[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Pacaran dan Cinta karena Allah
Uneq-Uneq - Thursday, 26 February 2004

Pertanyaan 1 :
Assalamualaikum Wr.Wb.
Saya muslimah yang baru hijrah selama setahun ini dan saya mengalami dilema didunia saya yang memiliki "banyak ruang yang masing-masing sangat berbeda tatanannya". 5 bulan ini ada seorang pria mendekati saya dan ia meminta untuk satu hubungan yang serius yaitu menikah. Saya juga memiliki pandangan untuk masa depan saya kearah sana dan saat ini pun saya sudah memikirkan hal tsb krn cita2 saya untuk membentuk satu keluarga yg Islami dan sakinah. Hanya yg menjadi kendala bagaimana saya harus menghadapi persoalan ini dan menghadapi dia sedang saya masih belum genap 18 thn?. Teman2 rohis meminta saya menjauhinya atau memutuskan untuk tidak berpikir ke arah sana karena usia saya. Sedang saya pernah mendengar "Cinta krn Allah". Dlm kasus saya Cinta krn Allah itu yg spt apa? Syukron
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Pertanyaan 2 :
OK salam kenal dari aku. Aku mau kirim uneg2 nih. boleh ngga? Gimana kalau seorang muslim itu berpacaran. Kalau aku lihat itu kayaknya atau memang ya didalam kitab itu nggak boleh. Tolong jawab yah pertanyaanku ini dan tolong kirim ke emailku ok
wassalamualaikum wr wb

Jawab :
AssalamuÂ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Semua orang tentu punya cita-cita. Biasanya, cita-cita itu berisi gambaran kehidupan masa depan yang ingin diwujudkan.

Ada yang bercita-cita ingin jadi seorang wanita karir. Lebih spesifik lagi, ingin jadi wanita karir dengan dua orang anak yang manis dan suami yang pengertian. Lebih spesifik lagi nantinya punya sebuah rumah yang mungil bertingkat dua dan sebuah mobil sedan mungil yang berwarna biru muda yang akan membawa keluarga kecilnya berjalan-jalan ke tempat manapun yang ingin dituju (Â….^_^Â…. siapa yang tak ingin impian seindah ini?).

Ada juga yang punya cita-cita sederhana. Ingin jadi ibu rumah tangga. Hanya itu ? Tidak. Kalau ditanya lebih lanjut, jadi ibu rumah tangga yang tidak ketinggalan informasi dan tetap berpikiran maju. Lebih spesifik lagi, jadi ibu rumah tangga dan agar tidak tertinggal informasi dan berpikiran up to date maka nantinya ikut kegiatan A, B, C, D dan E.

Ada juga yang ingin jadi seorang muslimah kader dakwah sekaligus ibu rumah tangga. Seperti apa itu ? Lalu dijabarkan lebih terinci, yaitu jadi ibu rumah tangga dengan sekian anak, tapi dia tetap menjalankan tugas dakwah ke luar rumah melalui kegiatan A, B, C dan D. Lebih spesifik lagi, mungkin nanti akan mempekerjakan seorang khadimat (pembantu) yang amanah, dimana pembantu itu akan dididik sehingga meski punya seambreg kegiatan dakwah di luar rumah tugas sebagai ibu rumah tangga tidak akan terbengkalai karena ada yang diberi tugas untuk mengerjakan beberapa tugas di rumah. Bukan tidak mungkin komunikasi antar anggota keluarga insya Allah direncanakan tidak akan terputus karena adanya teknologi komunikasi via telepon dan internet.

Wah, subhanallah indahnya dan beragamnya cita-cita.

Tapi biasanya memang sebuah cita-cita itu memang indah-indah. Karena siapapun rasanya sudah ‘dari sono’nya untuk punya keinginan mendapatkan yang lebih baik lagi di hari esok. Istilahnya, “next time must be better”. Kalau dilihat sekilas, tampaknya apa yang dicita-citakan itu tampil dalam kemasan sederhana. Mau jadi A, atau mau jadi B atau C. Tapi, jika ditanya lebih lanjut persiapan apa yang akan dilakukan untuk mewujudkan cita-cita itu, lalu tindakan apa yang akan dilakukan jika datang kendala yang mungkin akan menghalangi terwujudnya cita-cita itu, maka kemasan yang semula sederhana sebenarnya adalah sebuah rangkaian kegiatan yang kompleks dan panjang.

Kita sebagai pemilik cita-cita itu, akan dihadapkan pada banyak pilihan dan mulai menghitung untung rugi pilihan-pilihan yang akan dipilih tersebut. Tanpa sadar, ada banyak pertimbangan yang akhirnya mendorong kita untuk menjatuhkan keputusan pada sebuah pilihan tertentu.
“Saya mau jadi guru saja karena saya senang menghadapi anak-anak dan senang mengajarkan mereka.”
Cuma itu alasannya ? Ya tidak, karena kalau jadi guru maka saya hanya bekerja setengah hari saja, tidak harus fulltime sepanjang hari.” Cuma itu alasannya ? “Sebenarnya, karena ayah lebih suka saya menjadi guru ketimbang saya jadi polwan.” Nah. Itulah alasan-alasan lain yang tanpa disadari ikut mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Meski tampak sepele, tapi kondisi-kondisi kecil ini tetap membuat kita mengambil sebuah keputusan dari banyak pilihan yang tersedia. Ketika kita sudah menentukan sebuah pilihan, maka yang harus disadari adalah satu hal. Yaitu bahwa kita di hari perhitungan kelak di Yaumil Hisab akan mempertanggung-jawabkan pilihan yang sudah kita ambil di dunia ini seorang diri. Semua faktor yang mempengaruhi, baik disadari ataupun tidak disadari terlepas dari tanggung jawab kebersamaan. Tidak ada istilah berat sama dipikul ringan sama dijinjing, tidak ada dosa kolektif.

Lalu, apakah karena itu maka kita tidak boleh punya cita-cita agar kita memperoleh kesejahteraan di dunia ini ? Salah. Hanya orang yang picik yang punya pikiran seperti itu. Cita-cita itu tetap diperlukan karena dengan cita-cita yang kita miliki itu, kita akan mempunyai energi tambahan, semangat yang senantiasa baru untuk mengerjakan banyak hal. Bukankah karena sebuah cita-citalah maka manusia berusaha untuk selalu menjadi lebih baik dan lebih baik lagi ? Tinggal peletakannya yang mesti harus diperhatikan. Letakkanlah cita-cita untuk memperoleh kebahagiaan akhirat dan meraih cinta Illahi sebagai cita-cita tertinggi. Yang dilarang dalam Islam itu adalah mengembangkan sebuah angan-angan kosong tanpa dasar. Kenapa ? Karena angan-angan kosong itu dapat melengahkan dan melalaikan dan sesungguhnya inilah celah yang akan digunakan oleh Iblis untuk memperdaya manusia (lihat Qs 4:119 dan qs 15: 3).

“(Pahala di akhirat itu) bukan menurut angan-anganmu yang kosong, dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab. Siapa yang berbuat kejahatan pasti ia akan dibalas, dan tidak ada selain Allah yang dapat melindungi atau menolong. Dan siapa yang berbuat amal shaleh pria ataupu wanita,, sedangkan ia beriman maka akan masuk surga dan tidak akan dikurangi sedikitpun pahalanya. Dan Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang dia mengikuti sunnah rasul dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah menjadikan Ibrahim kesayangan-Nya.”(qs 4:23-25)

Begitu juga dengan cinta dan memilih pasangan hidup (jodoh). Kita boleh menginginkan kriteria yang sesuai dengan diri kita pada siapa yang akan menjadi pasangan hidup kita selama Â… ada kata selamaÂ… selama kita tetap menggantungkan hasil akhirnya pada ketentuan Allah dan menjalankan segala sesuatunya sesuai dengan aturan syariat Islam.

Syariat Islam itu adalah syariat yang melihat pada kenyataan. Artinya sebuah keluarga muslim itu dibangun di atas fondasi yang memadukan perasaan (kecenderungan hati) dan aturan syara’ atau sangat memperhatikan faktor agama dan cinta. Calon suami yang dianjurkan oleh Islam ialah yang berakhlak dan komitmen pada agama, yang merupakan dua faktor penting bagi tegaknya kepribadian Islam. Begitu juga dengan calon istri yang dianjurkan oleh Islam, perlu melihat empat sendi yang dianjurkan, lihat agamanya, kecantikannya, kekayaannya dan keturunannya (“Maka pilihlah wanita yang konsisten pada agamanya, niscaya beruntung” (HR Bukhari)).

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, bagaimana untuk mengetahui hal-hal itu jika kita tidak mengenalnya terlebih dahulu ? Nah… disinilah disusupkan paham pentingnya berpacaran sebagai sebuah jalan untuk mengenal calon pasangan sebelum menikah. Ada sebuah pemahaman yang datangnya dari “dunia barat” sana akan pentingnya menjalin cinta sebelum pernikahan agar menghilangkan dinding-dinding kekakuan antara dua anak manusia. Ada pepatah yang melanggengkan ajaran pendapat tersebut,, “Tak kenal maka Tak Sayang”.

Hmm.. bingung kan. Tentu sekarang muncul pertanyaan. Perlukah cinta sebelum perkawinan ? Apa itu cinta sebelum perkawinan ?

Cinta itu kecenderungan hati. Sesungguhnya cinta mempunyai permulaan yang dapat dikuasai dan dikendalikan oleh orang yang berakal. Memandang, bercakap-cakap, menyampaikan salam, saling berkunjung, berkirim-kiriman surat, dan bertemu, semuanya merupakan hal-hal yang berada di dalam kemampuan seseorang untuk melakukan atau meninggalkannya. Semua itu merupakan permulaan dan muqaddimah rasa cinta. Kalau dibiarkan begitu saja maka lama-kelamaan maka nafsu itu akan bercampur dengan hawa (kemauan buruk) dan takwa tidak dapat lagi mengendalikannya maka si pecinta akan menjadi tawanan dari cinta dengan segala kemauannya (nafsu).

