[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Wanita, sebagai Ibu dan Dirinya Sendiri
Muslimah & Media - Sunday, 18 July 2004

kafemuslimah.com Dulu pernah ketika aku kecil, ayahku berinisiatip untuk mengadakan semacam penghargaan untuk ibuku di hari ibu. Entah dapat ide darimana, pada akhirnya kami anak-anaknya akhirnya diharuskan untuk memasak menggantikan tugas ibu. Dan mulailah eksperimen memasak berlangsung.

Memasak memang bukan kegiatan yang lazim dilakukan oleh kami di rumah. Saya lima bersaudara dimana hanya satu orang laki-laki sebagai saudara kandung kami. Meski didominasi oleh wanita, kegiatan masak-memasak yang merupakan kegiatan kewanitaan tetap merupakan kegiatan langka yang kami lakukan. Malas, enggan dan sibuk, mungkin itu alasannya. Semuanya selalu punya seribu alasan untuk menghindari kegiatan masak di rumah. Mungkin karena malas jika di akhir kegiatan memasak ini harus berhadapan dengan cucian piring kotor, atau tidak menyukai jika di akhir kegiatan mendapati jemari berwarna kuning karena kunyit, atau malas harus menggosok lantai yang penuh dengan sisa tumpahan bahan makanan yang selesai diolah dan seribu kemalasan lain. Pokoknya ada seribu alasan yang siap dibuat untuk menghindari tugas memasak (juga tugas rumah tangga lain sih sebetulnya). Akhirnya, ibu adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk pengadaan makanan di rumah (juga kegiatan rumah tangga lainnya). Itu sebabnya, kegiatan memasak pada tanggal 22 desember kala itu pantas disebut eksperimen. Tak ada campur tangan ibu (juga pembantu) sama sekali, bahkan termasuk reseppun kami peroleh dengan mencari sendiri.

Terbirit-birit disana, kepanikan disini, kebingungan di situ, dan tertawa karena mentertawakan kebodohan diri sendiri kerap terdengar di dapur yang kami keroyoki. Akhirnya… HUP LA… masakan siap sudah. Hanya sayur asem, tempe dan tahu bacem, daging empal dan sambal terasi. Meja makan-pun ditata dan masakan dihidangkan. Hasilnya?

Ayahku menyipitkan matanya. Pamanku menampilkan ekspresi yang tak terkatakan dan bahkan adikku yang satu-satunya lelaki memuntahkan makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Sayur asemnya terlalu asam karena kami menambahkan asam jawa utuh ke dalamnya sebagai manifestasi analogi, “namanya juga sayur asem masa nggak pakai asam?”. Tempe dan tahu bacem terlalu manis karena entah berapa banyak gula merah kami masukkan karena penasaran mengapa warna tempe dan tahu tidak kunjung menjadi kehitaman seperti layaknya tempe tahu bacem yang biasa dihidangkan ibu. Sambal terasi, wahh.. tak terkatakan bagaimana rasanya. Ibuku bertanya, apakah ini sambal terasi ataukah terasi dicabein? Dan daging empal.. hmm.. keraaaaaasssss sekali. Ibu berseloroh bahwa mulai sekarang, jika bertamu ke rumah orang kita tak usah lagi perlu mengetuk pintu karena daging itu bisa digunakan sebagai pengganti batu untuk mengetok pintu saking kerasnya. Semua pada akhirnya terkekeh dan mentertawakan pengalaman kami memasak untuk pertama kalinya. Walau akhirnya kami sepakat makan di luar, di perjalanan aku memandang ibu. Kagum pada caranya menghibur seluruh anggota keluarga agar tidak kecil hati melihat kebodohan kami dengan candanya yang segar. Kagum pada caranya melunakkan ketegangan karena kegagalan yang drastis dengan cara mengajak kami semua mentertawakan diri sendiri.

Dan kini aku sudah menjadi seorang ibu. Jangankan memasak, kegiatan rumah tangga lagi sudah menjadi santapanku sehari-hari. Kelelahan dan kejenuhan sering datang menggoda tapi pengalaman berkesan di peristiwa eksperimen itu mengajarkan aku untuk selalu bisa menikmati dan menghadapi segalanya dengan keriangan. Dengan kreatif, selalu ada bagian dari kegiatan yang aku lakukan dapat aku ambil menjadi sebuah hiburan yang menyertai dan menemani. Entah dengan bantuan radio, televisi atau senandung atau selawat. Dan seperti biasa, sore ini siaran radio menemani kegiatanku mengerjakan pekerjaan rumah. Sambil menyetrika pakaian yang menumpuk tinggi aku melirik kalender. Sebentar lagi tanggal 22 desember, hari ibu. Dan seperti kompak, banyak stasiun radio yang sepakat mengetengahkan acara menjelang hari ibu. Tak terkecuali radio RRI Pro 2 Jakarta di tanggal 20 Desember 2003, pk. 14.00 WIB.

Dalam narasi pembukaannya, dikatakan bahwa pada zaman sekarang ini, wanita sebagai ibu rumah tangga terbagi menjadi tiga golongan. Pertama adalah wanita yang bekerja sebagai pure ibu rumah tangga, kedua sebagai ibu rumah tangga dan sekaligus wanita karir, dan ketiga yang pure wanita karir. Pada golongan ketiga biasanya dilakukan oleh mereka yang memilih tidak menikah, tapi ini jarang terjadi di masayarakat Indonesia. Yang terbanyak dijalankan oleh para wanita di Indonesia lebih banyak golongan pertama dan kedua. Dengan fokus pada dua golongan pertama inilah stasiun radio Pro 2 Jakarta mengadakan wawancara dengan beberapa wanita terkemuka yang berprestasi di bidang yang ditekuninya. Sayangnya, karena saya tidak mendengarkan acara ini sampai usai karena harus berpindah ke pekerjaan rumah tangga lain maka yang bisa saya dengar hanya dua orang wanita. Keduanya diwawancarai lewat telepon dan sebenarnya isi wawancara lebih banyak berputar sekitar pekerjaan kantor mereka ketimbang peran ganda mereka dalam rumah tangga. Tapi alhamdulillah ada beberapa hikmah yang bisa dipetik dari wawancara tersebut.

Dari Grace Simon (penyanyi, ibu –suaminya sudah meninggal- dari dua anak dan aktifis gereja –jangan lihat ininya yah..^_^..- dan pengelola panti asuhan), mengemukakan sebuah kenyataan yang dia peroleh setelah menjalani peran ganda sebagai ibu dan wanita karir. Menurutnya, jika saat ini disediakan sekolah untuk menghasilkan seorang ibu yang baik, maka sekolah ini tetap tidak bisa menghasilkan lulusan terbaiknya. Karena sekolah ibu yang sebenarnya diajarkan oleh Tuhan melalui berbagai drama kehidupan seorang ibu rumah tangga. Saya setuju dengan pernyataan ini (yang sayangnya oleh pewawancara tidak diekspos lebih lanjut karena wawancara terfokus pada isi kegiatan di luar rumah).

Allah sungguh Maha Mengetahui kondisi setiap makhluknya. Dengan sebuah proses yang berjalan seluruh makhluk ciptaan Allah dididik untuk dapat menjadi makhluk yang berkualitas. Jika seseorang semula tidak berpengetahuan maka dihadirkan sebuah peristiwa baru yang memaksanya untuk menggunakan pikiran dan mengerahikan segenap kemampuan guna menghadapi peristiwa tersebut. Dari eksplorasi pikiran dan kemampuan tersebut, seseorang tersebut tanpa sadar sudah dididik menjadi berpengetahuan, paling tidak berpengetahuan untuk menangani peristiwa serupa. Dan wanita, yang ketika menikah punya NOL pengetahuan tentang rumah tangganya, dididik menjadi seorang ibu yang baik bagi keluarganya melalui berbagai peristiwa yang hadir sehari-hari. Bagaimana caranya mengembangkan toleransi menghadapi perbedaan, bagaimana caranya bersikap dewasa, bagaimana menghibur diri sendiri dan bagaimana caranya untuk meningkatkan kualitas setiap anggota keluarganya. Semuanya hadir dan berbagai pilihan solusi yang dihadapi merupakan langkah-langkah didikan bagi dirinya untuk mengembangkan kualitas dirinya sendiri, baik di mata keluarga maupun di hadapan Allah. Dan puncak didikan tertinggi seorang wanita untuk menjadi ibu dimulai ketika seorang anak dititipkan di dalam rahimnya. Karena itu artinya, sebuah amanat telah dipercayakan padanya untuk mencetak seorang generasi masa depan.

Wanita kedua yang diwawancari adalah Lili Wibisono, seorang penulis artikel tetap majalah Intisari, reporter dan ibu dari dua anak (dan kembali disayangkan karena pewawancara ternyata terbawa arus mempromosikan buku terbarunya tidak fokus pada tema yang diusungnya). Sepenggal kalimat berarti (menurut saya, Ade Anita) adalah pernyataan beliau guna menyiasati pekerjaan di dua bidang yang menyita waktunya tersebut. Menurutnya, setiap pekerjaan haruslah dinikmati dengan sepenuh hati. Lili Wibisono mengatakan bahwa ada sebuah kenyataan yang harus disadari oleh seorang wanita. Kenyataan itu adalah adalah wajar jika tiap-tiap diri punya target pencapaian yang ingin diraih tapi pada kenyataannya tidak semua target itu bisa diraih. Meski begitu, hal ini tidaklah membuat kita semua bekerja dengan tanggung-tanggung karena kelelahan kerap terjadi pada diri yang bekerja dengan setengah hati. Itu sebabnya dia berprinsip bahwa setiap pekerjaan haruslah dikerjakan dengan sepenuh hati.

Saya jadi ingat beberapa tayangan televisi yang menampilkan salah seorang calon presiden dari partai tertentu yang mantan Ketua Muhammadiyah, Amin Rais. Beliau juga kerap mengatakan hal yang sama. Bahwa setiap usaha untuk mencapai hasil maksimal haruslah dilakukan dengan oleh tiap-tiap muslim hanya saja hasilnya kembalikan pada Allah.
Ah.
Sebenarnya ini adalah butir hikmah dari pengertian takdir dalam Islam.
“Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali jika kaum itu mau berusaha untuk mengubahnya dengan usaha”.

Dan apa yang dikemukakan oleh Lili di atas adalah bagian dari butir hikmah lain, yaitu ikhlas.
Dengan ikhlas, tiap-tiap diri tidak akan terbebani dengan apapun yang dia hadapi dan jalani. Dengan ikhlas, akan bersemayam rasa bahagia di tiap-tiap tetes keringat yang mengalir dan tiap-tiap helaan napas yang hadir. Dengan ikhlas, seorang ibu atau ayah atau pejuang dan pekerja yang berjihad di jalan Allah, atau pendidik, atau setiap muslim dan muslimah di atas muka bumi ini akan menemukan kebahagiaan hakiki dalam menjalani dan menghadapi berbagai lika-liku jalan kehidupan yang ada di hadapannya.

Semoga kitra semua bisa selalu menjadi orang yang ikhlas.

----21 Januari 2003
Ade Anita ([email protected]

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved