bumi. Hanya saja, manusia tampaknya tidak dapat diberikan amanah. Karunia yang ada disia-siakan. Kesemena-menaan meraja lela hingga akhirnya yang muncul adalah kerusakan.
Ah.
Jika sudah begini tentu yang hadir kembali adalah keluhan.
Tidak diberi mengeluh.
Setelah diberi mengeluh.
Itulah kita. Manusia yang tidak pernah puas dan tak berhenti mengeluh. Tapi sulit untuk mau sejenak berintrospeksi dan memperbaiki diri agar lebih baik.
Astaghfirullahalazhiim.
----------1 desember 2003
Ade Anita ([email protected])
[ 0 komentar]
|
|