|
Grogi Jurnal Muslimah - Sunday, 18 July 2004
Kafemuslimah.comTidak jarang kini, orang tidak mengenal siapa orang yang tinggal di sebelah rumahnya. Ini terjadi karena kesibukan individu akan pekerjaannya hingga lebih sering mementingkan urusannya masing-masing. Pekerjaan, sekolah, berdagang, aktivitas sehari-hari dengan berangkat pagi dan pulang petang, tidak menyempatkan kita bertemu, bersosialisasi dan bertegur sapa dengan tetangga. Oleh karena kesibukan pula, terkadang kita melupakan hal-hal remeh seperti berkenalan, bersilaturahmi, menyapa bahkan tersenyum dengan tetangga.
Terkenang saya akan pesan ibu, tetangga adalah saudara kita yang terdekat, terlebih lagi bila ia seorang muslim. Ya, Ibu saya adalah orang yang sangat senang bersilaturahmi dengan tetangga. Setiap kali ada anggota keluarga kami yang berulang tahun, beliau selalu menghantarkan hidangan buat tetangga, juga bila ada syukuran atau pengajian di rumah, beliau tidak lupa mengundang tetangga. Beliau juga yang selalu memulai dulu bila ada tetangga baru, "Kini keluarga muda tambah cuek sama tetangganya, seakan tidak butuh tetangga." Seakan ibu menyindirku deh, kalau aku malu menyapa duluan teman2 beliau bila bertemu.
Dulu, kami tinggal di komplek perumahan yang jauh dari pasar, atau warung, jadi terkadang bila kehabisan bumbu ibu tidak segan minta ke tetangga lalu nanti menggantinya, " Ini juga salah satu keuntungan dekat dengan tetangga". Terngiang dalam benakku, "Nduk,tetangga itu saudara yang terdekat, kalau kita perlu bantuan kita bisa minta tolong tetangga yang rumahnya dekat. Juga tetangga berhak mencicipi masakan kita bila tercium bau asapnya", setiap kali ibu menyuruhku mengantarkan hidangan ke rumah sebelah. Beliau juga berpesan agar kita selalu berhubungan baik dengan tetangga, namun jangan sampai mencampuri urusan mereka. Juga bila lebaran adalah ultimatum dari orangtua, saya beserta adik-adik wajib berkunjung ke rumah keluarga sebelah rumah.
Masih juga lekat oleh saya perhatian ibu terhadap tetangga-tetangganya. Bagaimana beliau begitu 'care' menjaga seorang nenek tetangga yang sakit ketika keluarganya sedang ke luar kota. Hingga ketika nenek itu meninggal, beliaupun rajin mengantarkan hidangan kepada tetangga sebelah. Hubungan kami dengan keluarga tetangga sebelah memang akrab layaknya seperti keluarga, tidak jarang pula saya dan adik-adik tinggal di rumah mereka bila ibu sedang ada urusan. Ketika saya mesti ditinggal keluar kota sendiri oleh ayah ibupun, kakak sebelah rumah yang menemani saya menginap di rumah, saat itu saya ingat masih kelas 6 SD.
Ada juga kenangan manis tersimpan dalam memori, saat tetangga depan rumah adalah teman sekelas saya sewaktu SD. Kami, dua keluarga sangat akrab seperti keluarga. Seringkali saya bermain, makan, sampai diijinkan nginap dirumahnya bila libur sekolah, begitu pula sebaliknya dengan kawanku. tak jarang pula kami melewati akhir pekan bersama, dengan piknik atau berenang. Setelah itu mereka pindah rumah, namun kami masih sering berhubungan terkadang telpon ataupun e-mail. Alhamdulillah, semua tetangga dan bekas tetangga kami baik-baik sampai kini masih saling silaturahmi meski sekedar kirim kartu lebaran. Tandanya kita masih saling ingat kan!?
Lalu ketika saya menikah dan tinggal di rumah sendiripun Ibu kembali mengingatkan " Sudah kenalan dengan rumah sebelah?". Sudah seminggu kami pindah rumah saat itu dan belum berani main ke rumah sebelah, saya coba menawar "Bu, lewat telpon saja kenalannya ya?". "Lebih baik kalo bertamu, apalagi kalo dengan yang lebih tua! Kamu sebagai warga baru harus yang memulai dulu, Nduk! Sana main ke rumah sebelah sama suamimu ".
Aduuh...hii, rasanya grogi juga ya mau datang ke rumah orang yang belum kita kenal, entah apa bahan perbincangan dengan mereka, apalagi berbasa-basi dengan yang lebih tua, "Nanti kalau dicuekin bagaimana, Bu?", terus terang saya agak segan untuk menyapa tetangga sebelah kiri, habis orangnya cuek bila bertemu disenyumin tidak membalas, kan jadi bikin tambah grogi nih. Apalagi suami orangnya pendiam, tidak banyak omong, otomatis saya deh yang harus berusaha ngobrol. Dengan berusaha cuek sayapun menuruti pesan ibu, bertamu ke rumah mereka, mengantar hidangan bila ada hajat, dan berkunjung di waktu lebaran.
Alhamdulilah hubungan saya dengan tetangga baik, meski ada juga yang tidak begitu ramah, bila diundang tak pernah datang, dan bila bertemu sekedar bertukar senyum. Rasanya, apakah ada yang salah dengan saya?. Astafhfirullah, bukankah kita harus selalu berhusnuzhan, yah, kita memang bertetangga, dan berteman juga tergantung kecocokan sifat dan karakter tiap orang, lingkungan tempat tinggal terdiri dari bermacam-macam watak, latar belakang dan budaya. At least, berhubungan baik, sosialisasi atau berkenalan dengan tetangga harus dimulai dari diri sendiri. Oleh karena itu hindari Su'udzon.
Ibu pernah bercerita, beliau pun pernah mengalami punya tetangga yang cuek, dan sombong.Namun ibu tidak pernah memasukkannya dalam hati. Sampai suatu ketika, tetangga kami yang cuek itu menjadi baik setelah anaknya berobat pada bapak saya ketika kakinya patah. Lalu pernah ada juga yang selalu cerewet, ingin tahu dan suka mencampuri urusan orang, ini yang biasanya dikenal sebagai gossipper, "Kalau bertemu tipe seperti itu, lebih baik kamu diam saja, dan jaga jarak saja dengan mereka, supaya tidak pusing." Kata-kata Ibu kembali mengingatkan saya "Yang penting kita harus selalu berbuat baik, selalu tersenyum bila berpapasan, tidak usah kamu pikirkan bagaimana mereka menanggapinya baik atau tidak, anggaplah bagai angin lalu." Yah, itulah semua tips yang saya dapat dari Ibu tentang sosialisasi bertetangga.
Kenapa sosok tetangga ini begitu penting ya? Bayangkan saja bila kita tidak kenal dan tidak mau tahu dengan tetangga kita, sedangkan orang yang tinggal disebelah rumah kita itu sedang kelaparan, sekarat, atau butuh pertolongan, namun kita yang tinggal paling dekat dengannya tidak membantu karena tidak saling tahu dan kenal, Apakah kita tidak ikut berdosa? Begitupula sebaliknya, bila kita sedang sendiri di rumah dan butuh pertolongan, maka yang terdekat adalah tetangga. Bila tak kenal, bukankah kita merasa segan meminta pertolongannya? Lagipula bukankah kita sebagai manusia butuh teman? Sepi rasanya dunia bila tak ada teman, alangkah manisnya bila teman selalu dekat dengan kita, yaitu tetangga sebelah rumah.
Ada hadis yang rasanya cocok dengan hal sosialisasi dengan tetangga;
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik r.a, pembantu Rasulullah saw, dari Nabi saw bersabda: "Tidak beriman salah seorang diantara kalian sehingga ia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu bagi dirinya sendiri" (HR. Bukhari dan Muslim)
Terkenang kembali, tahun pertama kami tiba di rantau ini. Saat itu saya begitu bersyukur dan senang karena jiran atau tetangga sebelah kiri rumah adalah orang Melayu. Dua hari tinggal di situ saya mulai memikirkan bagaimana cara untuk berkenalan dengan orang sebelah, ternyata malah keduluan Makcik sebelah yang langsung menyapa ketika ia menjemur pakaian," Biasanya, orang muda sering segan menyalami dulu, langsung saja makcik tegur duluan kamu, biar kita cepat akrab"...Alhamdulillah, makcik itu orangnya ramah dan bersahabat sehingga saya tidak perlu grogi dan persiapan mental.
Saya memang selalu merasa grogi kalau hendak memulai bicara duluan, seperti kini saya masih hanya sempat bertukar senyum dengan tetangga di rumah baru ini. Sudah hampir tiga bulan kami disini. InsyaAllah, saya akan mula menyapa dengan menghantar ta'jil untuk berbuka puasa di hari pertama ini ke rumah mereka...dan nanti di hari raya kami sekeluargapun akan silaturahmi ke rumah mereka. Ssst...jangan bilang Ibu saya ya!^_^
Astaghfirullah!
***
Singapura, October 2003
I will always remember what you've taught me, Ibu!
Amalia Yaniarti [ 0 komentar]
|
|