[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Tentang bersentuhan antara pria dan wanita
Uneq-Uneq - Thursday, 26 February 2004

Pertanyaan :
AssalamuÂ’alaikum wr wb
Â… ana pengen tau hadist yg menerangkan ttg akhwat tdk boleh bersentuhan ama ikhwan Â….
WassalamuÂ’alaikum wr wb

Jawab (juga untuk teman-teman lain yang mengajukan pertanyaan serupa):
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Berikut ini saya rangkumkan beberapa pendapat yang saya ambil dari beberapa buku untuk menjawab pertanyaan teman-teman yang bertanya tentang dalil yang menerangkan tentang persentuhan pria dan wanita. Dari buku yang saya miliki (maaf jika koleksi saya terbatas), maka bab yang membahas tentang persentuhan antara pria dan wanita terdapat dalam dua bagian. Bagian pertama adalah yang membahas tentang batal atau tidaknya wudhu karena persentuhan pria dan wanita dan bagian kedua adalah yang membahas tentang hukum berjabat tangan antara pria dan wanita. Semoga bermanfaat.

A. Batalkah wudhu orang yang bersentuhan dengan perempuan ? (dari buku: Soal jawab berbagai masalah agama, A. Hassan, jilid 1).
Jawaban A. Hassan: Ada sebagian dari ‘ulama’ memandang, bahwa bersentuh dengan perempuan itu membatalkan wudhu. Ada sebagian lagi memandang tidak batal.

Fihak yang membatalkan mengatakan alasannya ialah riwayat dari MuÂ’adz bin Jabal:
“Seorang laki-laki pernah datang kepada Rasulullah saw lalu ia bertanya: Apa hukum Rasulullah tentang seorang laki-laki berjumpa seorang perempuan ia kenal, lalu ia lakukan kepada perempuan itu segala apa yang seorang lakukan kepada istrinya, tetapi tidak ia bersetubuh dengan perempuan itu? Di waktu itu turun ayat ini (yang artinya):.. kerjakanlah shalat di dua bahagian siang dan di permulaan malam karena kebaikan itu menghilangkan kejahatan”. Maka Rasulullah saw berkata: “Pergilah engkau berwudhu lantas shalat.” (HR Ahmad).
Maksudnya: Ada orang bertanya kepada Rasulullah : apa hukum menyentuh, memegang, mencium perempuan lain? DI waktu itu turun ayat yang artinya: Kerjakanlah shalat pagi, petang dan malam karena kebaikan itu bisa menghapus kejahatan. Sesudah itu Rasulullah suruh orang itu berwudhu dan shalat.

Selain hadits di atas, alasan lain adalah firman Allah TaÂ’ala:
“… atau kamu menyentuh perempuan.” (qs An-Nisa: 43). Maksudnya: bahwa menyentuh perempuan itu membatalkan wudhu.

Fihak yang menganggap tidak batal wudhu dengan sebab bersentuh perempuan itu, menolak dua keterangan yang ditunjukkan oleh fihak yang mengatakan batal wudhu dengan sebab bersentuh perempuan itu, berkata:

Pertama: bahwa hadits yang diriwayatkan oelh imam Ahmad itu tidak shah. Hadits itu juga diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim, tetapi dengan tidak pakai perkataan: “Rasul suruh berwudhu dan shalat,”. Oleh sebab itu tidak boleh dijadikan alasan. Walaupun dipandang shah, tidak bisa dijadikan alasan untuk batal wudhu, karena orang yang bertanya itu tidak menerangkan yang ia sentuh perempuan itu ketika ia ada berwudhu. Kedua, bahwa perkataan ‘lamastumun-nisa’ di ayat itu sungguhpun menurut asal berarti ‘menyentuh perempuan’ dengan tangan, tetapi disini tidak diberi arti itu lagi, melainkan wajib diberi arti ‘bersetubuh dengan perempuan’ karena :

Kalau ditetapkan arti ‘lamastum’ itu bersentuh’ niscaya bersentuh dengan ibu dan saudara perempuan juga batal wudhu karena ayat itu atau ayat lain tidak mengecualikan ibu atau saudara, dan tidak juga ada hadits yang mengecualikan begitu, sedang fihak yang membatalkan itu berkata, bahwa bersentuh dengan ibu, saudara dan lain-lain perempuan yang haram dinikahnya itu tidak membatalkan wudhu. Dengan apakah dalil mereka mengecualikan begitu ? Tidak ada keterangan ! Ada riwayat dari Aisyah:
Artinya :”Bahwasanya Nabi saw pernah mencium salah seorang istrinya, kemudian ia shalat, padahal tidak ia berwudhu.”(HR Abu Dawud). Hadits itu sungguhpun lemah, tetapi kata para ‘ulama’ hadits, bahwa kelemahannya telah hilang lantaran ada beberapa cabang riwayatnya dari Aisyah. Telah berkata Hafidz Ibnu Hajar, bahwa hadits itu diriwayatkan orang atas sepuluh rupa.
Dan diriwayatkan lagi:
“Artinya: telah berkata Aisyah, pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah saw dari tempat tidur, lalu saya meraba dia (di dalam gelap) maka terletaklah dua tangan saya di dua tapak kakinya tercecak, sedang ia di dalam sujud…”(HR Muslim). Dan ada beberapa lagi hadits yang sama artinya atau maksudnya dengan hadits2 yang tersebut di atas itu.

Ringkasan : Fihak yang menganggap batal wudhu lantaran bersentuh dengan perempuan itu, dalilnya satu hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan satu ayat Quran, An-Nisa: 43.

Fihak yang berkata tidak batal wudhu lantaran bersentuh perempuan itu, menolak hadits riwayat Ahmad tadi, karena tidak shahnya danjuga hadits itu tidak menunjukkan batal wudhu yang menyentuh perempuan karena sungguhpun Rasulullah ada perintah ia berwudhu tetapi tak dapat dikatakan yang orang itu asalnya berwudhu lantas batal wudhunya dengan sebab bersentuh perempuan itu. Hanya diperintah dia berwudhu berhubung dengan shalat.

Adapun ayat ‘lamastumunnisa’ itu fihak ini artikan: bersetubuh dengan perempuan, bukan bersentuhan dengan perempuan karena “

Kalau dikatakan bersentuh batal, niscaya bersentuh degnan ibu dan anak perempuan juga batal. Ada beberapa hadits yang lemah tetapi shahih lantaran banyak riwayatnya, yaitu hadits yang menunjukkan Rasulullah pernah cium seorang istrinya lalu terus shalat dengan tidak berwudhu lagi. Ada hadits yang shahih, yaitu hadits riwayat Muslim tentang Aisyah memegang tapak kaki Rasulullah yang sedang shalat.

Keputusan :
Bahwa menyentuh perempuan itu tidak membatalkan wudhu, walaupun perempuan itu yang halal dinikahnya.

B. Berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan. (dari buku Fatwa-fatwa Kontemporer, DR Yusuf Qardhawi,, jilid 2).
Jawaban Qardhawi : Ada dua pandangan yang berkembang terhadap hukum berjabat tangan antara pria dan wanita.

Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya degnan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi) atau di belakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya – yang pada asalnya mubah itu—bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah, khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara persusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung,, anak kandung, saudara wantia sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkannya) berjabat tangan dengan wanita tua, yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat Abu Bakar ra bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu. Al quran juga membicarakan perihal ini,

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(qs An-Nur:60).

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksusalnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.

“…Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…”(Qs An-Nur:31).

Di dalam buku Fatwa-fatwa kontemporer Yusuf Qardhawijilid 2 itu tersajikan secara lanjang lebar beberapa argumentasi dari dua belah pihak dan bantahan dari masing-masing pihak atas pihak lain yang berbeda pendapat. Semua pembahasan ini bisa kalian baca di buku tersebut, di halaman 419 (maaf, saya tidak bisa memuat semua pembahasannya secara utuh disini karena keterbatasan ruangÂ… eh, bukan promosi buku loh..^_^). Tapi berikut ini saya ketikkan akhir pembahasannya saja,

Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya (Qardhawi) tekankan:
Pertama, berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apalagi keduanya), maka keharamannya berjabat tangan tidak diragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah—meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sepersusuan, anak tirinya, ibu tirinya,, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi sepreti itu adalah haram.

Bahkan berjabat-tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.

Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yagn disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab di antara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain,, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati dan meneladani Nabi saw –tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).

Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah –yang komitmen pada agamanya—ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.

Saya (Qardhawy) tetapkankeputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad.WallahuaÂ’lam.

WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved