|
Masih ada Lagi Jurnal Muslimah - Sunday, 18 July 2004
Kafemuslimah.com Pagi yang cerah itu Rani agak kesal. Sudah tiga hari sampah didepan rumahnya belum diangkut oleh pasukan kuning. Empat tas kresek ukuran sedang bertengger di depan rumahnya. Bau busuk mulai menyebar. Maklum baru memasak udang kemarin. Ditengoknya Sani suaminya tengah membaca Koran pagi yang baru datang. Seperti biasa ia tak dapat diganggu kalau sedang membaca. Sebagai isteri yang mulai memahami sifat suami, Rani tak ingin mengusik.
“Mas, sudah tiga hari sampah kita belum juga diambil.” kata Rani ketika suaminya telah selesai membaca.
“Lho, yang belum diambil kan bukan hanya punya kita.” sahut suaminya.
“Ya! Tapi sampah kita sudah banyak, bau lagi. Buang dong … mas.” rengek Rani.
“Buangnya dimana?” Tanya Sani suaminya dengan nada segan.
“Ya di tempat sampah ujung jalan sana.”
“Buat apa jauh-jauh. Buang saja di got depan rumah.” kata Sani bercanda. Rani sebal sekali. Apalagi dilihatnya Sani sudah rapi, siap berangkat kerja. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa sampai suaminya pergi.
Sampai hari kelima sampah itu belum diangkut juga. Tetangga depan dan samping rumah sudah mulai menegurnya. Rani kesal dan kesal sekali. Ya kepada tukang sampah ya kepada suaminya. Dengan rasa sedikit dongkol dipanggilnya becak. Rupanya cobaan belum juga usai. Tukang becakpun tak mau mengangkut sampah dengan alasan sampah itu nanti akan mengotori becaknya. Masya Allah…Rani menghela nafasnya. Terpaksa ia bolak-balik di pinggir jalan. Yah, lumayan juga capeknya.
Rani mencoba menenangkan hatinya. Tapi tak bisa. Kekesalannya meledak dengan tangis. Kebiasaan waktu kecil yang tak bisa ditinggalkannya. Ia memang cenderung menggunakan perasaannya dalam menyelesaikan masalah.
Rani duduk bersandar di kursi, merenungi masa-masa pernikahannya. Sani yang tak pernah dikenalnya telah menjadi jodohnya. Masa-masa awal pernikahannya terasa kikuk tapi menyenangkan. Mereka mencoba saling memahami sifat dan kekurangan masing-masing. Namun sampai bulan keempat ini, ia masih merasa sulit memahami sifat dan sikap suaminya. Ia yang semenjak kecil selalu dididik rapi dan disiplin merasa sulit beradaptasi dengan sikap suaminya yang cuek dan suka berbuat semaunya sendiri. Sani anak bungsu dari suatu keluarga yang cukup mampu. Tak ada yang bisa dilakukannya di rumah kecuali membaca dan membaca. Tak pernah ia membantu pekerjaan dalam rumah seperti mengepel, menguras kamar mandi atau pekerjaan rumah lain, asal bisa sedikit mengurangi bebannya.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamualaikum…”. Rani terperanjat. Ada tamu! Segera ia merapihkan jilbabnya.
“Evi!” Jerit Rani begitu tahu siapa yang datang, “Waalaikumsalam…” Evi tersenyum. Bayi yang digendongnya menguap lebar. Rani mencubit lembut bayi itu dengan gemas.
“Silahkan masuk Ummu Hisyam”, kata Rani menggoda.
“Aku ke dalam dulu, ya”.
“Ngga usah repot-repot, Ran”.
“Beres..”. Evi mengeluarkan selimut plastiknya dari dalam tas dan membentangkannya di atas sofa. Kemudian dibaringkannya bayi di situ.
“Ditidurkan di dalam saja Ev,” ujar Rani setelah menyuguhkan hidangan.
“Biar saja di sini menemani kita ngobrol.” Rani tersenyum mengiyakan.
“Afwan, ran. Aku tak bisa datang pada walimahanmu”.
“Bagaimana ran? Kau bahagia bukan? Tentunya kau mendapat laki-laki yang shalih sebagai pendampingmu”. Rani terdiam matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Lalu kesedihannya yang memenuhi dadanya menjadi isak tangis.
“Ada apa, ran? Ada yang salah dalam ucapanku tadi?” Rani tertunduk. Berat rasanya memaparkan masalah yang dihadapinya kepada orang lain. Tapi Evi bukan orang lain baginya. Sahabatnya sejak di SMU itulah yang telah mengajaknya ke jalan Islam.
“Tidak, Ev. Tidak ada yang salah. Mas Sani memang laki-laki yang shalih. Tapi aku belum bisa menyesuaikan diri dengan sifatnya”, kata Rani dengan hati-hati. Ia lalu menumpahkan segala apa yang mengganjal dalam hatinya.
“Bagaimana menurutmu Ev, bila lantai yang baru saja aku pel bersih menjadi kotor karena sepatu yang tak dilepas. Buku-buku yang diatur menjadi berantakan seketika. Koran-koran berserakan dimana-mana. Dan kalau aku peringatan, jawabannya ringan sekali. Afwan, lupa, nanti dirapihkan, sekali-kali. Itu tidak sekali dua kali, tapi berkali-kali. Mas Sani tak membantu. Aku kan capek. Evi tersenyum menenangkan sahabatnya.
“Sabar Ran. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Itu harus kita sadari. Begitulah tugas ibu rumah tangga. Apalagi nanti kalau sudah punya jundi. Kau akan tampak repot. Yang penting diantara kalian berdua harus ada keterbukaan supaya dapat menyelesaikan masalah bersama-sama.”
***
Rani terbaring di rumah sakit. Wajahnya pucat dan sekali-kali merintih kesakitan. Ia baru saja keguguran kandungannya yang baru berusia 3 bulan. Evi dan suaminya datang menjenguk, beberapa menit setelah ia dipindahkan dari kamar bersalin. Mereka datang lebih awal setelah mendapat informasi dari tetangga Rani. Mereka yang ingin bertemu segera ke rumah sakit.
Rani tersenyum ketika Evi menggenggam tangannya. Hatinya sedikit terhibur. Di luar Sani ditemani Arif, suami Evi. Arif mencoba menghibur hati Sani sambil bertukar pandangan.
“Memang pekerjaan isteri di rumah itu berat. Bayangkan, dari setelah bangun tidur dia sudah harus bekerja. Menyiapkan sarapan, menyiapkan keperluan suami dan pekerjaan lainnya yang selalu ada. Ke pasar, memasak, mencuci, setrika, membersihkan rumah…baru malam hari ia bisa istirahat. Esok harinya ia harus menghadapi pekerjaan rutin dan harus memutar otak untuk membelanjakan uang yang terbatas agar menu makan dapat bervariasi. Rutinitas seperti itu lebih terasa membosankan karena ruang geraknya hanya dibatasi dinding-dinding rumah yang terkadang sempit. Apalagi kalau sudah punya bayi. Akan tambah capek dan repot isteri kita. Coba bandingkan dengan keadaan kita sebagai suaminya. Kita selalu berada di luar rumah dengan situasi yang berganti-ganti sehingga kita tidak cepat bosan. Apalagi isteri di rumah sudah menyediakan keperluan kita”. Arif mengemukakan pandangannya dengan nada hati-hati dan tenang. Ia tak ingin Sani menjadi semakin merasa bersalah. Ini jelas akan memperburuk keadaan. Sani tercenung. Dicermatinya kata-kata Arif. Selama ini ia tak pernah berpikir sejauh itu.
“Memang semua itu tugas isteri, tapi mungkin yang sering kita lupakan adalah rasa saling menghargai. Apa salahnya jika sesekali memuji masakan isteri, mengajaknya rihlah. Atau yang sepele saja, seperti tidak membuatnya jengkel. Alhmadulillah, jika kita bisa membantu pekerjaan rumah kalau ada waktu. Itu akan mengurangi kebosanan dan akan lebih membahagiakannya”, lanjut Arif. Sani tertunduk. Apa yang dikatakan Arif benar-benar membuatnya sadar. Ah… ia merasa begitu egois.
Ketika Arif dan Evi pulang, dilihatnya isterinya tidur dengan tenang. Ketika menatap wajah isterinya yang pucat, tak terasa matanya berkaca-kaca. Ia merasa melupakan rahmat dari Allah yang telah mengaruniai isteri yang solihah, ikhlas dengan keadaannya dan patuh. Dalam hati ia berjanji akan berbuat yang lebih baik.
Ya Allah, bisik Sani. Berilah aku kesabaran untuk selalu membahagiakannya.
(Oleh: Mia Kania Dewi)
[ 0 komentar]
|
|