Nah, kalau sudah begini, maka sebenarnya si pecinta itu sendirilah yang telah membawa dirinya kepada posisi yang sulit atas kemauannya sendiri. Dengan kata lain, “pacaran” (kata lain dari bercinta sebelum perkawinan yang dilakukan oleh sepasang pemuda dan pemudi) tidak diperkenankan dalam Islam karena beberapa hal.

Pertama, pacaran sebenarnya tidak lain adalah usaha yang banyak diliputi oleh sebuah angan-angan kosong belaka. Kenapa ? karena sesungguhnya tak satupun diantara kita tahu siapa jodoh yang disediakan oleh Allah SWT pada kita. Dengan berpacaran, kita sudah menentukan duluan siapa yang berhak dan harus jadi jodoh kita. Ada obsesi untuk memiliki sesuatu yang sebenarnya belum tentu milik kita. Ada usaha untuk mempertahankan sesuatu yang sebenarnya belum jelas itu akan jadi milik kita dan celakanya, usaha mempertahankan itu dilakukan dengan sesuatu yang palsu. Dalam pacaran itu kan yang berusaha ditampilkan oleh masing-masing pihak adalah yang baik-baik saja. Berpura-pura jadi gadis manja, berpura-pura jadi pria yang mengesankan. Sikap berpura-pura ini adalah angan-angan kosong. Harapan bahwa si dia akan jadi pasangan kita adalah angan-angan kosong. Rasa rindu untuk selalu bertemu hingga melalaikan diri untuk mengerjakan hal lain yang bermanfaat adalah angan-angan kosong.

Kedua, pacaran itu sangat dekat dengan kegiatan yang bersentuhan dengan perzinahan. Tidak ada pacaran yang tidak disertai dengan kegiatan fisik apapun. Pasti diiringi dengan kegiatan fisik tertentu. Ada pertemuan. Lalu apa yang terjadi dalam pertemuan itu? Mungkin ada tatap wajah dengan pandangan penuh cinta (atau nafsu?), mungkin terjadi genggaman jemari, mungkin terjadi sentuhan lain yang sebenarnya sangat ingin dihindari dalam syariÂ’at agama Islam. Bukan hanya ketika pertemua itu berlangsung, bahkan sebelum pertemuan itu berlangsungpun ada niat yang sudah tidak lurus lagi bersemayam di dalam dada insan yang sedang dimabuk cinta itu. Yaitu, ingin menyenangkan dan dikagumi oleh pacarnya. Niat ini saja sudah terlarang.

“Di antara yang termasuk ahli neraka ialah wanita-wanita yagn berpakaian tetrapi telanjang, yang berjalan dengan lenggak-lenggok untuk merayu dan untuk dikagumi. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Rasululah saw bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita melainkan setanlah yang menjadi orang ketiga di antara mereka.”


Ketiga, pacaran itu membuat hati kita semula putih menjadi ternoda karena adanya keinginan-keinginan yang bertentangan dengan apa yang digariskan dalam syari’at. Waktu yang seharusnya untuk memikirkan masa depan dengan belajar, akhirnya habis untuk memikirkan si dia. Kekhusyuan dalam beribadah tercemar karena tercampur-baur dengan perasan yang mengharu biru memikirkan si dia. Tidak jarang kita berusaha untuk memaksakan kehendak kita pada Allah SWT, mendikte Allah SWT agar melakukan dan memberi apa yang kita inginkan. Ketika sedang senang, kita lupa berterima kasih pada Allah SWT karena yang paling hebat saat itu adalah pacar kita, tapi ketika sedang sedih dan kecewa berat kita menyalahkan Allah SWT karena menimpakan kesedihan itu pada kita. Atau kita berdoa pada Allah SWT agar menjadikan sesuatu menjadi terjadi. Naudzubillah min dzaliik, tentu bukan itu yang disebut cinta karena Allah. Cinta karena Allah adalah “kami dengar dan kami taat” pada apapun yang diperintahkan oleh Allah SWT karena besarnya rasa cinta karena dan pada Allah SWT.

Singkat cerita, pacaran dilarang dalam Islam karena ternyata lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

Jadi ukhti yang baru berusia 18 tahun, jika ukhti masih merencanakan perkawinan itu tidak dalam waktu dekat ini, mungkin lebih baik jika ukhti tidak memikirkan terlebih dahulu membina hubungan dengan pria yang sudah siap menikah. Pria yang sudah siap menikah itu kadang sulit untuk mengendalikan hawa nafsunya. Jika ukhti memang mencintai dia karena Allah dan dalam hal ini ukhti sendiri belum siap untuk menikah dengannya dalam waktu dekat ini lebih baik ukhti berusaha untuk membantu teman pria itu dengan mencarikan dia wanita lain yang memang sudah siap untuk segera menikah dan membantu teman ukhti itu agar segera menikah agar dia terhindar dari godaan syaithan. Ukhti sendiri, gunakan waktu yang tersedia dengan hal-hal yang bermanfaat untuk diri ukhti dan masa depan yang ingin ukhti raih. Jodoh itu insya Allah sudah ditentukan oleh Allah SWT dan Allah itu Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. WallahuÂ’alam.

WassalamuÂ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved